Oleh Arthur Chandra, Dosen Teologi dan Kepemimpinan Universitas Pelita Harapan, Karawaci – Banten
Artikel ini ditulis setelah hingar bingar Imlek baru saja selesai dirayakan oleh keturunan Tionghoa di Indonesia. Penulis yang merupakan keturunan Tionghoa tentunya akrab dan juga terlibat dalam tradisi perayaan ini. Perayaan Imlek tidak dapat dilepaskan dari selebrasi dan harapan akan kemakmuran finansial. Kita bisa menyaksikannya bukan hanya dengan tradisi pemberian angpao tetapi juga dari makna kata “Gong Xi Fat Choi” yang diucapkan dalam Imlek. Kata tersebut bermakna “Semoga anda memperbesar kekayaan anda”. Dengan kata lain, Tionghoa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kemakmuran finansial. Bahkan berdedikasi untuk mewujudkan keberhasilan finansial tersebut. Dedikasi tersebut dapat nampak bukan hanya dari etos kerja “all-out” tetapi juga dari kepercayaan agama rakyat Tiongkok yang memiliki dewa uang (Tsai Shen Yeh). Dalam kepercayaan tersebut, ucapan “Gong Xi Fat Choi” adalah sebuah doa yang dialamatkan pada dewa uang supaya orang tersebut beroleh keberhasilan finansial di tahun tersebut.
Kelompok Etnis Minoritas di Indonesia
Data dari Overseas Community Affairs Council (OCAC) menyebutkan bahwa jumlah orang dari negara Tiongkok yang merantau ke Indonesia sebanyak 10,84 juta orang yang mencakup 30% dari seluruh perantauan dari negara Tiongkok ke seluruh dunia (https://dataindonesia.id/ragam/detail/sebaran-perantau-china-di-seluruh-dunia-indonesia-terbanyak). Evi Nurvidya Arifin, demograf Indonesia memperkirakan jumlah keturunan Tionghoa di Indonesia berkisar 1,9% dari seluruh kelompok etnis di Indonesia (https://nationalgeographic.grid.id/read/132718811/berapakah-jumlah-sesungguhnya-populasi-tionghoa-di-indonesia?page=all). Melalui data tersebut jelas nampak bahwa keturunan Tionghoa adalah etnis minoritas di Indonesia (https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html). Merujuk pada data sensus 2010, keturunan Tionghoa Indonesia mayoritas beragama Kristen dan Katolik (42%). Kemudian proporsi umat nasrani di Indonesia kurang lebih 10,5% di Indonesia. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa Tionghoa Indonesia identik dengan orang Kristen yang notabene adalah agama minoritas di Indonesia. Karena itu, sebagian besar orang Tionghoa Indonesia masuk dalam kelompok dobel minoritas di negeri ini.
Kekayaan Keturunan Tionghoa di Indonesia
Salah satu persepsi umum tentang Tionghoa Indonesia adalah etnis yang dikenal memiliki kekayaan finansial lebih besar daripada etnis lain di Indonesia. Dua dekade lalu, Amy Chua profesor hukum yang mendalami konflik etnis dan globalisasi menyatakan bahwa etnis Tionghoa Indonesia adalah salah satu etnis minoritas yang mendominasi pasar di dunia (World on Fire, 2003). Bagaimana saat ini? Pada akhir tahun 2022, Forbes merilis nama 50 orang terkaya di Indonesia yang menampakkan sebagian besar adalah keturunan Tionghoa (Forbes.com: Indonesia’s 50 richest list). Dengan kata lain keturunan Tionghoa di Indonesia masih memiliki pengaruh yang signifikan dalam perekomian baik di skala nasional maupun dunia.
Selanjutnya yang perlu disimak adalah hasil penelitian Indonesia National Survey: Economy, Society and Politics yang dilakukan pada tahun 2017 (https://www.researchgate.net/publication/319610359_The_Indonesia_National_Survey_Project_Economy_society_and_politics) yang mengungkap bahwa sebagian besar orang di Indonesia beranggapan Tionghoa Indonesia memiliki talenta natural untuk menjadi kaya (68,1%), memiliki terlalu banyak pengaruh dalam ekonomi Indonesia (62%) dan hidup lebih mudah bagi keturunan Tionghoa Indonesia (48%). Dengan kata lain, sebagian besar publik di Indonesia beranggapan bahwa etnis Tionghoa Indonesia punya kuasa ekonomi yang besar dan hidup lebih sejahtera daripada etnis lain di Indonesia. Tentu saja, anggapan ini tidak mencerminkan realita yang sesungguhnya sebab masih banyak Tionghoa Indonesia yang miskin di berbagai daerah misalnya Tangerang, Singkawang dan di berbagai daerah lainnya (Chang Yau Hoon, Evolving Chineseness, Ethnicity and Business:The Making of Ethnic Chinese as a ‘Market- Dominant Minority’ in Indonesia, 2014).
Kendati demikian, penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tionghoa Indonesia dianggap sebagai kelompok etnis minoritas yang lebih berkuasa secara ekonomi daripada etnis lain yang seringkali disebut sebagai pribumi. Tentunya ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di bangsa ini. Apalagi dalam penelitian tersebut juga nampak sentimen negatif etnis lain terhadap Tionghoa Indonesia yang dinilai ras yang ekslusif, sehingga etnis lain sulit bersahabat dengan orang Tionghoa Indonesia (44,1%) dan orang Tionghoa Indonesia hanya peduli dengan sesama etnisnya (48,4%). Sentimen negatif tersebut tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja sebab sebagaimana kita lihat dalam sejarah bangsa Indonesia, kelompok Tionghoa Indonesia acapkali menjadi korban dari politik identitas.
Di satu sisi, sering dianggap sebagai non-pribumi yang tidak cinta bangsa dan hanya peduli dengan kemakmuran diri serta golongannya. Walau tentu saja, anggapan ini tidak fair karena merupakan karikatur atas potret wajah Tionghoa Indonesia. Sebab dalam sejarah bangsa ini, kita bisa menyaksikan begitu banyak Tionghoa Indonesia yang berkiprah dalam upaya kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Namun di sisi lain, kelompok Tionghoa Indonesia juga perlu mawas diri dan memiliki sikap yang tepat terhadap kekayaannya di tengah anggapan negatif tersebut. Sebab melalui sikap yang bijak terhadap kekayaan, Tionghoa Indonesia dapat menjadi berkat bagi bangsa dan memiliki relasi yang lebih erat dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah-air. Namun sebaliknya melalui sikap yang bodoh terhadap kekayaannya dapat mengundang laknat, semakin dikutuki dan terpisah dari saudara-saudara sebangsa yang berbeda ras dan agamanya.
Cara Pandang Alkitab terhadap Kekayaan
Sehubungan dengan ini, penulis mengajak para pembaca untuk mempertimbangkan cara pandang tentang kekayaan dalam Alkitab. Sebab sebagaimana diulas sebelumnya, dalam konteks Indonesia mayoritas Tionghoa Indonesia adalah Nasrani. Karena itu, pendekatan Alkitab diharapkan penulis dapat menjadi lensa yang cocok dan lebih nyaman dipakai oleh mata hati Tionghoa Indonesia yang sebelumnya sudah menerima Alkitab sebagai kitab suci yang sakral dalam mengarahkan hidup mereka. Mengingat keterbatasan tempat, penulis akan menyajikannya dengan singkat melalui cara pandang dual lens, pertama dari kepedulian Allah akan kemakmuran dan kedua kepedulian Allah akan keadilan.
Kepedulian Allah akan kemakmuran. Tatkala umat Kristen mengikuti ibadah minggu, di penghujung ibadah biasanya pendeta mengedangkan tangannya dan mengucapkan berkat: ” Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau…Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bilangan 6:24-26). Kata ”Damai sejahtera” tersebut dalam bahasa aslinya adalah ”Shalom”. Cornelius Platinga menjelaskan shalom ini lebih dari sekedar ketenangan atau kedamaian dari pertikaian, namun sebuah kemakmuran, keutuhan dan sukacita – keadaan yang kaya di mana kebutuhan-kebutuhan natural terpenuhi dan karunia-karunia didayagunakan dengan baik (Not the Way it’s Supposed to Be, 1996). Dalam penggunaannya di Alkitab, kata shalom ini dipakai dalam sapaan standar (10%), lalu mengacu pada keadaan damai, bebas dari konflik (25%) dan paling banyak digunakan untuk merujuk pada keadaan yang utuh sejahtera sehat secara ekonomi maupun relasi (65%) (Jonathan T. Pennington, Phd, A Biblical Theology of Human Flourishing, 2015.). Dengan demikian, harapan akan kemakmuran dan keamanan finansial yang terkandung dalam sapaan ”Gong Xi Fat Choi” bukanlah harapan unik Tionghoa Indonesia tetapi juga menjadi pengharapan umat Allah yang mendapatkan pewahyuan dan janji-Nya.
Cendekia Alkitab, Craig Blomberg dengan jeli memberikan ikhtisar Alkitab tentang kekayaan dengan menyatakan bahwa di kitab Pentateukh (Kejadian-Ulangan), kekayaan dipandang Allah memiliki nilai yang baik. Bahkan Allah berkehendak untuk memberkati umat-Nya dengan kepemilikan materi, secara khusus tanah Kanaan dan isinya sehingga melaluinya umat Allah bisa menjadi berkat bagi semua bangsa di bumi. Kemudian dalam kitab hikmat dan puisi, Blomberg memperhatikan ada dua tema besar tentang kekayaan yakni pertama, kekayaan sebagai berkat dari hasil ketekunan dan kerja keras. Kedua, peringatan akan keserakahan dan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (Neither Poverty nor Riches, 2000). Sedangkan dalam Perjanjian Baru, ada sedikit perbedaan dengan Perjanjian Lama mengenai kekayaan yakni tidak ada penekanan mengenai janji Allah akan kemakmuran melalui ketaatan iman umat-Nya. Namun ada banyak indikasi yang jelas bahwa kekayaan ketika dipahami dan dimanfaatkan dengan benar tetap memiliki nilai yang baik (Christian in an Age of Wealth, 2013).
Kemudian dalam kisah perumpamaan talenta yang diajarkan Yesus di Matius 25:14-30, kita bisa melihat kepedulian Yesus mengenai pengelolaan sumber daya secara produktif dan kreatif sehingga mendatangkan keuntungan. Ini mengingatkan kita akan perintah Allah kepada Adam Hawa di Kejadian 1 yang diminta untuk tidak hanya mengawasi taman Eden tetapi mengerjakan dan mengembangkannya (Anne Bradley, Biblical Stewardship and Economic Progress, 2020). Karena itu, kepedulian Allah tentang kekayaan perlu digaris-bawahi dalam konteks pengelolaan berkat Allah bukan hak kepemilikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam Injil, kita mendapati secara umum sikap Yesus cenderung negatif terhadap kekayaan dengan banyaknya peringatan terhadap orang kaya (Mat.19:16-30; Luk. 12:13-21; 16:14-31). Namun tatkala kita mendalami konteks dari bagian-bagian tersebut, kita bisa melihat bahwa Yesus bukan mengutuk orang yang kaya tetapi orang yang terikat dengan kekayaan hingga mengabaikan orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan. Oleh karena itu, kita bisa melihat dalam cara pandang Alkitab, Allah peduli dengan isu kekayaan dan mau memberkati umat-Nya dengan berkat kekayaan untuk kemudian dikelola mengerjakan shalom di muka bumi ini. Terlepas dari apapun etnisnya – bukan hanya Tionghoa saja, Allah memiliki kepedulian agar manusia memiliki dan menggunakan kelimpahan materi untuk mengupayakan shalom di dunia.
Kepedulian Allah akan keadilan. Kemiskinan ada di sekitar kita sejak dahulu kala dan semakin hari jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin semakin lebar. Ironisnya, kekayaan di dunia ini begitu berlimpah dan jelas lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar semua manusia di dunia ini. Ketika kita melihat dalam Alkitab jelas sekali nampak kepedulian Allah akan keadilan distribusi kekayaan di antara sesama manusia, apalagi pada mereka yang miskin dan tertindas. Max Stackhouse dalam karyanya ”On Moral Business” menjelaskan bahwa keadilan ekonomi jelas dinyatakan dalam hukum Taurat untuk mengatur supaya sumber daya ekonomi dipergunakan sedemikian rupa dalam kerangka pemahaman manusia sebagai pengelola milik Allah, sehingga bisa memenuhi kebutuhan setiap individu atau keluarga (Kel. 23:10-11; Im. 19:9-10; Ul. 14:28-29). Allah bukan hanya memerintahkan supaya kita memberikan akses sumber daya ekonomi kepada semua orang, tetapi juga menghendaki supaya kita mengatur distribusi dan memberikan kontrol atas sumber daya ekonomi produktif pada semua orang (Im. 25:8-17, 23-24; Ul. 15:12-14). Karena itu monopoli ekonomi untuk kepentingan diri atau sekelompok orang saja tanpa memperhatikan kebutuhan sesama jelas dikutuk oleh Allah.
Dalam Perjanjian Baru khususnya Injil Lukas, tema tentang kepedulian Allah akan keadilan dalam distribusi kekayaan nampak kental sekali. Misalnya dalam Lukas 1;51-53, 4:16-21; 6:20-26; 16:19-31; 19:1-20. Dalam sejarah gereja mula-mula yang terekam di Kisah Para Rasul kita dapat mengintip profil identitas komunitas Kristen yang ditandai dengan tidak adanya orang miskin karena mereka hidup saling peduli dan berbagi (Kis. 2:43-47; 4:32-47). Identitas Kristen nampak bukan hanya dari kasih yang terucap tetapi juga dari kasih yang bertindak untuk membantu sesama (1 Yoh. 3:17). Russell Pregeant dengan akurat menyampaikan isu keadilan ekonomi ini dengan mengatakan bahwa isu kekayaan dan kemiskinan tersebar di seluruh bagian Alkitab dengan penekanan bahwa Allah berpihak pada orang-orang miskin yang ditindas oleh orang-orang kaya. Isu ketidak adilan ekonomi adalah isu moral yang paling sering diungkap dalam Alkitab. Di dalamnya nampak bahwa problem kemiskinan bukan terjadi terutama karena keadaan atau situasi alami yang tidak menguntungkan tetapi karena tindakan-tindakan yang tidak adil dari orang-orang yang memiliki kuasa (For the Healing of the Nation, 2016).
Tionghoa Indonesia berkat bagi bangsa
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah melihat kekayaan sebagai hal yang positif dan bernilai. Tentunya dengan terms and condition, sepanjang tidak dieksploitasi untuk keserakahan diri tetapi dikelola untuk kebaikan bersama. Ketika kekayaan dihisap untuk mengenyangkan diri terus menerus dan abai terhadap sesama, kita justru akan berhadapan dengan Allah sendiri yang jelas berpihak pada yang miskin dan menderita. Alih-alih menikmati berkat justru menuai laknat, hidup semakin terpisah dari tuntunan Allah dan semakin jauh dari sesama. Kesombongan, keserakahan dan kecintaan akan uang yang dibiarkan bertumbuh liar dapat merusak berkat kekayaan yang baik dan bisa menimbulkan rasa curiga, iri hati dan api amarah pada yang berkekurangan terhadap yang berkelebihan secara materi.
Semoga melalui ulasan yang tersaji dan runutan Alkitab yang singkat ini, kita dapat melihat dan mengelola kekayaan kita untuk menjadi berkat bagi Indonesia. Terkait ini perlu dicamkan bahwa yang pertama, harapan penulis tidak dibatasi pada Tionghoa Indonesia yang kaya. Penulis sendiri sebagai Tionghoa Indonesia tidak termasuk orang yang kaya raya tetapi juga tidak melihat dirinya sebagai orang yang miskin sampai tidak bisa berbagi dan menjadi berkat bagi sesama. Yang kedua, harapan penulis tentu tidak dibatasi pada Tionghoa Indonesia saja tetapi pada segenap anak bangsa Indonesia. Tanggung jawab untuk mengelola kekayaan sehingga dapat dinikmati sesama jelas bukan hanya porsi etnis atau agama tertentu tetapi seluruh umat manusia sebagai insan ciptaan Allah. Namun yang terakhir, bagi Tionghoa Indonesia yang memang memiliki kekayaan besar, ini berarti mereka memiliki kesempatan dan panggilan yang lebih besar untuk menjadi berkat bagi bangsa Indonesia.
Kiranya pengharapan yang terkandung dalam ucapan Gong Xi Fat Choi – semoga anda lebih kaya –bukan hanya menjadi milik etnis Tionghoa semata. Kiranya pengharapan itu menjadi pengharapan semua manusia yang tercermin tidak hanya dalam salam dan doa pada sang Pencipta untuk menurunkan berkat pada sesama. Namun juga dalam tindakan untuk membagikan berkat yang dimiliki. ”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7).
*********************************************************************