Oleh Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman, S.S., M.A
“Kind words are like honey — sweet to the soul and healthy for the body” – Proverb 16:24
ADALAH suatu kehormatan boleh berdiri di mimbar ini untuk berbicara tentang filsafat, sebuah bentuk pengetahuan yang sudah sangat tua usianya, namun masih relatif muda sebagai subyek akademis di negeri kita. Universitas Pelita Harapan merupakan salah satu perguruan tinggi yang mengajarkan filsafat, bukan hanya untuk jurusan tertentu. Semua alumni, entah itu dokter, insinyur, arsitek, guru, atau sarjana ekonomi, pernah belajar filsafat lewat kurikulum liberal arts dan pasca sarjana. Kalau saat ini membahas tugas filsafat untuk era komunikasi digital, saya mengajak berpikir tentang manfaat filsafat untuk publik. Tugas itu tentu tidak mudah karena harus ditunaikan di tengah zaman yang mulai malas berpikir dan lebih suka browsing dan googling ini.
Filsafat sudah berakhir, yaitu mati. Demikian kesalahpahaman yang terjadi, setelah Heidegger dan Rorty menulis hal itu. Beberapa kematian atau akhir lain juga sempat diberitakan, seperti “kematian pengarang” (Roland Barthes), “kesudahan seni” (Arthur Danto) dan “akhir manusia” (Michel Foucault). Sudah jauh sebelumnya nabi sekular Friedrich Nietzsche mengumumkan “kematian Allah”, dan mungkin awalnya dari situ. Kesalahpahaman terjadi karena “akhir” atau “kematian” yang dimaksud para filsuf kontemporer itu sebetulnya adalah cara-cara berfilsafat yang kedaluwarsa. Banyak yang ingin melayat filsafat, tetapi tidak melihat mayat dalam peti matinya. Penjelasannya sederhana. Selama manusia berpikir, selama itu filsafat masih hidup dan bahkan dilahirkan kembali. Namun di sini kita pun menghadapi masalah yang lebih pelik daripada wacana-wacana tentang kematian filsafat. Apakah manusia masih berpikir di era komunikasi digital? Apakah arti berpikir di zaman kita? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tapi ketika menggariskan tugas filsafat, kita sedang dipaksa untuk menemukan jawabannya.
Zaman kita disebut dengan berbagai nama, seperti: post-modern, revolusi industri 4.0, dan di sini kita sebut era komunikasi digital. Transisi ke era itu kita sebut revolusi digital. Apa yang menyamakan isi semua nama itu adalah luapan informasi yang diakibatkan pemakaian teknologi komunikasi digital. Di akhir abad ke-20 filsuf dan sosiolog Prancis Jean Baudrillard telah bicara tentang ‘simulacra’, yaitu tentang kondisi kita saat ini, ketika realitas telah diganti dengan simbol (1). Menurutnya pengalaman kita — politis, ekonomis, psikologis, erotis – tidak lebih daripada simulasi kenyataan. Teks, video, gambar di internet membingkai atau merekayasa peristiwa seolah-olah terjadi. Kita berada di dalamnya. Saat ini, ketika sebagian besar orang menundukkan kepala melihat layar ponselnya, analisis Baudrillard tampak semakin terbukti. Isi Zoom, Whatsapp, Tik Tok dan Twitter, terasa lebih real daripada orang yang duduk di depan kita. Kita menjadi gagap menghadapi kelangsungan.
Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan telepon cerdas ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih. Inilah era ketika siapa saja bisa bicara, seolah dapat mengakses kekuasaan. Dalam komunikasi digital tidak ada hirarki yang membatasi. Setiap orang bisa menjadi produsen, sutradara, sekaligus ekspert bagi orang lain. Tetapi persis pada saat ini pula, ketika akses langsung ada dalam genggaman, cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman. Alih-alih mengupayakan saling pemahaman, kerap kali media-media sosial menjadi sarana menyebarkan hoaks, berita palsu, dan berbagai kecohan lain dalam bentuk teks, video, poster, chat, atau foto yang mendistorsi kenyataan. Industri kebohongan telah sampai ke ruang privat kita untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebencian timbal balik. Apakah bisa disebut komunikasi, jika kita tidak saling mengerti? Apakah bisa disebut demokrasi, jika kebohongan merusak komunikasi?
Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yunani kuno. Tugasnya adalah mengajak berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan. Sejak awal filsafat hidup dengan bertanya. Dahulu ia mempersoalkan mitos. Dalam buku ketujuh The Republic, Plato bercerita tentang para tawanan dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding (2). Mereka percaya bahwa bayang-bayang adalah realitas. Mitos dikritik sebagai realitas semu seperti itu. Di zaman modern filsafat mempersoalkan ideologi dan bahkan agama sebagai bentuk lain mitos. Saat itu fiksi masih relatif mudah dibedakan dari realitas.
Dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara fiksi dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak menarik Iagi untuk dipersoalkan. Para pengguna gawai tidak Iagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan seperti dalam cerita Plato itu. Bukan dinding goa, melainkan layar; bukan bayang-bayang, melainkan simulacra sedang menjebak mereka, Namun mereka tampaknya menikmati bayang-bayang itu. Apakah filsafat masih dapat menunaikan tugas Idasiknya? Masih perlukah tugas itu, jika berpikir dianggap sama saja dengan menikmati suasana goa masing-masing?
Filsafat dan Komunikasi Digital
Jawaban saya adalah: Filsafat harus tetap menjalankan tugas klasiknya, yaitu mengajak berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Tugas ini diperlukan justru di Zaman kita, ketika komunikasi digital menjadi mode of bcing kita yang baru. Khususnya di Indonesia, sebuah negara dengan pengguna internet yang mencapai sekitar 125 juta orang, tugas ini mendesak untuk dilakukan, Sebelum mengurai tugas itil, saya akan mengulas dua hal. Pertama, apa itü dunia digital. Kedua, apa kebaruan komunikasi digital.
Jika bicara tentang dunia’, yang kita maksudkan adalah segah sesuatu yang ada (3). Namun sebagai persoalan komunikasi, ‘dunia’ adalah segah sesuatu yang relevan bagi kita untuk kita bicarakan. istilah dunia digital mengacu pada pengertian terakhir ini. Aliran silih berganti pesan-pesan, gambar-gambar, video-video – atau singkatnya komunikasi-komunikasi –ı membentuk satu kesatuan yang kita sebut dunia digital. Dunia seperti ini berciri linguistik. Jika kita menyalakan ponsel dan mulai terlibat dalam komunikasi, kita menjadi aktor dalam dunia digital itil. Dunia itü membedakan diri dari sesuatu di luarnya yang juga relevan bagi kita dalam komunikasi, yakni: dunia korporeal atau dunia fisik. Gabungan antara dunia digital dan dunia korporeal dapat kita sebut ‘kompleksitas baru’.
Dalam kondisi ideal dunia digital dan dunia korporeal menjaga batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain. Kita tahu bahwa isi dunia digital bukan seluruh kenyataan, melainkan ‘realitas sejauh dibicarakan’. Akal sehat mempertahankan distingsi itu. Namun distingsi antara realitas dan ‘realitas sejauh dibicarakan itü menjadi sulit dijaga, ketika luapan informasi mengkooptasi kesadaran dan mengacaukan persepsi pengguna gawai. Di dalam situasi ini dunia digital mengganti dunia korporeal. Alih-alih kepada realitas, orang menjadi lebih percaya kepada ‘realitas sejauh dibicarakan’, yakni simulacra. Namun tiap hal punya akhir. Bukankah jika ponsel mati atau pulsa habis, ‘realitas sejauh dibicarakan’ itu berhenti? Jeda hening itu memberi tempat kepada ‘realitas di luar pembicaraan’ untuk menampakkan diri. Kotnunikasi tidak dapat menghabisinya. Transparansi digital malah telah menyembunyikannya di balik kata-kata.
Filsafat menghadapi kompleksitas baru itu sebagai tantangan. Dahulu, ketika dunia hanya korporeal, renungan-renungan tertuju pada dunia korporeal itu. Descartes menemukan kesadaran Inodern dengan mengacu kepada dirinya, subyek yang bertubuh. Kesadaran dibayangkan sebagai substansi, res cogitans. Namun sekarang, dalam kompleksitas baru, filsafat tidak lagi membayangkan si “aku” sebagai substansi karena si “aku” dalam komunikasi digital itu terdiri atas gumpalan relasi-relasi yang memantulkan kembali pesan-pesan yang dibacanya. Hal-hal, termasuk si “aku”, dalam kotnunikasi digital bukanlah mirror of nature (Rorty), melainkan — sebut saja — mirror of comunication. Diri bukanlah substansi, melainkan gumpalan relasi-relasi atau “masyarakat dalam masyarakat” (Simmel) (4). Seperti bawang, tidak ada nucleus di dalamnya, hanya lapisan-lapisan kontingensi yang berujung pada bukan apa-apa. Berapa banyak “aku kumiliki, jika si “aku” adalah mirror of communication? Adakah yang lebih misterius daripada “diri” dalam komunikasi digital? Masih adakah subyek moral?(5)
Di samping gambaran manusia, secara praktis cara-cara pencarian kebenaran, keindahan, dan kebaikan juga berubah. Mereka tidak dicari dengan refleksi-diri di dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati sendiri, melainkan dicari dengan klik ke dalam belantara informasi arahan Google atau Youtube. Akal tidak lagi herois seperti di zaman Pencerahan. Api yang dinyalakan Prometheus mulai redup. Akal harus bernegosiasi dengan sentimen dan imajinasi yang berseliweran di ruang maya. Setelah dua perang dunia di abad lalu filsafat makin menyadari kontingensi akal budi dan mulai bicara tentang “faktisitas” (Heidegger), “keberuntungan” (Nussbaum), dan “anugerah” (Derrida). Akal membantu untuk mengenal dunia, tetapi ia tak punya akses langsung ke dunia, karena akalpun adalah interpretasi yang merangkul kekosongan (6). Kondisi ini makin benar dalam komunikasi digital. Isi gawai kita tidak mengakhiri, malah menyingkap makin banyak misteri kehidupan dengan tafsir tanpa ujung.
Kompleksitas baru itu tidak terpisahkan dari kebaruan komunikasi digital. Ada tiga ciri kebaruannya (7). Penampilan online seseorang tidak perlu mengandaikan adanya tubuh. Komunikasi menjadi bodyless. Anda berada di sana sekaligus di sini, tetapi tubuh Anda entah di mana. Itulah fenomena dekorporealisasi yang menjadi ciri pertama komunikasi digital. Dalam telepresensi orang tidak merasakan langsung tindakannya, maka sensibilitasnya jauh berkurang. Salah-rasa dan mati-rasa menjadi lazim. Tubuh menjangkarkan kita dalam dunia, maka tanpanya kita kehilangan rasa “berada-dalam-situasi”. Tidakkah komitmen menjadi sulit di sini? Ciri kedua adalah tercerabutnya tindakan dari teritorium tertentu. Klik atau ketik yang kita lakukan pada layar menghapus perbedaan lokal dan global karena setiap tindakan memiliki potensi global. Kita mengawasi sekaligus diawasi. Tiap orang potensial menjadi paparazzi bagi yang lain. Fenomena ini kita sebut deteritoralisasi. Apa lalü arti tempat, jika pesan kita bisa ada di mana-mana tapi tidak di manapun? Akhirnya, tindakan, seperti klik atau ketik, bisa mendahului keputusan kesadaran akibat ketidakberpikiran para pengguna, padahal efek tindakan itü bisa sangat membahayakan. Satü klik bisa saja menimbulkan kerusuhan, seperti terjadi di India dan Amerika belum lama ini. Kita menyebut kegiatan yang lolos dari cek kesadaran akibat rutin ini banalisasi.
Ketiga ciri kebaruan itü ikut mengaburkan kriteria epistemologis, estetis, dan etis zaman kita. Celakanya banyak orang menyalahpahami kekaburan itü sebagai dekonstruksi, lalü bersikap defaitistis terhadap kompleksitas. Dekonstruksi bukan destruksi, melainkan suspensi makna untuk memberi ruang bagi hal-hal baru, maka perlu dilanjutkan dengan rekonstruksi. Jika tidak, kita melakukan pembiaran (8). Anda membongkar rumah tua, tetapi bukan untuk membiarkan reruntuhan itü melainkan untuk membangun yang baru. Sebagaimana kita selalu butuh rumah untuk bermukim, kita juga selalu membutuhkan kriteria kebenaran, keindahan, dan kebaikan untuk berpikir dan berbuat. Apakah filsafat cukup puas hanya dengan mempersoalkan kriteria-kriteria itü dan mendukung relativisme epistemis dan moral? Jawaban saya sederhana: Filsafat tidak bertugas untuk membiarkan relativisme, apalagi untuk menghasilkannya, melainkan untuk menguranginya. la harus membantu menetapkan kriteria baru untuk mengurangi absurditas. Jika tidak, filsafat tak kurang daripada sofisme.
Tugas Filsafat
Ada sekurangnya tiga tugas filsafat di era komunikasi digital. Tugas pertama adalah menyingkap ambivalensi komunikasi digital. Filsafat Perlu memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian teknologi digital untuk meningkatkan kemanusiaan kita, seperti kreativitas, kebebasan, dan moralitas. Namun ia juga harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauh mana teknologi digital dapat mendegradasi kemanusiaan kita sampai ke taraf mesin. Dengan teknologi ini kita bisa menjadi kosmopolitan, dan terbuka kemungkinan terbentuknya kewargaan global. Namun ancamannya juga nyata, yakni: thoughtlessness. Dewasa ini perluasan kapasitas kemanusiaan kita berjalan seiring dengan kekuasaan besar robotisasi yang mendegradasi berpikir menjadi sekadar proses ‘teknis’, seperti browsing dan googling. Ketidakberpikiran bisa sangat berbahaya. Bukankah radikalisme religius diuntungkan oleh mereka yang bereaksi robotik?(9) Agaknya kita tidak hanya dilatih menjadi kosmopolitan, tetapi juga sekaligus menjadi cyborg. Filsafat harus bersiasat untuk mengatasi dilemma itu.
Tugas kedua adalah kritik ideologi dan refleksi rasional. Sebagai pengetahuan kritis, filsafat bertugas mewaspadai hubungan-hubungan kekuasaan teknokratis dan dogmatisme sains dan teknologi. Sejauh mana digitalisasi telah menjelma menjadi pengawasan panoptis? Marginalisasi baru mana yang ditimbulkannya di antara kelas-kelas sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat wajar dilontarkan justru ketika banyak orang mengandaikan begitu saja teknologi digital sebagai kebenaran. Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat bertugas untuk menyingkap perubahan pemahaman antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan dunia digital.
Apakah kita masih manusia, ketika otak kita disambungkan secara langsung atau tak langsung ke komputer? Apakah kebenaran, keindahan, dan kebaikan, jika orisinalitas dan artifisialitas sulit dibedakan? Apakah hubungan digitalisasi dengan evolusi peradaban, kesadaran, penderitaan, dan Tuhan? Untuk menjawab hal-hal iłu, filsafat tidak bisa bekerja sendirian. la perlu bekerjasama dengan disiplin-disiplin lain, termasuk mitra seniornya, teologi, dan partner yuniornya, sains. Hal iłu dilakukan juga dengan keinsyafan akan batas-batas bahasa sebagai representasi realitas. Selalu ada ceruk antara bahasa dan realitas yang tidak dapat ditutup secara tuntas oleh interpretasi, entah iłu filosofis, teologis, ataupun ilmiah.
Akhirnya, tugas ketiga adalah memberi tilikan etika komunikasi digital. Etika penting untuk membuat para pengguna media sosial mengalami komunikasi sebagai suatu dunia yang meneguhkan kebersamaan mereka sebagai digital citizens. Saling menghina, mengancam, atau berbohong di media-media sosial menghasilkan worldlessness, rasa kehilangan dunia. Meski selalu chatting, orang tetap merasa sendirian dan terisolasi dari yang lain. Etika harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas tmoral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital. la juga perlu memberi kritik atas praktik monopoli perusahaan-perusahaan penambang data. Digitalisasi harus diiringi promosi keadilan. Karena tugas ini mendesak untuk perbaikan perilaku digital, etika komunikasi digital harus diberikan sejak dini di sekolah dan universitas.
Anugerah Komunikasi
Sebagai penutup saya telah menyiapkan sebuah catatan kecil. Bukan hanya filsafat yang terbeban dengan ketiga tugas yang baru saja selesai saya ulas. Kita semua terbeban untuk memperbaiki komunikasi digital sehingga komunikasi digital makin dapat menjadi sarana mencapai saling pengertian. Manusia tidak pernah bisa memastikan komunikasinya dengan pencapaian rasionalnya, karena selalu saja ada inkomunikabilitas dalam komunikasi. Saling mengerti perlu disyukuri sebagai suatu pemberian, anugerah komunikasi. Seperti direnungkan Derrida, ada paradoks dalam memberi: Hidup ini terberi secara bebas, tetapi pemberian ini sekaligus mengandung tugas (10). Dalam bahasa Jerman, hal itu terungkap dalam dua kata: Gabe dan Aufgabe. Kata Gabe (pemberian) menyiratkan kata Aufgabe (tugas).
Peristiwa saling mengerti meminta kita untuk mewujudkan kebaikan bersama. Komunikasi digital bukan hanya fakta, melainkan juga mengandung himbauan untuk menyebarkan kebenaran, menyingkap keindahan, dan berbagi kebaikan. Kita mengupayakan komunikasi, tetapi ia juga adalah suatu peristiwa dengan hasil tidak terprediksi atau — seperti disebut Hannah Arendt – suatu “reaksi berantai” (11). Kita, mahluk-mahluk rentan, tidak memegang kendali atas seluruh peristiwa komunikasi. Kita hanya perlu mengasihi orang lain dengan tiap kata yang kita ketik di layar, dan hal itu dibuat nyata dengan ‘inkarnasi’ ke dalam kehadiran korporeal. Acta, non verba. Mungkin dengan itu orang menjadi lebih bijaksana di era komunikasi digital.***
———————————————————————————————-
*Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat di Universitas Pelita Harapan – 8 Desember 2021
(1) Lih. Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, (University of Michigan Press: Michigan 1995).
(2) Lih. Platon, Der Staat, (Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1993), fragmen 514-516, h. 269-271
(3) Bdk. Martin Heidegger, Sein and Zeit, (Max Niemeyer Verlag; Tubingen, 2001), paragraf 14, h. 63.
(4) Lih. Georg Simmel, Soziologie. Untersuchungen uber die Formen der Vergesellschaftung, Gesamtausgabe. Band II, (Suhrkamp Taschenbuch Wissenchaft: Frankfurt, 1992, h. 53
(5) Bdk. Kevon O’Donnel, Postmodernisme, (Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2009), h. 8
(6) Bdk. Ibid., h.119
(7) Lih. E Budi Ilardiman, Aku Klik maka Aku Ada. Manusia dalam Revolusi Digital. (Kanisius,2021) h. 221-223
(8) Derrida berkeberatan dengan kesalahpahaman itu dan mengklarifikasi maksudnya dalam: Jacques Derrida, Gesetzeskraft. Der mystische Grund der Autoritat, (Suhrkamp: Frankfurt a.M., 1996), h. 20-21 juga h. 42.
(9) Lih. E Budi Ilardiman, Aku Klik maka Aku Ada, h. 78
(10) Bdk. Jacques Derrida, Given Time. I. Counterfait Money, (University ofChicago Press: Chicago, 1992).
(11) Lih. Hannah Arendt, Vita activa Oder Vom tätigen Leben, (Piper: München, 1996), h. 237