Oleh Daoed Joesoef, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne |
SEMAKIN mendekati hari pemilihan presiden, semakin ramai warga membicarakan kriteria pemimpin yang ideal. Dalam diskusi sekelompok pemuda terpelajar, sebagian tergolong pemilih pertama kali, ada diajukan aneka macam set kualitas (karakter) pemimpin yang mereka impikan.
Yang mencolok adalah bahwa pada setiap set tertentu ada ”kejujuran” sebagai kualitas yang diniscayakan. Ternyata mereka rata-rata sudah muak dengan perilaku politik para pemimpin kita selama ini yang tidak integer, koruptif, di semua bagian dari trias-politika. Konsultasi dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyimpulkan, ”jujur” dan ”kejujuran” adalah kata lain dari ”benar” dan ”kebenaran”, jadi dua sisi dari kebajikan yang sama. Bila demikian perlu dipertanyakan apakah harapan para pemuda tadi bisa terwujud. Sebab, praksis perpolitikan kita selama ini menunjukkan bahwa ”kebenaran” (truth) dan ”politik” (politics) bukan bagai ”lepat dengan daun”, tetapi mencolok bagai ”minyak dengan air”. Kebenaran, walaupun tanpa kekuasaan dan selalu kalah bila langsung berhadapan dengan kekuatan apa pun yang berkuasa, punya satu kekuatan khas. Berupa apa pun kombinasi kekuasaan yang berlaku, ia tidak mampu menemukan atau menciptakan suatu kebenaran yang mumpuni. Tekanan kekuatan dan kekerasan bisa saja menghancurkan kebenaran, tetapi tidak akan mampu menggantikannya. Ini tidak hanya berlaku bagi kebenaran faktual yang begitu mencolok, tetapi juga bagi kebenaran rasional dan kebenaran nurani. Kebenaran politik Menanggapi politik dalam perspektif kebenaran berarti tegak di luar bidang politik. Posisi di luar bidang politik—di luar komunitas ideologis di mana kita tergolong dan di luar persekutuan kepentingan bersama—jelas ditandai sebagai salah satu cara berdiri sendirian. Yang eminen di antara cara-cara eksistensial ”mengatakan kebenaran” adalah kesendirian sang filosof, keterasingan para ilmuwan dan intelektual, imparsialitas hakim dan independensi penemu fakta dan kesaksian reporter; pendek kata, pada umumnya, sikap dari ”non-konformis”, yang bagai elang, berani terbang sendirian, tidak takut dilebur pasang setelah dengan sadar memilih hidup di tepi pantai. Biasanya kita baru menyadari natur non-politik, bahkan kelihatan bagai anti politik dari kebenaran, bila terjadi konflik antara keduanya. Kita akan tersentak karena nurani menantang mulut untuk mengatakan: ”fiat veritas et pereat mundus”, biarkan kebenaran berlaku walaupun karena itu keseharian dunia runtuh! Lalu, apakah politik tak punya kebenarannya sendiri? Apa tak ada ”political truth” seperti halnya dengan ”scientific truth”?! Dewasa ini, sewaktu ilmu-ilmu sosial melaksanakan panggilannya dengan baik, ”the most modern communicable knowledge” ini memberitahukan keberadaan kompleksitas dan keniscayaan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mengenai hal ini, jurnalisme tak jarang turut membantu pemahaman publik tentang milieu di mana para politikus beroperasi, berbeda dengan ruang terbuka dari filosofi Newtonian. Milieu operasional dari politik lebih mirip lumpur tebal yang melekat di mana Darwin mengukuhkan kesadaran human tentang yang serba kotor dan jorok ini memerlukan suatu pemerintahan, bukan dalam artian lembaga kolektif yang kerjanya ”memerintah”, tetapi entitas publik yang mengayomi, melayani, pembersih, pengatur, pengelola ”polity”. Maka ”kebenaran politik” adalah pemandu warga keluar dari kebuntuan intelektual dan politis, intellectual and political cul de sac. Kebenaran ini dimulai dengan pernyataan bahwa pemerintah, walaupun rakitan manusia, adalah ”alami”. Bagi manusia ia sama alaminya dengan pakaian dan tempat berteduh (shelter) karena ia melayani kebutuhan yang serba alami bagi manusia, bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. A well-governed polity memberikan kepada warganya ”pangan”, ”sandang”, dan ”papan”, melibatkannya dalam suatu jaringan hubungan kebiasaan dan perbuatan yang diadatkan—yang membentuk disposisinya, mengembangkan apa yang baik bagi dirinya menekan apa yang buruk. Keragaman kapasitas human pada setiap saat di setiap masyarakat, menurut George F Will, terkondisi secara historis. Berarti, deretan dari bentuk asosiasi politik yang sesuai juga terkondisi. Filosofi politik ”for all seasons” harus berupa proposisi penting, tetapi umum. Filosofi politik yang cocok untuk satu polity partikular harus lebih spesifik, tetapi ada limit sejauh mana politikus atas nama rakyat boleh menjauhi proposisi umum ketika berusaha membuat bentuk yang paling memenuhi syarat dari asosiasi politis bagi polity pada umumnya. Hal ini perlu disadari mengingat publik dari era reformasi di zaman pasca revolusi cenderung tidak lagi terikat satu sama lain oleh ”ide”, tetapi oleh ”kepentingan” yang serba primordial materialistik. Dewasa ini atmosfer politik kelihatan direduksi menjadi sejenis debu intelektual, tersebar ke segala penjuru, tak mampu mengumpulkan, tak sanggup menyatu-padukan. Jadi ”politik”, betapapun megah kelihatan dengan ”kebenaran politiknya”, yang disanjung melangit sebagai ”the art of solving the impossibles”, mengenal limit, serba terbatas. Ia tidak meliputi semua tentang eksistensi human di dunia. Ia dibatasi oleh hal-hal yang tidak dapat diubah manusia begitu saja menurut seleranya. Dan hanya dengan menghormati batasan-batasannya sendiri, bidang di mana kita bebas bertindak dan bertransformasi bisa tetap utuh, mempertahankan integritas dan memenuhi janjinya. Maka yang kita namakan ”kebenaran”, secara konseptual, adalah apa yang tidak bisa kita ubah. Secara metaforis, ia adalah bumi tempat kita berpijak dan langit yang membentang di atas kita. Bak kata kearifan lokal, di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Walaupun begitu bukan berarti ia abadi. Biasanya perkembangan zaman menuntut perubahannya. Namun, yang mengubahnya bukan politik, melainkan ”Bildung”, sinergi simbiotis antara kebudayaan dan pendidikan. Walaupun begitu, politik tidak tinggal diam. Selaku kekuasaan negara yang berlaku, politiklah yang memutuskan wacana Building yang bersangkutan menjadi satu kebijakan pemerintahan tentang pembelajaran baru di bidang pendidikan nasional. Adalah Plato yang mula-mula berusaha menanggapi politik dalam perspektif kebenaran dan tegak di luar bidang politik. Platonisme ini di zamannya menjadi sangat berpengaruh selaku oposan gigih terhadap ”polis”, yaitu jagat politik dan pemerintahan negara-kota Yunani Purba. Impian Plato memang tidak terwujud: akademi yang dibentuknya tidak pernah menjadi ”counter-society”. Kebenaran intelektual independent Kebenaran Platonis itu mengilhami pembentukan lembaga-lembaga universiter. Walaupun lembaga-lembaga ini tak pernah merebut kekuasaan negeri, amfiteater serta ruang kuliahnya berkali-kali mengetengahkan kebenaran yang sangat tak diharapkan oleh sepak terjang politis tertentu yang berambisi tetap berkuasa at all costs. Maka lembaga semacam ini, seperti juga tempat-tempat pelarian lain dari kebenaran serupa, menjadi sasaran empuk aneka bahaya yang berasal dari kekuatan/kekuasaan sosial dan politik. Peluang kebenaran untuk hidup di tengah-tengah masyarakat ternyata sangat diperbesar oleh kebenaran organisasi ilmuwan dan kehadiran intelektual independen, yang pada asasnya disinterested dalam sikap dan tindakannya. Orang tidak akan dapat membantah, paling sedikit di negeri-negeri yang dijalankan secara konstitusional, bahwa bidang politik akhirnya mengakui, meskipun di saat sedang berkonflik, sungguh berkepentingan akan eksistensi lembaga dan orang yang tidak dikuasainya dalam hal kebenaran. Jadi apa yang tidak pernah diimpi-impikan oleh Plato justru terjadi, yaitu bahwa bidang politik akhirnya mengaku butuh lembaga dan personalitas eksterior selaku pelawan kekuasaan yang, dengan begitu, menambah imparsialitas atau kenetralan yang dituntut oleh dispensasi keadilan. ● |
———————————————————————-
Sumber Tulisan Kompas 04 Maret 2014