Oleh Dr. Cicilia Damayanti, Konsultan Pendidikan dan Pengajar Mata Kuliah Pancasila
Seorang filsuf Amerika yakni Martha Nussbaum mengutip puisi Walt Withman yang berjudul By Blue Ontario’s Shore pada bagian 17 yang berbunyi, “America is only you and me”. Melalui puisi ini dia hendak menyatakan bahwa suatu negara berasal dari kesepakatan bersama dari setiap anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya. Berbicara tentang kesepakatan tentunya membutuhkan orang-orang yang kredibel dan dapat diajak bekerja sama. Sementara itu, filsuf liberal dari Amerika bernama John Rawls dalam bukunya Political Liberalism (1993), pernah berujar bahwa kesepakatan dapat terjadi bila orang-orang yang penuh pertimbangan (reasonable persons) bersatu untuk membuat kesepakatan berdasarkan kesamaan dalam perbedaan (overlapping consensus).
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana menciptakan orang-orang yang penuh pertimbangan untuk membentuk negara yang adil dan sejahtera? Pandangan Nussbaum melengkapi pemikiran Rawls, bahwa pendidikan dibutuhkan untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang dalam meningkatkan kemampuannya. Kegiatan ini membantu mempersiapkan masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam politik. Pendidikan adalah hak, tujuan, dan kesempatan bagi setiap orang untuk meningkatkan kemampuan dan harus didukung oleh sarana kesehatan yang memadai. Masyarakat yang berkomitmen kuat untuk meningkatkan pendidikan, sudah berkomitmen untuk menjaga kestabilan masa depan bangsanya, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Fungsi Pendidikan
Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia dapat meraih apa yang dicita-citakan bersama yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalimat ini bertujuan untuk mendidik dan menyamaratakan pendidikan ke seluruh penjuru Indonesia, sehingga sebuah negara yang terbentuk berdasarkan kesepakatan bersama dapat diwujudkan (kumparan.com). Kemerdekaan yang diperjuangkan bangsa Indonesia mencapai titik puncak pada peristiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di sini sosok Mohammad Hatta berperan penting dalam pengakuan kedaulatan Indonesia di kancah internasional. Melalui pemikiran Bung Hatta teks awal proklamasi yang berbunyi, “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, tercipta. Melalui kalimat itu hendak ditekankan bahwa untuk bisa merdeka dan berdaulat, maka harus ada pelaksanaan yang nyata. Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Belanda masih berusaha untuk merebut kembali Indonesia melalui agresi militer sampai perjanjian internasional. Berkat tekad dan kemampuan Bung Hatta, melalui Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai 3 November 1949, berhasil mendesak Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Di samping itu juga simpati dunia internasional dapat diraih sehingga kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda dan dunia internasional. Sebagai suatu negara, perjuangan Indonesia yang panjang setelah dijajah bangsa asing akhirnya bisa diakui oleh dunia internasional menjadi negara yang berdaulat, baik secara politis maupun geografis. Pengakuan ini menjadikan Indonesia memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk membangun negaranya sendiri.
Saat negara Indonesia terbentuk, tentu negara ini membutuhkan hukum dan peraturan untuk mengatur hidup bermasyarakat. Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH – mantan Menteri Kehakiman Republik Indonesia – dan Prof. Dr. Miriam Budiharjo – seorang pakar ilmu politik Indonesia, negara membutuhkan peraturan untuk mengatur hidup masyarakatnya. Peraturan ini dibuat agar hidup bernegara dapat berjalan dengan baik sehingga tercipta masyarakat adil dan Makmur. Saat para pendiri bangsa berkumpul untuk mendiskusikan hal ini, segala perbedaan mereka singkirkan demi berdirinya negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik suku, agama, bahasa, adat istiadatnya. Hal ini sudah dipikirkan oleh mereka dengan sangat baik agar semua perbedaan ini dapat hidup lestari di negeri ini.
Pergolakan yang Terjadi di Indonesia
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang dapat menerima kesepakatan yang sudah disetujui bersama ini. Meskipun hukum dan peraturan dibuat untuk kesejahteraan hidup bersama, ada beberapa golongan dari masyarakat tertentu yang tidak menyetujui terbentuknya undang-undang tersebut. Hal ini menimbulkan terjadinya pemberontakan di wilayah Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Sejak kemerdekaan Indonesia ada beberapa pemberontakan yang terjadi, seperti dikutip melalui Tirto.id, pemberontakan fisik banyak terjadi pasca kemerdekaan. Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 18 September 1948 di Madiun yang dipimpin oleh Muso dan Amir Sjarifuddin, memberontak dengan tujuan untuk mendirikan negara Soviet di Indonesia. Di tahun 1949, tepatnya pada 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo melakukan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dengan mendirikan Negara Islam Indonesia, tujuan pemberontakan ini adalah untuk menggantikan dasar negara Pancasila dengan Syariat Islam. Pada 15 Januari 1949, Raymond Westerling mengklaim diri sebagai “Ratu Adil” yang dapat membebaskan Indonesia dari tirani, dia membangun Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia yang mulai melakukan pemberontakan pada 23 Januari 1950. Christian Robert Steven Soumokil pada tanggal 25 April 1950 memimpim gerakan separatis yang bertujuan untuk membentuk negara Republik Maluku Selatan (RMS). Di Sumatera dan Sulawersi pada tahun 1957-1958 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan Ventje Sumual, mereka menuntut keadilan dalam pembangunan di Indonesia yang dianggap terlalu dipusatkan di Jawa, sehingga mereka berinisiatif melakukan pemberontakan kepada pemerintah dengan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) sebagai upaya untuk memperbaiki pemeritahan di Indonesia.
Pada era 1950-an Negara Indonesia mengalami rangkaian pergolakan yang hebat sehingga menimbulkan berbagai macam pemberontakan. Pemberontakan ini menjadi cara dan upaya para pemberontak untuk mengubah bentuk negara Repulik Indonesia. Indonesia menyelenggarakan pemilu pertama kali di tahun 1955, dan karena UUD yang diharapkan belum dapat disusun menyebabkan terjadinya krisis di bidang politik, ekonomi, dan keamanan, sehingga pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang isinya:
- Pembubaran Badan Konstituente
- Tidak berlakunyaUndang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Dekrit ini berusaha untuk tetap menerapkan Pancasila sebagai dasar negara, namun penerapannya lebih diarahkan pada ideologi liberal yang pada akhirnya tidak dapat menjamin stabilitas pemerintah. Melalui dekrit ini Indonesia kembali ke sistem otoriter, sebab semua kekuasaan pemerintah berada di tangan presiden. Era ini sering disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Periode politik pada Demokrasi Terpimpin terbentuk berkat dukungan Angkatan Darat dengan A.H. Nasution sebagai Menteri Pertahanan. Semakin beranjak tua, era kepemimpinan Sukarno semakin menunjukkan kedikatatorannya. Pada tanggal 18 Mei 1963, melalui sidang MPRS, Sukarno ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup, meskipun keputusan ini bertentangan dengan UUD 1945, dia yang semakin tua menerima begitu saja keputusan tersebut, bahkan terkesan bangga dengan kebijakan yang tidak demokratis itu. Setelah pemberontakan G30S gagal, pada tahun 1967 Nasution ditunjuk menjadi pemimpin MPRS gaya baru yang berisi unsur-unsur anti komunis dan anti Sukarno. Melalui mereka lah Orde Baru terlahir dengan jargon Demokrasi Pancasila yang ternyata tidak jauh nuansanya dengan Demokrasi Terpimpin.
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Suharto mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat, terutama karena maraknya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di kalangan para pejabat pemerintah. Hal ini yang mendorong ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pertangungjawaban presiden atas semua peristiwa krisis yang terjadi di dalam negeri. Kejadian ini menyebabkan Presiden Suharto menyatakan mundur dari Jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan Presiden B.J. Habibie sebagai presiden ketiga Republik Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Orde Reformasi.
Pola Pendidikan bagi Generasi Muda
Setelah semua pergolakan ini mereda, apakah kemudian semua ancaman terhadap berdirinya Negara Republik Indonesia sudah berakhir? Jawabannya tentu saja tidak. Pancasila sebagai dasar negara menganut nilai-nilai yang dinamis dan terbuka bagi setiap ideologi, pada akhirnya membuka jalan bagi masuknya ideologi yang ternyata bertentangan pada nilai-nilai hidup yang mengancam segi kemanusian. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk membedakan pengertian antara pemberontakan dan terorisme, untuk menjembatani pengetahuan tentang pergolakan yang terjadi di masa lalu dan saat ini. Tidak ada definisi yang tepat untuk menjelaskan tentang pemberontakan dan terorisme. Pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang dalam masyarakat yang merasa dirugikan dengan kebijakan dan program dari pemerintah. Mereka kemudian berusaha untuk meraih kebebasan untuk diri sendiri dan kelompoknya dengan melakukan pemberontakan. Pemberontakan kecil yang kehilangan dukungan dari para pengikutnya disebut sebagai perampokan. Biasanya pemberontakan terjadi di negara-negara yang memiliki banyak identitas etnis atau perpecahan dalam masyarakat yang mengarah pada aspirasi dan harapan yang hancur. Pemberontakan dianggap sebagai masalah internal negara berdaulat, dan masyarakat internasional tidak dapat ikut campur dalam masalah ini. Sedangkan terorisme dapat dipahami sebagai filosofi yang mencoba menggunakan teror sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis. Teroris sengaja menargetkan warga sipil yang tidak bisa membela diri, untuk menciptakan teror dalam pikiran mereka dan untuk memberi pelajaran pada pihak yang berwenang. Terorisme adalah metode untuk menggunakan kekerasan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil untuk menarik perhatian pihak yang berwenang. Dari pengertian ini jelas bahwa pemberontakan merupakan upaya perlawanan terhadap otoritas yang ada dan sebagian besar dilokalisasi, sementara terorisme tidak mengenal batas (id.sawakinome.com).
Pada era teknologi digital pemberontakan lokal tergantikan dengan jaringan terorisme yang semakin menglobal. Dikutip dari Liputan6.com, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang saat ini dipimpin Komjen. Pol. Boy Rafli Amar menyatakan ada enam kelompok teroris yang masih aktif melakukan pergerakan di Indonesia. Antara lain: Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Negara Islam Indonesia (NII), Muhajidin Indonesia Timur (MIT). Amir Jamaah Ansharu Syariah (JAS), Ustaz Mochammad Achwan melalui Merdeka.com membantah pernyataan pihak BNPT yang mengkategorikan kelompoknya sebagai jaringan teroris. Dia menyatakan bahwa pihaknya belum pernah menerima BNPT untuk berdialog dan melakukan penelitian tentang pemikiran atau gerakan JAS, sehingga klaim BNPT menurutnya adalah berdasarkan stigmatisasi belaka. Menurutnya JAS juga menolak segala bentuk terorisme. Kegiatan yang dilakukan JAS jauh dari unsur kekerasan yang menimbulkan teror dan rasa takut di masyarakat. Mochammad Achwan dengan tegas menyatakan bahwa JAS selama ini berperan aktif dalam memberantas paham ekstrim yang mengarah pada terorisme. Baginya, sudah menjadi kewajiban kaum muslim untuk menasihati sesama muslim agar tidak terjerumus ke dalam paham yang keliru dan ekstrim dan dapat menjurus ke terorisme.
Melalui Beritasatu.com, Ken Setiawan, pendiri NII Crisis Center, menyatakan bahwa jaringan Negara Islam Indonesia (NII) mampu menyatukan semua jaringan teroris yang berada di Indonesia. Dia menambahkan bahwa NII mampu menggerakkan sel-sel tidur dan mulai menyusup ke semua lembaga/instansi baik pemerintah maupun swasta. Jaringan ini diklaim mampu melengserkan pemerintah sebelum pemilu 2024. Basis anggota NII tersebar di Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, dan Garut di Jawa Barat. Jaringan ini mampu berkamuflase dengan berpenampilan fisik seperti orang biasa agar mudah berbaur dengan masyarakat sekitar. Mereka seperti bunglon yang pandai menyembunyikan jati diri sehingga saat penangkapan masyarakat banyak yang tidak percaya, sebab mereka dianggapa sebagai orang baik yang mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Yang lebih mengkhawatirkan, saat ini NII sudah bekerja sama dengan jaringan transnasional seperti salafi, wahabi, jihadi, dan juga Ikhwanul Muslimin di luar negeri untuk melawan NKRI.
Pendidikan diharapkan dapat membantu para generasi muda untuk membuka wawasan pengetahuan mereka sehingga dapat menjadi warga negara yang cerdas dalam masyarakat demokratis. Pendidikan akan semakin berdaya guna bila dapat menyeimbangkan kemampuan nalar dan emosi para siswa. Keseimbangan dalam pendidikan ini membantu mereka untuk menganalisa dan mengkritisi peristiwa yang sedang terjadi. Pendidikan dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menyampaikan pendapat, serta untuk menghargai pendapat orang lain yang belum tentu sama dengan mereka. Kemampuan ini akan membantu mereka untuk menghargai keragaman berpikir di masyarakat. Kemampuan ini dapat mengubah pola pikir mereka bahwa berbeda bukan berarti menjadi lawan, tetapi dapat memperkaya wawasan. Melalui kemampuan ini diharapkan mereka dapat mencegah penyebaran terorisme yang bertujuan untuk mengancam ketenangan hidup bersama. Mereka perlu diajak untuk menghidupi kembali nilai-nilai kemanusiaan yang tercantum dalam Pancasila. Salah satunya adalah dengan membimbing mereka untuk menyadari bahwa Pancasila sebagai falsafah negara adalah kekuatan bangsa Indonesia yang menjadi dasar dan arah untuk mengakui, menjamin, dan melindungi perbedaan. Mengutip pandangan Rawls dalam buku A Theory of Justice (1971), kesetaraan identik dengan kepedulian yang merata, yakni tidak dibenarkan mengorbankan hak satu orang pun demi kepentingan ekonomi yang besar. Kebebasan identik dengan hak pribadi, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk mengembangkan kemampuannya. Melalui doktrin menyeluruh dia hendak menyampaikan bahwa setiap orang dengan pandangan yang berbeda tentang filsafat, moral, agama dan politik dapat hidup damai di bawah satu payung. Mengacu pada pandangan tentang doktrin menyeluruh, masyarakat yang majemuk dapat mencapai kesepakatan berdasarkan kesamaan dalam perbedaan; meskipun setiap kesepakatan ini tidak ada yang maksimal, namun setiap kepentingan terwakili. Kondisi di mana setiap kepentingan terwakili disebut keseimbangan reflektif (reflective equilibrium)
Sebagai generasi yang melek teknologi, mereka terdidik dalam sejarah, sebab mesin pencari seperti Google sudah tersedia di masa pertumbuhan mereka. Mesin pencari ini membantu mereka dalam menggali informasi penting tentang dunia, sehingga mereka tumbuh dan belajar lebih banyak dari generasi sebelumnya. Tepat di sini peran pendidik sangat dibutuhkan. Penyebaran informasi yang kian cepat dan merata ini dapat membawa mereka untuk mendapatkan informasi yang keliru. Sebagai pendidik, kita dapat mengajak mereka untuk berpikir kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi yang tersedia. Saat mereka mendapat informasi, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah menyaring informasi tersebut, apakah sudah sesuai fakta atau tidak. Mereka dapat diajak untuk membaca buku-buku yang dapat menggali kebenaran informasi, atau mencari informasi pada website lembaga/instansi yang terkait dengan informasi tersebut. Sebagai contoh, kita dapat mengajak mereka untuk mencari informasi lebih lanjut tentang jaringan teroris pada lembaga seperti BNPT. Info berdasarkan fakta dan kebenaran yang sudah teruji ini dapat disebarluaskan kepada publik sebagai sarana untuk mencegah terjadinya kekacauan yang meluas.
Penutup
Para generasi Z (yang terlahir dalam rentang tahun 1995 – 2010) dan generasi Alpha (yang terlahir pada tahun 2010), sebagai generasi muda, dapat kita arahkan untuk memahami bahwa informasi yang tersedia penuh dengan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Suatu informasi membawa prasangka yang diikuti dengan pengetahuan. Prasangka tersebut dapat mempengaruhi pertimbangan kita saat mengolah informasi yang diterima. Pertimbangan untuk mengolah informasi ini disebut sebagai kontrol diri, dan disinilah nalar kritis berperan penting untuk menimbang informasi yang diterima dengan cara mencari kebenarannya melalui lembaga/instansi yang kredibel. Keadilan akan terwujud bila setiap orang berpikiran kritis dan terbuka pada perbedaan pendapat dalam dialog. Dan kesepakatan berdasarkan kesamaan dalam perbedaan ini merupakan hasil refleksi kritis dari masyarakat majemuk, yang selanjutnya akan menjadi struktur dasar dalam masyarakat, dan salah satu harapannya adalah kesetaraan setiap orang. Di samping itu, melalui pendidikan demokrasi generasi muda diajak untuk menerima keragaman dan menghormati martabat kemanusiaan. Seseorang dapat melepaskan diri dari belenggu wawasan yang terbatas dan kebiasaan hidupnya yang sempit dengan bantuan imajinasi dan nalar kritis. Kemampuan ini menyebabkan setiap orang dapat mengatasi nasionalisme sempit dan menerima keragaman identitas, asal negara, kelas, ras, dan gender. Argumentasi kritis dan analisa logis membantu setiap orang untuk dapat menghargai kebebasan dan menerima keragaman manusia. Pandangan ini menancapkan keyakinan bahwa martabat setiap manusia layak untuk dihargai.