Oleh Paul Budi Kleden
“Menjadi seorang penulis sudah merupakan bagian dari hidupnya”, demikian kata Kardinal Karl Lehmann, Uskup Mainz, Jerman, pada kesempatan peluncuran buku Yesus dari Nazaret versi Jerman yang diterbitkan oleh Penerbit Herder[1]. Joseph Ratzinger adalah seorang teolog yang menulis sejumlah buku, kendati dalam jumlah dan bobot dia harus ditempatkan di bawah teolog lain dalam wilayah berbahasa Jerman seperti Karl Rahner, Hans Urs von Balthasar atau Hans Kung. Namun, yang memberi nilai khusus bagi Ratzinger adalah bahwa dia menulis dan menerbitkan buku tentang Yesus dari Nazaret saat menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik. “Dalam kenyataan hal yang mengejutkan adalah bahwa Paus tidak menerbitkan dalam suatu bunga rampai buku tentang Yesus Kristus dari berbagai katekese dan khotbah yang sudah sering disampaikannya, melainkan suatu karya besar dalam bentuk yang cukup sistematis”[2]. Pertanyaan kita adalah: apa nilai sebuah buku teologis yang ditulis seorang teolog serentak paus?
Ratzinger sendiri menulis pada pendahuluan bukunya: “Pastilah saya tidak perlu secara khusus menyatakan bahwa buku sama sekali bukan merupakan ajaran resmi Gereja, melainkan hanya merupakan pencarian pribadi saya dalam menemukan Wajah Tuhan (bdk. Mzm. 27:8). Oleh sebab itu, setiap orang boleh membantah saya.”[3] Juga mereka yang hendak membantahnya Ratzinger meminta agar bantahan terjadi tanpa mengabaikan simpati, sebab “simpati merupakan prasyarat saling memahami.”[4] Maksudnya, agar orang tidak menolak buku hanya karena penulisnya adalah Ratzinger atau juga menerimanya tanpa sikap kritis karena obsesi pada penulisnya.
Dengan ungkapan di atas posisi buku Ratzinger sebenarnya sudah cukup jelas, yakni sebagai bahan diskusi mengenai Yesus dari Nazaret yang menjadi pusat iman Kristen. Iman Kristen bukanlah iman yang takut akan perbedaan. Surat Petrus sudah memberikan dorongan untuk memberikan pertanggungjawaban atas harapan yang mendasari kehidupan orang-orang beriman (1 Petr 3:15). Dan Ratzinger, dan juga sebagai paus, menunjukkan melalui buku ini tetap perlunya refleksi kritis dari teologi terhadap kenyataan keimanan dan berbagai fenomen historis dalamnya iman itu hidup dan dirayakan.
Sebagai sebuah teologi, gagasan-gagasan yang diwakili di dalam buku ini merupakan salah satu pendapat yang mungkin di tengah percaturan ide. Sebab itu, gagasan-gagasan ini tidak hanya bisa dibantah, tetapi juga ditolak kalau orang memiliki argumentasi yang dipandang jauh lebih kuat dan meyakinkan. Dalam arti itu, buku ini, kendati ditulis sebagai hasil “permenungan pribadi”, merupakan suatu sumbangan teologis yang sangat berarti, karena sarat dengan refleksi mendalam yang merujuk dari pengenalan yang luas akan tradisi Gereja dan pergumulan-pergumulan teologis yang lebih modern. Ratzinger memiliki khazanah pengetahuan yang luas dan keberanian untuk secara tegas mengambil posisi teologis tertentu.
Walaupun demikian, bukan tanpa resiko bahwa seseorang paus turun dari cathedra Petri dan menempatkan diri dalam arena perdebatan para penulis dan pemikir. Ada dua hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, reaksi terhadap gagasan seorang paus yang teolog yang tidak selalu memperhatikan distingsi antara keduanya. Kuliah di Regensburg pada pertengahan September 2006 mestinya mengingatkan bahaya yang dapat terjadi ketika seorang paus menggunakan podium ilmuwan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Kuliah adalah satu kegiatan akademis yang terbuka untuk sanggahan, kritik dan penolakan. Reaksi yang diberikan terhadap kuliah tersebut tidak membedakan kapasitas dan bentuk yang dipakai ketika paus menyampaikan gagasannya.[5]
Kedua, konsistensi paus dalam sikapnya terhadap gagasan yang dilawannya secara teologis. Apakah paus sungguh tidak akan menggunakan otoritas magisterial pastoralisnya untuk mempersempit ruang gerak konsep-konsep teologis yang dibantah dan ditolaknya sebagai ilmuwan? Membiarkannya tanpa tindakan disipliner magisterial berarti paus tidak memperhatikan konsistensi antara apa yang diyakini dan diajarkannya secara pribadi, dan apa yang dinilainya benar sebagai pemimpin Gereja. Dari buku ini publik mengetahui apa yang ditolak dan dianggap bahaya, serta apa yang didukung Ratzinger. Kalau sejumlah gagasan itu dianggap berbahaya dan mengancam iman, mengapa paus tidak menggunakan kuasanya untuk mencegah perluasan lebih lanjut dari gagasan itu? Namun, mengambil langkah disipliner terhadap gagasan-gagasan tersebut berarti paus tidak konsisten dengan pengakuan dan jaminan yang diberikan di dalam bukunya.
Dengan menulis buku tersebut, paus sebenarnya membawa diri ke dalam sebuah dilema. Kendati demikian, Ratzinger memilih jalan untuk menulis buku teologis ini, tampaknya karena dia hendak menunjukkan perbedaannya dengan pendahulunya mendiang Yohanes Paulus II. Yang terakhir ini dikenal sebagai paus peziarah, yang mengunjungi banyak negara, dengan ritual yang selalu berulang: membungkuk mencium tanah. Benediktus tidak mencium tanah, dan agaknya dia bukanlah orang yang suka mengadakan perjalanan. Tekanan yang hendak diberinya pada masa kepemimpinannya adalah peran sebagai ilmuwan. Dia membawa otoritas ilmuwan dan dosen ke dalam otoritasnya sebagai paus. Dia adalah seorang paus teolog.[6] Dan justru dalam persenyawaan ini terkandung bahaya personalisasi kuasa magisterial Gereja. Bukan mustahil, apa yang dipikirkan dan dikatakan teolog Ratzinger menjadi ajaran resmi Gereja Katolik.[7] Bahaya ini hanya dapat diatasi apabila tanggapan kritis atas buku Ratzinger terus dilakukan, tentu saja dalam bingkai simpati yang dimintanya. Hanya apabila terus diingatkan bahwa tidak semua konsepsinya dapat diterima begitu saja, dapat diharapkan bahwa godaan untuk secara implisit menetapkan regulasi dalam dunia para teolog dapat dicegah.
Ratzinger menulis buku tentang Yesus dari Nazaret karena merasa prihatin akan kian melebarnya jurang antara Yesus historis dan Kristus yang diimani. Dan Ratzinger tahu, kenapa jurang itu kian melebar. Dengan jelas dia menunjuk pada metode historis kritis yang dikembangkan di dalam Gereja Katolik sejak tahun 1950-an.[8] Menurut Ratzinger, penggunaan metode historis kritis dalam tafsir Kitab Suci telah menghadirkan banyak gambaran tentang Yesus yang saling bertentangan. Banyak orang bingung menghadapi demikian banyak potret Yesus yang direkontruksikan oleh metode historis kritis. “Situasi ini terasa dramatis bagi iman karena menjadi kurang tegas titik acuan khasnya: Pershabatan mesra dengan Yesus, padanya segala sesuatu bergantung, berada dalam bahaya merengkuh udara tipis.”[9]
Selain berargumentasi dari prespektif konsekuensi metode ini bagi iman, Ratzinger juga membuat penilaian ilmiah. Metode historis kritis berorientasi pada masa lampau, menyelisik makna kata dan peristiwa pada yang lalu. “Ia berupaya membedah dan memahami masa lampau – sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri – dengan tingkat ketepatan sebesar mungkin, guna kemudian menemukan apa yang dapat dikatakan dan apa yang hendak dikatakan sang pengarang seturut konteks mentalita serta peristiwa-peristiwa pada zamannya.”[10] Namun, dengan orientasi seperti ini metode ini tidak memiliki kecukupan di dalam dirinya untuk membedah teks yang merupakan teks iman. Iman hidup dan dihidupi di dalam setiap konteks. Iman bukan hanya orientasi ke masa lalu, melainkan selalu juga berarti kesekarangan. Maka, orientasi pada masa lampau tanpa memperhatikan keseluruhan maksud dari teks sebagaimana dilihat dan dialami sekarang, merupakan satu bentuk pengkianatan terhadap teks Kitab Suci. Secara tegas Ratzinger menjatuhkan putusannya terhadapa metode ini: “Hal yang tidak dapat dilakukannya adalah menjadikan firman alkitabiah itu sebagai suatu hal yang hadir pada saat sekarang ini, hari ini – hal itu niscaya melanggar batas-batasnya”.[11]
Ratzinger juga menilai bahwa klaim keabsahan historis objektif tidak dapat dipertahankan secara konsisten. Bagaimanapun, para ahli Kitab Suci yang menggunakan metode historis kritis terlepas dari minat dan kepentingan mereka sendiri. Maka, sepertinya mengulangi apa yang telah dikatakan Albert Schweitzer seratus tahun yang lalu.[12] Ratzinger mengatakan bahwa berbagai gambaran Yesus historis yang disajikan metode historis kritis itu “jauh lebih serupa dengan potret foto tentang para pengarangnya beserta gagasan-gagasan yang mereka punyai.”[13]
Sebagai tawaran yang melampaui metode hostoris kritis, Ratzinger mempromosikan metode tafsir kanonis yang sudah mulai berkembang di Amerika sekitar 30 tahun yang lalu. Metode ini memperhatikan keseluruhan makna dari Kitab Suci, yang dipakai sebagai terang untuk membaca dan menafsir masing-masing teks. Keyakinan dasar dari metode ini adalah, sebuah teks ditulis sebagai bagian utuh dari sebuah bangunan kesaksian iman karya Allah di tengah sejarah. Mengambil satu teks terlepas dari keseluruhan maksud Kitab Suci adalah satu bentuk ketidakadilan terhadap teks tersebut. Dan sebagai buku iman, Kitab Suci “mengacu pada tiga subjek yang saling berinteraksi”, yakni penulis, umat dan Allah sendiri.[14] Kitab Suci bukan hanya pengalaman iman pribadi penulis. Umat dari dan kepadanya Kitab Suci ditulis, mesti juga diperhatikan sebagai subjek Kitab Suci. Dan akhirnya Allah sebagai inspirator. Sebab itu penafsiran yang mengabaikan iman umat, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan menggunakan metode kanonis ini Ratzinger membuat kristologinya berdasarkan sumber historis yang paling dekat yakni injil-injil. Di dalam buku tersebut yang dimaksudkan sebagai yang pertama dari dua bagian, Ratzinger menguraikan sepuluh elemen penting dari kristologinya, yakni pembabtisan, pencobaan, Kerajaan Allah, khotbah di bukit, doa Bapa Kami, para murid, perumpamaan-perumpamaan, gambaran-gambaran dari Injil Yohanes, pengakuan Petrus dan transfigurasi serta ucapan-ucapan Yesus tentang diri-Nya sendiri. Tema-tema ini dibicarakan, bukan sekadar sebagai satu pemaparan biografi Yesus, melainkan sebagai satu teologi. Bertolak dari teks injil Ratzinger menjelajah khazanah para bapa Gereja, Perjanjian Lama, hingga dasar keberagamaan manusia dalam kosmos.
Dengan corak yang sedikit banyak polemis, Ratzinger membahas konsep-konsep teologis modern. Saat menulis Kerajaan Allah sebagai tema sentral pewartaan Yesus, dia membuat penilaian yang terkesan memojokkan konsep teologis yang menjadikan gagasan “Kerajaan” sebagai pengertian kunci (regnosentrisme). Menurut Ratzinger, konsep ini adalah perkembangan terakhir dalam aliran teologi setelah beralih dari eklesionsentrisme, Kristosentrisme dan teosentrisme. Kini diyakini bahwa konsep Kerajaan Allah mewakili secara paling memadai apa yang hendak diwartakan Yesus. Di dalam Kerajaan ini semua tradisi religius bersatu untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan pelestarian ciptaan. Melalui pengertian ini agama-agama disadarkan akan tugas bersama mereka demi kedatangan Kerajaan Allah. Namun, demikian penilaian Ratzinger, di dalam konsep ini ternyata yang hilang adalah Allah. Manusia sebagai “satu-satunya pelakon yang tersisa di atas panggung pementasan.”[15] Padahal, yang dimaksudkan Yesus adalah Kerajaan Allah, dan itu berarti satu kerajaan batiniah, yang tersembunyi.”[16] Dengan pola pikir seperti ini Ratzinger juga mengkritisi semua teologi sosial dan mengutamakan pembebasan manusia dalam situasi sosio-politis tertentu.[17]
Tolle, lege, ambil dan bacalah, demikian seruan Eberhard Jungel, teolog Protestan dan mantan rekan Ratzinger di Tubingen, kepada semua orang, baik Kristen yang setia, Kristen yang abangan maupun orang-orang ateis, untuk membaca dan mendalami buku Ratzinger. Jungel segera menambahkan, “juga kalau yang hendak dibaca itu bukan Kitab Suci, sebagaimana konteks awal ungkapan tolle lege pada, Agustinus, melinkan hanya buku dari seorang paus”. Kendati tetap tidak menyembunyikan kritiknya, Jungel sadar bahwa seruan seperti itu merupakan pengakuan terbesar yang bisa diberikan terhadap sebuah buku teologi.[18]
Tidak dipungkiri bahwa buku Ratzinger tentang Yesus dari Nazaret kaya akan gagasan teologis untuk diwacanakan dan mampu menawarkan banyak impuls spiritual untuk direnungkan. Kendati demikian, dari uraian singkat mengenai buku tersebut di atas, kiranya sudah menjadi jelas juga titik krusial buku itu. Kritik yang tajam ke alamat metode historis pasti mengundang reaksi dari para ahli Kitab Suci. Kendati pada bagian akhir bukunya Ratzinger sekali lagi menegaskan bahwa “buku ini tidak bermaksud untuk masuk dalam debat tentang penelitian historis kritis”[19], namun sudah semestinya para ekseget menyampaikan tanggapannya. Para pembaca perlu dan mempunyai hak untuk mengetahui apa sebenarnya metode itu dan apakah sungguh demikian permasalahan dan kesulitan yang dibawanya untuk orang beriman, seperti yang ditulis Ratzinger. Dan apakah versi yang dipromosikan Ratzinger sendiri sungguh bebas dan beragam kesulitan yang dialamatkannya ke arah metode historis kritis.
Karena alasan tersebut di atas, maka di dalam buku yang sedang anda hadapi ini kami mengumpulkan sejumlah tanggapan dari para ekseget. Nadanya bervariasi, ada yang setuju dengan pendapat Ratzinger, yang lainnya berkeberatan terhadapnya. Artikel-artikel ini dipilih untuk mendorong sebuah diskusi lanjut mengenai bagimana semestinya memahami dan menafsir dokumen-dokumen iman dan sebuah tradisi religius. Dari prespektif ini tentu saja artikel-artikel ini tidak hanya bermaanfaat bagi para pembaca Kristen, tetapi juga bagi orang beriman pada umumnya, yang tidak jarang berhadapan dengan kesulitan penjembatanan antara fakta historis dengan aktualitas keberimanan, antara peristiwa masa lalu yang menjadi rujukan iman dan kehidupan sekarang. Sebenarnya yang sedang diperdebatkan adalah masalah hermenuitika, yang merupakan satu persoalan kunci dalam agama-agama.
Selain itu, buku teologi Ratzinger melahirkan sejumlah pertanyaan karena dia mewakili secara lugas posisi teologis tertentu. Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana memahami hakekat Allah dan manusia dalam satu pribadi Yesus dari Nazaret. Dogma Kekristenan ini harus terus menerus diberi isi dalam setiap konteks historis. Karena itu, terkait erat dengan pertanyaan di atas adalah pertanyaan berikut: sejauh mana konteks sosio-politis-historis berperan dalam penataan sebuah kristologi? Artinya, sejauh mana konteks tertentu itu boleh direfleksikan di dalam kristologi, dan bagaimana kristologi dapat memancarkan terang untuk melihat, menilai dan mentransformasi konteks tersebut?
Untuk menanggapi persoalan dan pertanyaan-pertanyaan ini, kami menerbitkan pula sejumlah tanggapan teologis atas karya Ratzinger. Dua artikel di antaranya (Felix Wilfred dan John Sobrino) memang tidak secara eksplisit menyebut dirinya sebagai sebagai tanggapan atas buku Ratzinger. Namun, isi kedua artikel tersebut yang diterbitkan di dalam edisi majalah Concilium yang dimaksudkan sebagai tanggapan atas buku Ratzinger – demikian pengantar dari para editor edisi tersebut,[20] jelas menunjuk pada gagasan Ratzinger sebagai sasaran tembaknya. Maka kedua artikel diterbitkan di sini.
Harapan kami, kiranya kumpulan artikel-artikel tanggapan atas buku Yesus dari Nazaret karya Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI ) ini menjadi pendamping yang tepat dalam membaca buku itu sendiri. Pendamping yang tepat bukanlah pendamping yang hanya menegaskan dan mengiyakan apa yang ditulis di dalam buku tersebut. Semakin besar sebuah karya, semakin besar pula kebutuhan akan catatan-catatan kritis atasnya. Semakin besar seorang pengarang, semakin banyak pula tanggapan yang perlu diberikan kepadanya. Semuanya dilakukan sekali lagi, dalam simpati, seperti yang diminta Ratzinger, simpati terhadap seorang teolog yang kini mengemban tugas kepemimpinan dalam Gereja Katolik.
Ledalero, medio April 2009
———————————————————–
*Tulisan ini adalah “Kata Pengantar” buku Joseph Ratzinger-Yesus dari Nazaret – Pelbagai Tanggapan, Penerbit Ledalero, 2009.
*Catatan Kaki
[1] Karl Kardinal Lehmann, “Erste Hinfurung zum neuen Buch von Joseph Ratzinger/Benedikt xvI,” dalam Karl Lehman at al., “Jesus von Nazareth kontrovers. Rickfragen an Joseph Ratzinger, Munster: LIT Verlaag2007, hlm. 3
[2] Ibid
[3] Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, Gramedia 2008
[4] Ibid
[5] Tentang tanggapan atas kuliah tersebut, baca Jurnal Ledalero VI/2/2007
[6] Karl Gabriel, “Die Versuche des Papstes, in der Welt der Gegenwart Autoriat zu gewinnen” dalam Concilium 44/Agustus 2008, hlm 365-366
[7] Bdk. Erik Borgman, “Jezu von Nazareth: de Anfang einer neuen Geschichte” dalam Concilium 44/Agustus 2008, hlm 323.
[8] Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI, op. cit., hlm xi
[9] Ibid, hlm xii
[10] Ibid, hlm xvi
[11] Ibid,
[12] Bdk. Thomas Soding, “Notwendige Geschichtswahrhelten, Ratzingers Hermeneutik und die exegetische Jesusforschung”
[13] Ibid, hlm xii
[14] Ibid, hlm, xx-xxi
[15] Ibid, hlm 54
[16] Ibid, hlm 61
[17]Ibid, hlm 132
[18] Eberhard Jungel, “Der hypothetische Jesus, Anmerkungan zum Jesus-Buch des Paptes” dalam Jan- Reiner Tuck (ed) op cit, hlm 94
[19] Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI, op cit. hlm 387
[20] Maria Clara Luccheti Bimenger et al., “Jesu – eine nicht reduzierbare Vielfat von Erzahlunger”, dalam Concilium 44/Agustus 2008, hlm, 259-262