Oleh: Dr. Cicilia Damayanti, M. Pd., Pengajar Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta
Pendahuluan
Sejak dua tahun terakkhir, dunia dan juga Indonesia masih mengalami pandemi Covid-19. Keadaan ini banyak mengubah hidup manusia dalam segala hal. Terutama yang berkaitan dengan kesehatan, ekonomi, sosial politik, teknologi dan juga pendidikan terutama bagi remaja sebagai generasi muda. Oleh karena pandemi pula, pada saat ini aspek teknologi informasi seperti penggunaan gawai elektronik yakni telepon seluler hingga laptop, sangat dominan dalam proses belajar mengajar. Baik guru, orang tua dan murid dituntut harus memiliki keterampilan tersendiri di dalam penggunaan gawai elektronik. Akan tetapi dalam prosesnya seringkali ada kendala atau tantangan tersendiri yang bukan saja menyangkut aspek teknologi informasi, misalnya komunikasi, dan juga sosial ekonomi. Bagaimana situasi pandemi ini mengubah pola pembelajaran mereka? Apa yang bisa orang tua lakukan untuk mendampingi para remaja ini? Bagaimana sekolah dapat menjadi perantara yang baik bagi para remaja dan orang tuanya untuk mendapatkan pendidikan yang baik?
Permasalahan yang Terjadi
Sebelum pandemi, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara tatap muka. Komunikasi terjalin dengan baik, dalam arti tatap muka membantu proses belajar mengajar dan penyelesaian masalah secara langsung. Para remaja sebagai peserta didik pergi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan, bertemu dan berinteraksi dengan para guru serta teman-temannya.
Pandemi membuat banyak kegiatan harus dilakukan dari rumah, salah satunya KBM. Pandemi mengubah pola ini dan membuat proses KBM dibantu teknologi: gawai (komputer dan ponsel) dan internet. Di awal pandemi sistem ini membuat proses pendidikan berjalan sangat lambat. Sebab permasalahan yang sering dihadapi dalam konteks teknologi, gawai yang dimiliki tidak memadai untuk dipakai belajar, serta jaringan internet yang tidak stabil. Selain itu, penggunaan gawai juga masih tidak maksimal, dalam arti kecanggihan sebuah benda tidaklah dapat dikuasai sepenuhnya. Dalam konteks ekonomi, gawai dan internet juga masih relatif mahal buat sebagian orang tua dan murid. Membeli dan mengakses teknologi masih menjadi hal yang tidak mudah untuk dijangkau banyak orang. Dalam konteks psikologi, ada ketergantungan terhadap gawai sejak usia dini karena ketidaktahuan atau rasa abai orang tua untuk menyerahkan kontrol terhadap anaknya. Survei yang dilakukan pada tahun 2021 oleh Sell Cell, sebuah situs perbandingan harga ponsel menemukan bahwa anak-anak mulai menggunakan ponsel pada usia muda. Setidaknya 47 persen anak-anak mulai menggunakan ponsel di bawah 6 tahun dan 12 persen berusia antara satu dan dua tahun. Hasil survei tersebut memperkuat temuan dalam sebuah riset di Indonesia yang dilakukan tahun 2020 bahwa 19,3% remaja dan 14,4% dewasa muda kecanduan internet.
Rancangan KBM yang semula merupakan kegiatan tatap muka (luring) harus segera diubah menjadi kegiatan yang menggunakan internet (daring). Baik pihak peserta didik remaja, guru dan orang tua sebenarnya belum siap menghadapi pola pendidikan seperti ini. Hal ini terjadi karena percepatan penggunaan teknologi informasi yang idealnya dilakukan di masa depan, namun karena pandemi dipercepat sedemikian rupa. Sebab adanya kedaruratan dalam proses pendidikan. Guru harus segera mengubah rancangan KBM menjadi pendidikan berbasis daring. Peserta didik harus segera beradaptasi dengan belajar menggunakan gawai. Para orang tua tiba-tiba mendapat pekerjaan tambahan dengan menjadi guru bagi anak-anaknya ini.
Keadaan darurat dan mendesak ini memaksa setiap orang yang berada di lingkungan pendidikan harus bisa beradaptasi terhadap sistem pendidikan yang baru. Mereka diharapkan “melek” teknologi. Menguasai teknologi di sini bukan hanya mampu mengoperasikannya tetapi sekaligus juga memanfaatkannya dengan baik. Gawai yang semula menjadi mesin untuk berkomunikasi dan bermain, kemudian ditambah menjadi alat untuk mencari dan mendapatkan informasi. Hal ini memicu mereka meningkatkan kemampuan bekerja bersama teknologi.
Peristiwa ini berdampak positif dan negatif. Positif karena sekarang gawai menjadi alat serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dan bekerja atau belajar. Negatif karena informasi yang tersebar semakin banyak, dan menuntut kita semua untuk kritis dalam menyaring informasi yang mengandung kebenaran serta berguna bagi hidup. Permasalahan terbesarnya adalah bagaimana kita bisa mengoperasikan gawai ini untuk bekerja. Sebab tidak semua dari kita “melek” untuk belajar dengan gawai. Di samping sinyal yang kuat sangat dibutuhkan untuk memperlancar proses KBM ini.
Pelatihan untuk Mendukung KBM “New Normal”
Hal pertama yang dapat dilakukan untuk membuat proses KBM di era “new normal” ini dapat berhasil dengan baik adalah memperkuat proses komunikasi, baik di antara guru dan peserta didik, guru dan orang tua, juga antara peserta didik dan orang tua. Guru, peserta didik, dan orang tua adalah lingkaran terpenting dalam KBM ini. Sebab mereka adalah bagian dari sistem pendidikan itu sendiri. Komunikasi yang terjalin selama masa pandemi ini memang terkesan menyulitkan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses teknologi yang memadai. Apalagi saat ini komunikasi yang terjalin diharuskan secara daring. Bagaimana menyiasati hal ini?
Orang tua perlu lebih aktif dalam mendampingi anak-anaknya dalam belajar. Di samping itu mereka juga harus aktif dalam menjalin komunikasi dengan para guru di sekolah. Komunikasi ini bisa dilakukan via telpon atau email. Pendampingan orang tua sangat dibutuhkan, mengingat pola belajar via daring menyebabkan anak-anak senantiasa aktif menggunakan internet. Guru tidak bisa siap siaga seperti saat belajar luring, sehingga peran orang tua penting untuk membantu guru agar proses KBM berjalan dengan baik.
Kedua, para remaja ini sedang berada dalam masa peralihan yang akan menentukan karakter mereka. Orang tua dan guru perlu memberi mereka kesempatan untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Beri mereka kepercayaan untuk melakukan apa yang menjadi minatnya. Setiap anak adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang bagus pada kemampuan motorik, sensorik, atau kognitif. Orang tua dan guru perlu mengenali kemampuan ini pada diri remaja, untuk kemudian bekerja sama mengembangkannya.
Pola pendidikan demokrasi sangat dibutuhkan di sini. Para remaja ini perlu didengar apa yang menjadi kebutuhannya. Beri mereka kebebasan untuk mengungkapkan pendapatnya. Hal ini membantu mereka untuk berani bersuara juga untuk bekerja sesuai minatnya. Orang tua dan guru perlu hadir untuk mendampingi agar mereka tidak salah langkah. Sehingga komunikasi sangat dibutuhkan di sini. Usia mereka adalah usia yang sedang dalam proses mencari jati diri. Kehadiran orang tua dan guru dibutuhkan untuk mereka bisa memiliki sudut pandang dan panutan dari orang dewasa yang pernah berada di posisi mereka.
Mengikuti teladan Socrates, belajar akan menjadi lebih menyenangkan bila dilakukan dengan dialog. Dialog yang dilakukan membuat para remaja ini merasa bahwa suara mereka didengarkan. Orang tua dan guru pun dapat menyampaikan pendapat mereka dengan lebih baik melalui dialog yang terjalin searah. Untuk itu pendidikan demokrasi menyebabkan setiap orang diperlakukan setara. Sehingga mereka merasa nyaman sebab diterima oleh orang-orang yang terdekat dengannya. Hal yang terpenting di sini adalah bahwa proses ini harus dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga sistem pendidikan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik.
Pola Pendidikan VUCA vs VUCA
Saat ini dunia mengalami masa penuh ketidakpastian, terutama efek pandemi. Dalam bidang ekonomi dikenal istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), yakni dunia yang penuh dengan pergolakan, ketidakpastian, kerumitan, dan kebimbangan. Perubahan berjalan sangat cepat dan sering tidak terduga. Situasi ini pada akhirnya merambah sampai ke dunia pendidikan.
Pendidikan yang dihadapi para remaja ini penuh dengan perubahan yang cepat dan massif, terutama karena efek pandemi. Saat ini mereka sedang memasuki era teknologi, agar tidak ketinggalan zaman, apa yang bisa para orang tua lakukan untuk mendampingi mereka? Era VUCA dapat dilawan kembali dengan VUCA (Vision, Understanding, Clarity, Agility). Menjadi orang tua di era digital membutuhkan kesigapan dalam menghadapi perubahan yang cepat ini. Mereka dapat melawan gejolak perubahan zaman yang cepat dengan membuat visi yang jelas dengan anak-anak, terutama tentang masa depan yang ingin dicapai. Ketidakpastian dapat dilawan dengan pemahaman. Ajak anak-anak memahami perubahan ini dengan membantunya melewati masa-masa yang tidak jelas ini. Kerumitan dapat dilawan dengan kejelasan. Anak-anak perlu diajak berdialog untuk melihat kekacauan yang terjadi saat ini. Kemudian kita dapat melawan kebimbangan dengan keluwesan. Saat kita bisa fleksibel, anak-anak akan dapat nyaman berbagi dengan kita. Posisikan diri kita sebagai mitra yang setara sehingga dialog dapat tercipta dengan baik.
Kenali anak-anak anda, pahami keinginannya, jadilah pendengar yang baik melalui sudut pandang mereka. Dialog yang intens membantu kita memahami dunia mereka, dan mereka juga dapat belajar dari pengalaman yang pernah kita alami. Saat kita memposisikan diri kita sebagai mitra yang setara, mereka akan lebih mudah terbuka dalam membicarakan masalah yang sedang dihadapinya. Sebab saat ini, kita sebagai orang dewasa dituntut untuk lebih adaptif dalam menerima perubahan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sebagai orang tua tentunya harus juga mampu menyesuaikan diri terhadap partisipasi dalam proses pendidikan anak. Meski pun tanggung jawab orang tua menjadi semakin besar karena harus memantau perkembangan anak dalam situasi belajar daring, hal tersebut haruslah tetap dilakukan sebagaimana dalam proses belajar sebelum pandemi. Penguasaan gawai dan internet juga menjadi porsi tersendiri yang mau tidak mau harus dikuasai agar tidak ketinggalan dengan perkembangan dan kemampuan anak. Anak perlu didengar, mengolah emosinya dengan mendengarkan cerita mereka. Orang tua juga dapat bercerita tentang pengalaman sebagai perbanding dan menempatkan posisi sebagai saling belajar di tengah pandemi yang memang menjadi ancaman bagi semua. Berbagi pengalaman sangat penting untuk membantu mereka melihat dunia dari perspektif yang lain. Sistem komunikasi yang terjalin sebaiknya (1) menempatkan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya, (2) membangun dialog berupa komunikasi verbal-dinamis, menghindari percakapan monoton, (3) membangun kepercayaan diri si anak dan kepercayaan terhadap orang tua dengan memberi kebebasan dan tanggungjawab, serta (4) membiasakan untuk saling ekspresif menyampaikan pendapat dan perasaan. Hindari kebiasaan untuk menghakimi, karena setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar dari kesalahannya. Biarkan mereka berbuat kesalahan, asal jangan sampai fatal. Selama anda mendampingi mereka, kesalahan yang terjadi dapat diminimalisir.
Orang tua juga harus mampu menjadi hacker atau stalker sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, dalam arti dituntut untuk dapat memantau dan mengetahui hidup anak remaja anda terutama dalam penggunaan media sosial. Meski demikian, kemampuan tersebut bukanlah bertujuan untuk mengawasi secara langsung dalam arti terlibat dan ikut campur dalam kehidupan pribasi si anak. Orang tua tetap harus mengambil jarak, mendengarkan cerita dan keluh kesah mereka serta memposisikan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya dalam menyelesaikan masalah serta tantangan yang dihadapi si anak. Orang tua harus dapat menjadi teman tanpa meninggalkan atribut sosial sebagai figur yang dihormati sekaligus dipercaya.
Selain itu, dinamika yang terjadi antara orang tua dan anak juga membutuhkan pendampingan berkelanjutan berupa (1) menjalin komunikasi yang baik antara orang tua dengan guru dalam memantau perkembangan pendidikan, (2) membangun kesadaran bahwa orang tua berperan penting dalam keberhasilan pendidikan anak-anaknya. Guru sebagai pendidik menjadi mitra kerja sama bagi orang tua agar anak-anaknya berkembang menjadi manusia yang baik, sehingga (3) orang tua dan guru bekerja sama dalam mengembangkan karakter peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Penutup
Oleh karena situasi pandemi Covid-19 belumlah berakhir, maka proses pendidikan yang kini mengandalkan percepatan penggunaan teknologi informasi, kemampuan menguasai gawai serta proses belajar mengajar yang berjalan secara daring ternyata membutuhkan lebih banyak partisipasi aktif, interaksi dan kerjasama baik antara orang tua, anak dan guru. Tuntutan semacam itu harus terpenuhi mengingat pendidikan dalam era sekarang harus menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Terlepas dari segala kekurangannya, harus dilakukan upaya-upaya yang lebih konkrit berupa pendalaman interaksi, kemampuan komunikasi dan penguasaan teknologi dari semua pihak yang terlibat agar proses belajar mengajar serta tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
************************************************************************