Oleh Ignas Kleden, Sosiolog – Penikmat Sastra
Penyair Sapardi Djoko Damono dikenal dan dikenang (sejak 19 Juli 2020) sebagai pengamat peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sanggup memberi makna besar dalam sajak-sajaknya.
Dia juga terlalu asyik dengan eksperimen bentuk sajak-sajaknya, bahkan seringkali menulis puisinya dalam bentuk prosa, sebagaimana ditengarai Prof A Teeuw yang mengikuti perkembangan sastra Indonesia dengan tekun dan telaten selama hidupnya. Bahkan, Teeuw berpendapat, ambiguitas puisi diterapkan Sapardi tidak saja dalam memaanfaatkan polisemi kata-kata, tetapi juga melalui penulisan sajak dalam bentuk prosa, yang merupakan suatu inovasi yang dapat membuka kontroversi dan kemungkinan baru dalam penulisan sebuah sajak di masa depan.
Eksperimen ini patut dilihat sebagai sebuah genre yang belum ada Namanya, tetapi jika ada kritikus atau peneliti sastra kelak mendapatkan istilah untuk sajak prosa ini, Sapardi akan dicatat sebagai salah seorang penemunya avant la lettre.
Imajistik
Pendapat Teeuw ini dikonfirmasi peneliti sastra Indonesia dari Malaysia, Muhammad Hj Saleh, sambil menambah keterangan bahwa sajak-sajak Sapardi selalu memperlihatkan sifat imajistik. Secara singkat, imajisme (imagism) adalah aliran dalam kesusasteraan yang dirintis, antara lain, oleh penyair Amerika, Ezra Pound, tahun 1912, dan kemudian meluas pengaruhnya di Amerika dan Inggris.
Menurut para ahli sejarah sastra, imajisme banyak terpengaruh oleh sajak-sajak klasik China dan sajak-sajak Haiku Jepang. Ezra Pound sendiri berpendapat, dalam sebuah sajak imajis harus terjadi suatu pengamatan dan penghayatan langsung, entah obyektif atau subyektif. Untuk menjamin presentasi langsung ini penyair harus berusaha membuang kata-kata yang tak a da fungsinya dalam membangun sifat langsung presentasi itu. Irama dalam sajak-sajak hendaknya tak dilukiskan dengan istilah-istilah metronom (misalnya dalam hitungan ketiga/trimeter, keempat/tetrameter, kelima/pentameter, keenam/heksameter, dan seterusnya), tetapi hendaknya menggunakan istilah-istilah musik.
Ciri terakhir ini dengan mudah ditemukan pada sajak-sajak Sapardi yang memakai judul seperti “Hujan dalam Komposisi 1, 2, 3” atau “Variasi Pada Suatu Pagi” yang dapat dibaca dalam Kumpulan sajaknya, Mata Pisau. Pengamatan dan presentasi langsung semacam itu tidaklah memuat deskripsi dari apa yang dilihat dan diamati, tetapi mengandung suasana yang dirasakan dalam berhadapan dengan suatu obyek atau keadaan. Contoh tentang suasana yang tertangkap dalam pengamatan langasung itu terlihat dalam sajak-sajaknya tentang perjalanan, khususnya perjumpaan dengan kota-kota lain yang mungkin sebelumnya belum dikenalnya.
Dalam sajak “New York, 1971” perjumpaan dengan kota pencakar langit itu dirasakannya seperti bersalaman dengan baja dan semen. Dia kemudian memberi nasihat, “Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja dan semen, yang mengatur langkah kita, lampu-lampu dan kaca. Langit hanya dalam batin kita”. Tentang kota Chicago, penyair ini bertanya dalam sajak “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago”, “…….manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa menghitung napas kita), ketika seorang membayangkan sepucuk pistol teracu ke arahnya?”
Tentang San Farnsisco dia menulis sajak satu bait berjudul “Kartu Pos Bergambar: Jembatan ‘Golden Gate’, San Fransisco”. Di sini suasana yang menimpa penyair kita adalah “kabut yang likat dan kabut yang pupur / lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan / matahari menggeliat dan kembali gugur / tak lagi di langit! Berpusing di pedih lautan”. Honolulu mengingatkan Sapardi akan lembah Manoa. Dalam sajak “Lembah Mano, Honollulu” ia menulis “Mula-mula jalan setapak yang berakhir / di sebuah lorong kecil. Mula-mula matahari pertama / yang membimbing kita ke kaki bukit / tak berakhir di mana pun.”
Dari penyair ini, Tabanan Bali, adalah pemukul gendang di Bantar Tunjuk. Dalam sajak “Di Banjar Tunjuk, Tabanan” kita membaca “Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama” yang mengiringkan Sita memasuki hutan. Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang / akan membawa Sita di antara kuku-kukunya. / Pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang / memeperkosa Sita di Taman Raja.”
Travelog Sapardi tak berisi lukisan geografis atau deskripsi sosial sebuah kota, tetapi memuat terpaan suasana dari luar dan tanggapan perasaan dari dalam diri penyair. Dengan demikian, memenuhi syarat yang diajukan Ezra Pound tentang sajak imajis: direct treatment of the “thing”, whether subjective or objective. Dalam cerita perjalanannya, Sapardi memberikan tanggapan subyektif, tetapi selalu merupakan tanggapan langsung menurut perasaannya.
Maka, New York adalah tempat langit sudah tak tampak di mata dan hanya ada dalam batin kita, Chicago adalah kereta bawah tanah dengan seseorang menodong pistol ke arahmu. San Fransisco, tampak seperti tiang-tiang jembatan Golden Gate, tempat kabut yang likat dan pupur, mencair seperti gerimis, Honolulu tampak pada jalan setapak di Lembah Manoa, yang berakhir di sebuah Lorong sempit, sementara matahari mengantar orang ke kaki bukit, dalam perjalanan yang tak berakhir di mana pun. Tabanan di Bali menjelma dalam diri pemukul gendang, yang membayangkan dirinya berubah tiap kali gendang dibunyikan, sekali sebagai Rama, lalu sebagai Garuda, dan akhirnya sebagai Rawana. Lukisan suasana dan tanggapan perasaan yang langsung seperti itu hampir selalu ditemukan dalam banyak sajak Sapardi, dengan kehalusan dan kecermatan yang mengangumkan.
Dengan ketajaman intuisi rasa seperti itu, sesuatu apa pun selalu berkata-kata kepada penyair. Dia memperingatkan jangan sekali-kali mematahkan sekuntum bunga, karena di sana terbaca sebuah riwayat hidup singkat, yang mengandung kekerasan alam yang dilaksanakan dengan kasih sayang. Dalam sajak Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan terbaca riwayat hidup itu “Jangan; saksikan saja dengan teliti / bagaiman Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam / membunuhnya dengan hati-hati sekali / dalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam. / lihat; ia pun terkulai perlahan-lahan / dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.”
Dia pun sanggup berkisah tentang percakapan seorang yang berjalan ke barat di waktu pagi dengan matahari yang terbit di sebelah timur. Dalam sajak “Berjalan ke Barat waktu Pagi Hari” kita baca “waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang/aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan/aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang/ aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.”
Bahasa Politik
Diterjemahkan ke bahasa politik, bayang-bayang adalah citra seseorang dalam kehidupan publik. Perlukah ada persoalan besar apakah citra itu hasil pencitraan seseorang tentang dirinya, atau tanggapan mata-hati orang lain yang memandang hidup dan perilaku orang itu? Juga perlukah ada persoalan apakah citra itu harus berjalan di depan dan berkibar untuk diri orang yang bersangkutan, ataukah orang yang bersangkutan harus berjalan di depan dan citranya akan menyusul di belakang sebagai bayang-bayang?
Unik sekali pada penyair ini bahwa dalam sajak-sajak sosial, dia tak kehilangan liriknya karena dia punya disiplin untuk tak terserap ke dalam dramatic yang tak perlu. Sajak “Sepasang Sepatu Tua” dan sajak-sajak sejenisnya merupakan bukti kemampuan penyair mempertahankan lirik dalam suasana sederhana, yang membawa kita ke permenungan yang dalam dan mungkin rumit.
Ia menulis, “sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu / yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu. / Yang kiri menerka mungkin besok mereka dbawah ke tempat sampah dibakar Bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa. / Sepasang sepatu tua saling membisikan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua.”
Sepasang sepatu tua secara tak terhindarkan mengisahkan kisah hidup sebagian dari kita. Apakah hidup kita bergerak hanya di sudut sebuah gedung berdebu? Apakah kenangan Sebagian kita hanya terbatas panasnya aspal yang meleleh atau lumpur jalanan sehabis hujan? Dalam keadaan itu mungkin juga banyak pembicaraan hanya menjadi bisik-bisik di antara sepatu kiri dan sepatu kanan.
Mungkin tugas politik yang bermartabat adalah mendengar apa saja yang dibisikkan, sekalipun sulit menafsirkan apa yang dipahami hanya oleh sepatu kiri dan sepatu kananyang sudah lusuh, dalam percakapan mereka. Kisah sepasang sepatu tua ini sangat mungkin orang mengepalkan tinju, tetapi dapat dipastikan akan mengiris rasa pilu yang perih tentang apa yang dapat diperbaiki, tetapi selalu diabaikan.
Ternyata penyair kita ini memberikan perhatian besar pada sajak-sajak sosial dalam presentasi langsung, entah subyektif entah obyektif, tentang apa yang terjadi di antara kita. Dua Kumpulan sajaknya telah menghimpun sajak-sajak sosial ini, Ayat-Ayat Api (tahun 2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini Den Sastro? (2002). Di antara banyak sajak sosail ini saya hanya mengutip sajak panjang berjudul “Dongeng Marsinah” terdiri dari enam bagian. Beberapa bagian dikutip di sini. Pada bagian pertam dia menulis: “Marsinah buruh pabrik arloji, / mengurus presisi / merakit jarum, sekrup, dan roda gigi / waktu memang tak pernah kompromi / ia sangat cermat dan pasti. / Marsinag itu arloji sejati / tak lelah berdetak / memintal kefanaan / yang abadi: / ‘kami ini tak banyak kehendak / sekedar hidup layak, / sebutir nasi.”
Pada bagian ketiga sajak itu Sapardi melanjutkan, “Dihari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan / untuk suatu perhelatan. / Ia diantar ke rumah Siapa / dan disekap di ruang pengap, ia diikat dikursi: / mereka kira waktu bisa disumpal / agar lengkingan detiknya / tidak kedengaran lagi. / Ia tidak diberi air, / ia tidak diberi nasi;detik pun gerah / berloncatan ke sana ke mari. / Dalam perhelatan itu, / kepalanya ditetak, / selangkangnya diacak-acak, / dan tubuhnya dibirulebamkan / dengan besi batangan. / detik pun tergeletak. / Marsinah pun abadi.”
Kita barangkali bertanya, mengapa abadi? Jawaban penyair terdapat pada akhir sajak panjang ini pada bagian ke-enam. Katanya, “Marsinah itu arlojisejati, / melingkar di pergelangan / tangan kit aini.” Atas cara itu Marsinah menciptakan sebuah oksimoron yang tidak kita sadari. Sebagai arloji sejati ia “tak lelah berdetak / memintal kefanaan / yang abadi.” Ya ya, benar sekali, kefanaan yang abadi, dan tak pelak lagi seperti cinta “kayu kepada api yang menjadikannya abu (dari sajak “Aku Ingin”).”
——————————-
Sumber Tulisan: Harian Kompas, Sabtu, 1 Agustus 2020