Oleh Ferdinandus Butarbutar, Dosen Etika Universitas Pelita Harapan, Karawaci
Kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Nofriansyah Hutabarat atau Brigadir J, termasuk kasus yang menyedot atensi masyarakat. Rute panjang nan berliku atas kasus ini luar biasa melelahkan. Mulai dari dugaan tembak-menembak antara Brigadir J dengan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, hingga kepada dugaan pembunuhan berencana. Irjen Ferdi Sambo atau FS kemudian dicopot dan dimutasi ke divisi Yanma, dan pada tgl 9 Agustus 2022 FS ditetapkan sebagai tersangka, yang selanjutnya pada 5 Oktober 2022, berkas perkara oleh Kejagung dinyatakan statusnya P21 alias lengkap secara dokumen dengan validasi bukti-bukti penyidikan. Lalu pada 17 Oktober 2022 ketuk palu hakim ketua PN Jakarta Selatan, resmi memulai persidangan terkait pembunuhan berencana Brigadir J tersebut.
Pertengahan Januari 2023, PN Jakarta Selatan masuk ke fase-fase pembacaan tuntutan JPU. Senin 16 Januari 2023, pembacaan tuntutan oleh JPU terhadap Bripka Ricky Rizal Wibowo atau Bripka RR dan Kuat Ma’ruf, masing-masing dituntut 8 tahun penjara. Dan Selasa 17 Januari 2023 pembacaan tuntutan seumur hidup terhadap FS. Sedang pada Rabu 18 Januari 2023 pembacaan tuntutan terhadap Putri Chandrawati atau PC yakni 8 tahun penjara, dan Bharada RE dituntut 12 tahun penjara. Kelima tersangka didakwa dengan pembunuhan berencana, yang secara pidana dirujuk dengan pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Peristiwa pembunuhan tersebut tidak hanya menyeret kelima tersangka diatas, tetapi juga melibatkan hingga 35 anggota Polri yang diduga melakukan perintangan penyidikan (Obstruction of Justice). Terdapat 1 anggota berpangkat Irjen, 3 berpangkat Brigjen, kombes ada 6 anggota, AKBP 7 anggota, Kompol 4 anggota, AKP 5 anggota, Iptu 2 anggota, Ipda 1 anggota, Bripka 1 anggota, Brigadir 1 anggota, Briptu 2 anggota dan Bharada sebanyak 2 anggota.
Dari fakta-fakta yang tersaji di atas, dapat kita nilai betapa buruk dan semrawutnya citra institusi Polri di hadapan masyarakat. Terhadap jumlah tersebut diatas, tidak boleh kita pandang sebelah mata. Dan peristiwa tragis pembunuhan Brigadir J mengafirmasi betapa rendahnya nilai-nilai kemanusiaan. Manusia seolah hanya instrumen bahkan binatang yang minus identitas kediriannya.
Lebih jauh fenomena ini perlu ditelisik secara ilmiah, mengingat multitafsir masyarakat luas, yang terkesan “tidak menerima” tuntutan JPU tersebut, karena publik menilai bahwa tuntutan tersebut tidak adil.
Atas problematika tersebut maka diajukan gagasan etika penebusan, untuk menerangi konstruksi hermeneutis publik secara normatif, adil dan objektif.
Siapakah Aktor dan Korban?
Kasus ini memiliki aktor utama dan aktor figuran (pelengkap), seperti pada sebuah narasi. Keberhasilan kita melacak siapa aktor utama, tentu memudahkan kita untuk melihat kasus ini lebih objektif dan berhati-hati.
Disebut aktor utama, karena kisah tersebut terpusat kepadanya. Tanpa perannya, kemungkinan-kemungkinan kemenjadian peristiwa pembunuhan Brigadir J menjadi tidak mungkin. Untuk menemukannya, maka kita akan terbantu jika mengajukan pertanyaan kritis. Misalnya, siapakah yang paling berkuasa dan bertanggungjawab di locus delicti peristiwa tersebut? Jika orang tersebut tidak ada (tidak hadir), apakah peristiwa pembunuhan tersebut juga tidak terjadi?
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, akhirnya kita bisa menemukan aktor utamanya. Dan jawabannya adalah Jendral bintang dua FS. FS-lah yang paling memenuhi syarat dari kemenjadiannya. Aktor-aktor lain hanya sebagai figuran. Tentu bisa dikatakan sebagai turut serta atas tindakan pembunuhan. Disana kita bisa menyebutkan PC, Bharada RE, Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf.
Lantas siapakah korban?
Korban tentu yang paling dirugikan atau paling lemah, sehingga mengalami ketidakadilan. Posisi korban biasanya lemah dan bisa diperdaya melalui permufakatan-permufakatan tertentu. Untuk menjawab ini, kita menemukan dua orang yang paling lemah. Yang pertama lemah karena dipandang sebagai musuh Bersama, ditautkan kepada Brigadir J., yang kedua lemah karena posisi (kedudukannya) di komunitas tersebut, ditautkan pada Bharada E.
Korban pertama, Brigadir J. Sebagai korban, karena dialah sasaran utama permufakatan dan tindakan pembunuhan tersebut. Tanpa kisah kematiannya, kisah ini juga menjadi pepesan kosong belaka. Brigadir J dikatakan tidak bermoral (nirintegritas), karena melakukan pelecehan terhadap istri Jendral bintang dua. Framing ini terus bergerilya bahkan hingga ke pengadilan. Semua pola ini digunakan demi mengafirmasi tindakan pembunuhan sebagai kewajaran yang adil (minimal menjaga kehormatan).
Korban kedua yakni Bharada E. Bharada E memenuhi syarat sebagai yang paling junior, lemah, muda dan minus pengalaman, sehingga relatif mudah diperalat atau dimanipulasi. Dengan kuasa dan otoritas dari aktor utama dan dari para aktor figuran, yang bersangkutan mudah untuk diperintah, dipaksa, dikondisikan, bahkan diiming-iming dengan berbagai proposisi argumentasi dan hadiah.
Upaya Memutus Siklus Balas Dendam
Siklus atau lingkaran balas dendam kerap terjadi dalam sebuah peristiwa atau narasi hidup. Tindakan balas dendam dipandang sebagai upaya terbaik untuk mendapatkan keadilan. Pembunuhan berencana akhirnya digawangi oleh FS, karena memandang jalan tersebut yang paling adil dan tepat. Membunuh Brigadir J adalah tindakan paling adil, karena dianggap akan membayar secara puas harga keadilannya. Itu sebabnya, tidak ada keraguan untuk mengeksekusi mati Brigadir J. Langkah selanjutnya tinggal mengatur strategi-strategi teknis pelaksanaannya. Maka aktor-aktor figuran perlu dipasang, dan tentu dengan naskah-naskah naratifnya.
Setelah terjadi peristiwa pembunuhan Brigadir J, dan pasca ditetapkannya para tersangka, maka babak atau adegan baru dimulai. PN Jakarta Selatan sebagai tempat mencari keadilan, kini bisa diakses atau ditonton di televisi dan media lainnya. Para penonton kisah dari lakon pengadilan ini, harap-harap cemas tentang, bagaimana supaya rasa keadilan tersebut terpenuhi bahkan terpuaskan? Penonton tentunya variatif, bisa keluarga, bisa teman, rekan sejawat, berbagai komunitas, singkatnya masyarakat luas (publik).
Sejujurnya, terpuaskannya rasa keadilan para penonton adalah jika ada penghukuman yang setimpal terhadap pelaku-pelaku kejahatan. Hanya asumsi terhadap hukum yang setimpal tersebut tidak mudah, bahkan kerap luas, bias dan subjektif, sehingga berpotensi menjadi siklus balas dendam yang berkepanjangan.
Lebih jauh siklus balas dendam juga menghina martabat manusia. Manusia menjadi bukan person yang bermartabat, karena dugaan-dugaan kesalahannya. Manusia menjadi “it” bukan lagi “he, she, you dan They”. Pola ini sudah terjadi pada adegan pertama di rumah dinas, Kadiv Propam, dan kini pada adegan berikutnya hendak diwujudkan oleh para penonton kisah ini.
Disinilah fungsi fundamental sebuah lembaga pengadilan, untuk memastikan dan mengobjektifikasi tafsir hukum sebagai basis pijak bagi sebuah putusan hukum. Lembaga pengadilan mengobjektifikasi putusan hukum yang sesuai dengan tindakan kejahatan si pelaku kejahatan. Demikianlah alat-alat bukti, saksi-saksi dan bukti-bukti material sangat fundamental untuk divalidasi dari berbagai dimensi, secara logis dan ilmiah.
Gagasan Etika Penebusan
Gagasan ini menjadi penting untuk dipertimbangkan bahkan diinjeksi sebagai framework bagi mitigasi terbaik terhadap kasus pembunuhan Brigadir J dan kasus-kasus lain yang mungkin sakan terjadi di masa depan.
Ada ketegangan fundamental, antara fakta kejahatan moral yang diafirmasi oleh fakta material pembunuhan Brigadir J. dengan intensi untuk mencari keadilan yang tetap berkomitmen terhadap keluhuran manusia sebagai person. Keluhuran martabat Brigadir J minus bahkan hilang. Jika seandainyapun ada dugaan pelecehan terhadap PC, maka penyelesaiannya perlu melalui mekanisme-mekanisme objektif, valid dan terukur.
Gagasan etika penebusan bukan mengabaikan atau buta terhadap fakta material pembunuhan. Gagasan ini justru berusaha mempertemukan etika keadilan yang tegak dengan etika kepedulian, yang menegakkan martabat manusia.
Lebih jauh prinsip dari etika keadilan hukum tentu diakomodasi dengan menegakkan hukum secara adil dan transparan. Sedangkan prinsip dari etika kepeduliaan adalah “cinta kasih”, yang tetap respek dan menghargai martabat manusia, sekalipun orang tersebut adalah aktor utama atau aktor figuran dari sebuah tindakan pidana. Sintesa kedua basis etika ini menjadi perlu, demi meluhurkan martabat manusia sebagai person, bahkan demi mengonstruksi masa depan kita bersama yang lebih baik.
Publik sebagai penonton persidangan kasus pembunuhan Brigadir J, perlu belajar dari keluarga Suroso. Dimana Angelina Ade Sara Suroso yang dibunuh secara sadis pada 3 Maaret 2014, oleh mantan pacarnya sendiri yakni Imam Al Hafitd dengan kekasih barunya, Assyifa Ramadhani. Mereka berdua, akhirnya divonis PN Jakarta Pusat 20 tahun penjara. Cukup baik jika kita meminjam peryataan perih sang Ayah berikut ini: “Dibunuhnya anak kami telah menutup masa depan kami. Harapan saya dan istri membesarkan anak, kami ingin bersama-sama dengan anak pada masa tua. Tapi kini hal itu sudah selesai. Tidak ada lagi… Semua masalah, baik itu kecil, besar, berat, bisa diselesaikan. Ada jalan keluar dan penyelesaiannya. Cobalah memiliki jiwa yang besar, hati yang lapang dan terbuka”. (Lihat. https://news.detik.com/berita/d-2973504/jeritan-hati-ayah-ade-sara-jangan-mudah-membunuh, diakses 27 Januari 2023).
Tentu perbandingan ini sama sekali tidak mengurangi sehastapun beban berat dan trauma pada keluarga Brigadir J. Tetapi lebih dari itu, kita harus berani melangkah untuk keluar dari siklus balas dendam demi mengonstruksi peradaban kita yang meluhurkan martabat manusia.
————————————————————————