Oleh Charles Beraf, Social Reseraches pada Detukeli Research Centre di Detukeli, Flores
HUBUNGAN, baik dengan “Yang Kudus” maupun dengan kosmos, juga ada dalam agama asli masyarakat etnik Lamaholot (yang tersebar di Flores Timur, Solor, Adonara, Lembata, juga Alor). Di wilayah kebudayaan ini, Yang Kudus disapa umum dengan nama Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan (Bapa Matahari Bulan, Ibu Bumi). Kerap juga disapa Ala Ta Ala (Allah) atau Alepkme (Pemilik kami). Ama Lera Wulan mengandung arti Bapa yang tertinggi, berkuasa, sedangkan Ina Tana Ekan berarti ibu yang berdaya menumbuhkan, yang olehnya kehidupan dirahimi dan dilahirkan.
Nama dan pengertian Ina Tana Ekan tidak mengacu secara terbatas pada tanah (darat), tetapi untuk sebagian komunitas Lamaholot yang lain, juga mengacu pada laut yang juga dipandang sebagai ibu. Di Lamalera – Lembata misalnya, laut dipandang sebagai Ina Lefa (Ibu Samudra) yang kudus.
Prespektif kosmologis ini mau memperlihatkan bahwa relasi dan korelasi antara yang kosmis dan “Yang Kudus” didominasi oleh pandangan alam sebagai “ibu”. Laut adalah ibu yang kudus, yang dalam dan dengannya pengalaman-pengalaman transendental akan “Yang Kudus” itu ada, yang turut memengaruhi cara hidup (cara bagaimana menghayati hidup), baik di laut maupun di darat.
Mereka percaya bahwa ketika mereka ke laut (terutama menangkap ikan Paus), mereka pergi untuk mengambil knato (kiriman) dari “Yang Kudus”, yang dititipkan melalui Ina Lefa. Knato sesungguhnya dimaksudkan juga untuk kehidupan mereka di darat. Karena itu, ketika mereka melaut, mereka melaut dengan suatu sikap seorang religius, yang menandakan bahwa mereka sedang berinteraksi dengan yang kudus.
Pengalaman-pengalaman transendental yang terbentuk dari relasi dengan alam dan dengan “Yang Kudus” itu umumnya juga ada pada komunitas-komunitas Lamaholot yang lain, yang juga memandang “Yang Kudus” sebagai Bapa Matahari Bulan, Ibu Bumi. Pengalaman yang mereka timba dari praksis hidup mereka dalam relasinya dengan alam dan “penguasa dan pemilik alam semesta” itu tampak terangkat sebagai kepercayaan yang positif atau yang naturalistik, yang dalam bahasa John Dewey misalnya, disebut sebagai suatu “kepercayaan humanistik” atau dalam bahasa Erich Fromm “suatu psikologi humanistik”.
Namun penamaan atas “Yang Kudus” sebagai Bapa Matahari Bulan, Ibu Bumi memerlihatkan bahwa pengenalan atas “Yang Kudus” sesungguhnya diantarai atau terjembatani oleh benda-benda kosmik, yang meski dipandang sebagai yang melampaui, jauh lebih besar dari manusia (transenden), namun bisa dicerap dalam pengalaman indrawi (imanen). Dengan kata lain, transendensi dan imanensi dari “Yang Kudus” itu tampak dan dilambangkan sekaligus dalam dan melalui benda-benda kosmik, yang kelihatan dan dikenal, familiar dengan kehidupan masyarakat etnik Lamaholot. Di balik relasi yang kosmologis sifatnya, terungkap secara spesialis relasi dengan “Yang Kudus” (relasi religius).
Relasi yang kosmologis sekaligus yang religius ini diaproriasi secara khusus antara lain melalui ritual, yang yang dipusatkan pada Nuba Nara (Nuba: tugu batu panjang (menhir) yang ditancapkan pada tanah, dan Nara: batu-batu ceper yang mengelilingi Nuba). Di kalangan masyarakat Lamaholot, Nuba Nara amat jarang diartikan, selain hanya diketahui sebagai pusat ritual. Nuba, kata ini berhubungan dengan kata Nobo atau Tobo, yang berarti duduk, sedangkan Nara berarti orang (manusia), yang sering dipadankan kata Kajak berarti orang banyak.
Nuba Nara dapat diartikan sebagai ‘yang duduk dengan orang (manusia) atau yang duduk di antara orang (manusia). Arti ini kerap dieloborasi dengan melihat kemiripan kedua kata ini (nuba nara) dengan dua kata Lamholot lain yakni tubak dan tarak. Tubak berarti tikam, menikam dan Tarak berarti tertancap, terdampar. Nuba Nara, karena itu kerap diartikan juga sebagai ‘yang menikam atau yang ditikam’ dan ‘yang tertancap’.
Arti ini pada masa ini oleh orang-orang Katolik: dimaknai sebagai peristiwa inkarnasi menurut prespektif Kristologi Katolik: Allah yang di atas, datang dan tinggal di antara manusia atau Dia yang ‘menikamkan’ diri dan yang ‘tertancap’ di bumi, di antara manusia.
Beberapa pengertian tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa sebagai pusat ritual, Nuba Nara merepresentasikan “Yang Kudus” (Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan), Dia yang jauh di langit sekaligus yang dekat di bumi, di antara manusia. Karena itu, ritual yang dijalankan di Nuba Nara, selain bertujuan menghormati “Yang Kudus”, juga demi kemaslahatan hidup orang banyak.
Nuba, seperti Tubu pada masyarakat etnik Lio, digambarkan sebagai seorang laki-laki, dan seperti Kanga di Lio, Nara digambarkan sebagai perempuan. Dari bentuknya pun, ada kemiripan dengan Tubu Kanga di Lio: batu bulat lonjong (nuba) serupa kelamin laki-laki, dan susunan batu yang melingkar (nara) serupa kelamin perempuan.
Namun lebih jauh dari itu, ungkapan Nuba kame Lagadoni, Nara kame wato Peni (Nuba kami Lagadoni, Nara kami batu Peni) setiap kali ada ritual di Nuba Nara bisa menadi acuan untuk memahami mengapa penggambaran dibuat demikian. Langodoni, pada masyrakat Lamaholot adalah nama untuk laki-laki, dan Peni, untuk perempuan.
Nuba Nara selalu berada dekat dengan Koke ( kuil tempat tinggal roh-roh) berupa bangunan rumah panggung, tak berdinding dan beratap alang-alang dan Bale (tempat pertemuan tua-tua adat). Di depan Koke Bale, terdapat Namang atau Neme sebagai arena tanda setiap kali ada ritual atau pesta adat. Area di mana ada Nuba Nara, Koke Bale dan Nemme adalah area yang sakral.
Kata-kata atau tindakan tidak senonoh haram untuk diucapkan atau dilakukan di area itu, terutama ketika diadakan ritual. Pun tidak semua orang bisa diperbolehkan masuk atau mengadakan ritual (mempersembahkan sesajen), khususnya di Nuba Nara dan di Koke Bale. Ritual di Nuba Nara dan Koke Bale hanya dilaksanakan oleh orang yang secara adat ditetapkan sebagai pemangku (blimut) atau pelaksana adat (ata smara), yang biasanya datang dari marga atau suku tertentu, yang sejak dulu telah (diangkat) jadi pemangku.
Ada macam-macam ritual yang dijalankan di Nuba Nara, yang berkenaan antara lain dengan kehidupan sosial, ekonomi, atau pun terkait dengan hubungan masyarakat dengan alam. Ada ritual panggil hujan atau makan jagung muda misalnya, dilaksanakan di wilayah yang masyarakatnya menggantungkan hidup pada petanian, tetapi juga ada ritual panggil ikan di wilayah yang masyarakatnya hidup dari laut.
Di Mingar, Lembata, dalam ritual panggil hujan misalnya, semua masyarakat dari semua suku akan dikumpulkan dan dengan tenang mengelilingi Nuba Nara (tidak batuk atau mengucapkan sepatah kata pun) dan Ata Smara berdiri dekat Nuba Nara, mengenakan pakaian kebesaran dan dikuti dari belakang oleh satu orang yang disebut Semage serupa seorang ajudan yang bertugas menjaga Ata Smara. Ata Smara akan mengucapkan doa berikut:
“Ala ta alagoka lodo, tenaj eko sefo gere, nuba kame Langodoni, nara kame wato Peni, Pati Suar rae ile lolo, mete ura hau, lau Laot lau miten, mete ura dai” (Allah, turunlah, berpijaklah dan berdirilah di tanah ini, Nuba kami Lagadoni, Nara kami batu Peni, Pati Suar di atas gunung guyurkan hujan, Laot di kehitaman laut, bawalah hujan).
Setelah doa diucapkan, Keles Reget (penyembelih binatang), di depan Nuba Nara, memenggal leher kambing dengan sekali penggal hingga putus, Darah kambing dioleskan pada Nuba Nara menjadi sekaligus peresembahan di Nuba Nara. Lalu hati kambing dimasak dan juga dipersembahkan untuk Nuba Nara.
Ritual dimaksud terkait erat dengan peristiwa kosmik. Kalau terlihat langit yang terang dengan banyak bintang disertai dua gumpalan awan (dianggap sebagai wakil dari sepasang suami isteri), maka itu pratanda aka nada curah hujan yang cukup. Terkait hal ini, ritual dimaksud agar awan dapat berwujud hujan. Tetapi sebaliknya, kalau hanya satu gumpalan, maka aka ada kekeringan atau kelaparan.
Penggalan syair berikut mengungkapkan ini: “sama kowa laka nuka, sama uru lera mata”(serupa awam yatim, serupa hujan dimusim kemarau). Terkait hal ini, ritual menjadi cara masyarakat memohon pertolongan dan berkat dari Ama Lera Wulan, Ina Tana Ekan.
Ritual-ritual semacam itu berkaitan erat dengan waktu yang dihayati sebagai bagian utuh dari aktivitas-kativitas sosial serta fenomena ekologis dan meterologis. Waktu untuk ritual panggil hujan misalnya, mesti dijalankan ketika menjelang musim tanam atau ketika kekeringan hebat melanda. Memang sebagian besar dari suku-suku Lamahollot tidak mengenal atau lebih tepat tidak menamai waktu seperti pada masyarakat LIo, tetapi mereka mengenal waktu secara periodik yang terbedakan dari waktu suci saat ritual harus dijalankan dan waktu biasa ketika berlangsungnya peristiwa-peristiwa tanpa arti religius yang khusus.
Karena itu, suatu tanggal khusus yang ditentukan dalam kalender (penanggalan modern) tidak punya arti pada dirinya sendiri, misalnya bagi mereka yang menanti hujan untuk memulai pengolahan tanah. Apa yang penting adalah kejadian itu sendiri: turunnya hujan, menanam dan memanen. Dengan lain perkataan, makna waktu diperoleh melalui rentetan peristiwa-peristiwa kosmik yang melingkunginya atau yang dialaminya, yang seawaktu-waktu bisa berubah.
Hal serupa juga ada pada suku Lamaholot lain yang bergantung hidupnya pada laut, seperti di Lamalera. Di Lamalera dikenal waktu suci yang disebut sebagai lefa nuang atau mussi lefa (musim melaut). Lefa bisa berarti samudra, lautan. Lefa juga bisa berarti kegiatan melaut, mengarungi samudra, sedangkan nuang berarti musim, yang sama artinya dari mussi. Nuang juga berarti perkataan. Lefa nuang sebagai waktu suci tidak hanya berkenaan dengan ritual melaut, tetapi juga menyangkut aktivitas melaut itu sendiri, yang secara imperatif menuntut perkataan (nuang) dan tindkan (lefa) yang suci pula, baik selama di laut maupun di darat. Selain itu, Lefa Nuang kerap disebut juga sebagai Lefa Hari Nuang. Hari adalah sebutan untuk roh halus, yang menurut masyarakat Lamalera, turut menjaga dan melindungi kesucian laut.
Lefa Nuang ini biasanya berlangsung dari April sampai November; yang diawali dengan ritual di Nuba Nara, dilanjutkan dengan kegiatan melaut dan diakhiri juga dengan ritual. Periode waktu ini memang hingga sekarang sudah dianggap tetap seturut kalender modern, namun sebenarnya ini dimulai sejak dulu dengan melihat tanda-tanda kosmik, yakni munculnya Wuno Pito (rasi bintang biduk), yang dipercaya dapat menjadi petunjuk mengenai arah angin dan arus lautan – hal yang penting ketika melaut. Di luar periode ini, kegiatan melaut memang tetap dijalankan, namun tidak seintens ketika Lefa Nuang. Pada periode ini kegiatan lain yang bersifat profan dan privat seperti berkebun bisa pula dilakukan.
Pembedaan, baik dalam hal waktu maupun dalam hal aktivitas (religius dan profan), tidak berarti hubungan dengan Yang Kudus turut dibatasi, hanya ketika suatu ritual atau aktivitas religius dijalankan di Nuba Nara atau suatu urusan yang amat profan dan privat sifatnya sama sekali menidakkan campur tangan Yang Kudus. Ketika misalnya memasuki rumah baru atau membuka kebun baru, diadakn juga ritual dengan doa dan pemberian sesajen, seperti di pojok rumah atau di kebun dengan partisipan yang terbatas. Jadi, dalam yang profan sekalipun, ada sisi religius yang dihidupi.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan Yang Kudus di kalangan masyarakat Lamholot sudah mewujud sebagai suatu cara hidup atau lebih tepat telah menjadi etos hidup masyarakat. Dipercaya bahwa dalam rentang waktu sejak kelahiran hingga kematian, masyarakat Lamaholot bergantung sepenuhnya pada Yang Kudus (Ama Lera Wukan, Ina Tana Ekan), yang meski impersonal, hadir terutama dalam peristiwa-peristiwa kosmik dan alamiah yang dapat dialami, diindrai.
Bahkan dipercaya sesudah kematianpun, Yang Kudus masih terlibat dengan menyediakan kehidupan lain di tempat tertentu di muka bumi ini. Masyarakat Lamaholot percaya bahwa orang mati, beberapa hari sesudah kematiannya, akan menjadi kwokot (arwah). Arwah ini bahkan bisa berwujud dalam makhluk-makhluk tertentu yang dekat dengan mereka yang hidup. Arwah harus didoakan agar bisa berpindah tempat. Tempat mana yang dimaksud, untuk sebagian besar wilayah Lamaholot, tidak diketahui.
Namun di Lamalera misalnya, masih ada kepercayaan bahwa arwah (kwokot) orang-orang mati akan transit di Suba yang terletak di pantai Selatan Barat pulau Lembata. Dan menuju serta mendiami Tnepi – atoll di Selatan Timur Lembata, dekat pulau Alor. Di Suba mereka dibersihkan dan dimurnikan menjadi manusia baru dan akhirnya menuju tempat kediaman terakhir, Tnepi. Tnepi adalah Nirwana, yand disedikan Yang Kudus bagi mereka yang sudah melewati kehidupan di dunia ini. Dengan kata lain, hubungan masyarakat Lamaholot dengan Yang Kudus dalam hal kehidupan sesudah mati pun selalu terjembatani dalam dan melalui sesuatu yang juga dipandang sacral, meski itu termanifestasi dalam cara dan bentuk yang lain – hal yang dipercaya sebagai manifestasi dari tindakan Yang Kudus itu.
Kepercayaan semacam itu, juga yang ada pada masyarakat Lio, menurut E. B. Tylor, diambil dari kepercayaan animistik. Menurut Tylor, ada tiga macam kepercayaan dalam animism. Pertama, kepercayaan bahwa jiwa-jiwa dari orang-orang mati melayang-layang di atas bumi dan mempunyai dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup. Kedua, kepercayaan bahwa ada metapsikosis dari jiwa ke dalam makhluk lain dan ketiga, kepercayaan bahwa ada tempat kediaman istimewa di dunia lain, sperti dunia bawah tanah, gunung-gunung dan surga.
Jiwa-jiwa itu akan melanjutkan kehidupan yang mirip dengan kehidupan duniawi. Meski tak muda dijembatankan dengan kenyataan tertentu, kepercayaan animistik ini sedikit banyaknya sudah menggambarkan bahwa dalam hal kehidupan sesudah kematian pun orang Lamaholot masih tetap terikat dengan pandangan-pandangan yang kosmologis sifatnya.
——————————————————————————————————
*Naskah ini disadur dari bahan seminar yang disampaikan dalam “Borobudur Writer Fesival 2017”, Yogyakarta 23-25 November 2017.
*Sumber Warta Flobamora, Edisi 73 – 2019
Tulisannya sangat filosofis dan mudah dipahami
Terima Kasih Apresiasinya