— untuk Richard Eliezer Pudihang Lumie (yang tak membaca tulisan ini) –
Goenawan Mohamad
Berdirilah tegak, Richard. Kau duduk di depan mahkamah, dan keluar dari sidang pengadilan, bukan lagi seorang polisi yang membunuh. Kehadiranmu sebuah metamorfosa. Kau sebuah ambiguitas.
Di depan para hakim, kau polisi dan kau juga pelanggar hukum; di ruang pengadilan itu, kau sebuah titikkumpul di mana berbaur, dan berbenturan, keadilan dan ketidak-adilan, hukum dan empati, sakit hati dan rasa belas. Kau terdakwa yang membuat Yosua jadi korban, tapi juga kau seorang korban. Kau subyek — yang menembak Yosua, dan tanganmu berdarah — tapi juga obyek — yang, seperti boneka, digerakkan atasanmu. Kau pelengkap penderita sebuah kekuasaan, tapi kau pelengkap penyerta proses keadilan. Kau penolong agar setidaknya bapak-ibu Yosua, pacarnya, dan kami semua tak terhimpit sesak dan sedih sebagai korban kekuasaan.
Seseorang mengatakan, kau dibaptis dengan nama yang dipakai dalam sebelas cerita Alkitab: Eleizer, “Tuhan penolongku”, dipakai Musa untuk menamai anaknya yang kedua sebagai pengingat akan Tuhan yang menolongnya lari dari hukuman Firaun. Eleizer juga nama seorang budak Abraham. Ia hanya disebut namanya satu kali sebagai bagian dari percakapan dengan Tuhan, tapi ia penting dalam riwayat majikannya.
Ada iman dan kerendahan-hati dalam nama baptismmu. Tak banyak yang mengetahui cita-cita kebaikan di situ, tapi agaknya dengan harapan baik yang sama banyak orang memandangmu. Ketika jaksa mengabaikan jasamu (kau adalah pengungkap kejahatan besar pembunuhan Yosua), dan menuntut agar kau dihukum 12 tahun, orang ramai marah. “Sabar, Chad”, di pintu gedung pengadilan seseorang berseru menyebut namamu.
Dan kau sabar. Kau sanggup. Sebab sejak mula cerita ini, kau menjalani hidup tanpa loncatan. Kau pemuda pedalaman yang mencoba mendaki piramida terjal birokrasi kepolisian — dan baru sampai di tingkat paling rendah. Kau datang dari keluarga di udik Sulawesi yang bangga hanya karena melihatmu mengenakan seragam Brimob, meskipun tanda pangkat itu cuma satu garis miring berwarna merah.
Selama proses peradilan, dengan posisi yang berubah-ubah bak dalam kaleidoskop, kau jadi point de capiton. Kau jadi buhul yang memberi makna ke dalam tali-temali tafsir yang tak habis-habisnya atas peristiwa itu. Citramu — muda dengan ekspresi yang lurus — jadi penanda hal-hal yang positif: kejujuran, keberanian mempertaruhkan diri bagi kebenaran — meskipun juga dengan nasib yang tak beruntung. Kau menyentuh siapa saja. Kau ditatap dengan haru. Kau pelan-pelan jadi satu sosok tempat berbagai orang menemukan rasa senasib.
Ya, berbagai orang — tapi umumnya seperti engkau: dari lapisan bawah. Sejarah sosial mereka seperti sejarahmu: dengan masa depan yang samar-samar, dengan masa lalu yang tak bermodal, dan dengan masa kini yang tak stabil.
Tidak, mereka tak menggerutu. Mereka bukan pengeluh. Seperti kau dan ayah-ibumu, mereka hanya warga yang berada di tepi jalan, kadang terluka ketika sejarah Republik berjalan, dengan rapi dan mantap atau dengan kacau dan sewenang-wenang. Seperti Eleizer dalam Alkitab, mereka hanya disebut sesekali. Tapi mereka penting dalam bangunan sosial, karena mereka tak menghendaki ketidak-adilan.
Dan kau memilih jadi polisi. Kau jadi penegak hukum. Di zaman dulu orang akan menyebutmu “hamba wet”. Kau tak bertanya — kau tak boleh bertanya — apa gerangan “wet” itu, apa hukum itu, selain sendi ketertiban masyarakat. Kau, hamba, tak menyidik kemungkinan bahwa aturan dan undang-undang yang jadi hukum itu jangan-jangan hanya bungkus bagus buat penindasan dan rasa haus kekuasaan.
Sebenarnya tak amat jauh untuk melihat kenyataan itu. Kau bagian sebuah organisasi yang ditentukan hukum berhak memegang senjata dan menggunakan kekerasan. Dalam posisi istimewa itu, dua kemungkinan bisa terjadi.
Pertama, organisasimu — Kepolisian Republik Indonesia — akan merasa dipercayai dan sebab itu membalas hormat kepada jutaan orang yang mempercayainya, jutaan orang yang disebut “rakyat”. Kedua sebaliknya: kalian yang dengan sah mengggunakan senjata akan merasa begitu kuat dan begitu menakutkan, hingga tak gampang ditentang dan digugat.
Kekuasaan macam itu bisa tak terkendali. Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan, dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.
Itu yang juga kau saksikan dalam perbuatan atasanmu, Jenderal Sambo. Ia personifikasi “kebudayaan brutalitas” itu. Ia membunuh Yosua karena sakit hati pribadi, bukan untuk keamanan Republik; ia memerintahkan anak buahnya siap menembak dan menghapus jejak. Dengan jumawa ia yakin, saat itu ia akan bebas.
Kau terlibat, Richard, tapi aku tak ingin Negara menghukummu. Kau telah berubah. Kau-lah yang justru mengungkapkan kekejian itu, apapun motifmu. Kau berhenti jadi mesin dan kembali jadi Eliezer. Di depan mahkamah, disaksikan jutaan orang, kau menyesal. Kau bukan lagi seorang polisi yang membunuh. Kau bukan Sambo.
Berdirilah tegak. Banyak orang, dengan iman yang berbeda-beda, berdoa buat kau. Juga buat keadilan.
———————————————————————
Sumber Tulisan: Majalah TEMPO 23-29 Januari 2023.