Albertus Muda, S.Ag, Guru Honorer SMA Negeri 2 Nubatukan-Kab. Lembata-NTT
Seringkali kita menjumpai seseorang menyatakan cintanya dalam diam. Mungkin mereka berpikir diam bisa menjadi sebuah simbol dalam mengungkapkan perasaan hatinya. Padahal cara demikian terkesan monolog dan introvert bahkan sangat eksklusif. Namun demikian, kita mesti akui bahwa cara yang demikian kerap kita jumpai di kalangan para petualang cinta.
Semua kita berharap agar setiap orang dapat mengungkapkan isi dan perasaannya secara terbuka, lugas dan simpel. Menggunakan cara-cara simbolis memang baik, tetapi akan lebih baik kalau dinyatakan secara langsung. Misalnya, lewat bunga atau kado beraneka macam, seseorang menyatakan cintanya. Akan tetapi, tindakan konkrit melalui dialog secara timbal balik menjadi lebih penting.
Diam bukan solusi menyelesaikan persoalan. Sebab dengannya, akan memicu pergulatan batin yang hebat. Jawaban yang kita dapatkan, bisa “ya” bisa “tidak”. Oleh karenanya, perasaan pribadi yang mengarah kepada rasa cinta antardua pribadi yang berlainan jenis kelamin, mesti diungkapkan. Cinta mesti dikomunikasikan. Dengan dialog akan sangat membantu pasangan menemui jalan keluar.
Komunikasi yang Jujur
Dalam relasi antarpribadi, hal terpenting yang perlu dibangun adalah komunikasi. Komunikasi yang dibangun bukan sekedar hai, halo. Komunikasi perlu dihindari dari sikap egoistik bahkan eksploitatif. Komunikasi yang diharapkan adalah sebuah dialog antarpribadi yang dibangun dengan jujur dan terbuka tanpa alasan yang dibuat-buat.
F.X. Prajasuta dalam bukunya “Mutu Hidup” (2004) mengatakan, membangun sebuah hubungan yang sehat dibutuhkan adanya komunikasi yang jujur, meskipun dapat menyakitkan atau menakutkan. Kita harus jujur mengatakan siapa kita sesungguhnya. Kita juga berharap orang lain menerima kita, seperti apa adanya kita. Pada akhirnya, jika tidak sesuai dengan yang kita harapkan, tidak perlu menjadi sebuah problem yang sulit diurai.
Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa diam yang diambil antara dua pihak yang dari kedalaman diri masing-masing memiliki perasaan cinta, bukan sikap yang tepat memahami satu sama lain. Dialog yang jujur antara kedua belah pihak, mutlak dibutuhkan. Apa pun hasil yang didapat, mesti diterima sebagai konsekuensi dari sebuah proses dialog.
Hanya ada dua sikap. Pertama, saling terbuka menerima satu sama lain. Kedua, mengambil sikap keberatan atau menolak. Akan tetapi, akan lebih elegan dan santun, jika ada sikap saling terbuka satu dengan yang lain. Keterbukaan merupakan pintu untuk mengetahui rahasia di balik pergumulan yang sekian lama dinantikan dalam sikap saling mendiamkan.
Sebuah komunikasi dikatakan bermutu, apabila dibangun secara intens dari waktu ke waktu secara terbuka dan jujur. Selain itu, setiap niat hati dari kedua belah pihak, hendaknya disampaikan secara jujur agar kedua belah pihak saling memahami secara timbal balik. Lebih dari itu, adanya kesediaan untuk saling memperbaiki dan saling memaafkan sebagai upaya saling menempah diri dan belajar satu sama lain.
Dialog yang Inklusif
Kerap kita jumpai bahwa antara dua pribadi yang saling mencintai, sering kali saling mendiamkan. Konsekuensinya, kedua belah pihak saling memikirkan, dengan energi yang sangat terkuras. Masing-masing akan bertanya, “kapan Si A menyatakan cinta, begitu pun sebaliknya Si B”. Saling menunggu tanpa berinisiatif mengatakan sepata kata pun, bukanlah sikap yang ideal. Sikap itu justru menimbulkan tanda tanya satu sama lain.
Membuka diri dan berani mengatakan apa adanya, merupakan sikap yang tepat. Dengan demikian, kita mesti membiarkan diri dijajaki dan dikenal secara lebih mendalam, termasuk kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Mesti kita sadari sambil menyiapkan diri bahwa tidak setiap orang menerima kita apa adanya sehingga kerap kita alami penolakan yang menyakitkan.
Kondisi yang sering muncul dalam proses membangun relasi antara kedua person berlainan jenis, kerap berlatar belakang masa lalu. Misalnya, ketika orang tua kita memberikan tuntutan dan syarat yang tidak sejalan dengan kemampuan personal pasangan. Kita merasakan semacam ada sekat atau tembok yang sulit kita robohkan untuk mengungkapkan perasaan kita sesungguhnya.
Maka dari itu, salah satu faktor penghambat seperti pengalaman ditolak, takut dinilai negatif, takut ribut, tipe kepribadian, pria atau wanita mesti didialogkan. Masing-masing mesti saling terbuka satu sama lain (Paul Subiyanto, 2004). Faktor-faktor penghambat ini mesti dinyatakan secara terbuka, agar diketahui kedua belah pihak.
Membuka diri saling mendengarkan bahkan bersedia menerima risiko yang akan terjadi mesti berani dilakukan. Setiap person mesti saling menjaga perasaan masing-masing. Jika saling mencintai, nyatakan perasan masing-masing secara terbuka. Saling mendiamkan bahkan tidak berani terbuka bukanlah sikap yang tepat. Berhentilah menjadi pribadi yang eksklusif dan beranilah menjadi pribadi yang inklusif.
Salah satu wujud konkrit membangun dialog antarpribadi adalah saling mendengarkan. Sebuah sikap yang semakin mahal didapatkan, ketika semakin banyak orang membutuhkannya. Menurut Paus Fransiskus, mendengarkan bukan sebatas fisik lahiriah tetapi secara rohaniah yakni dengan hati. Mendengarkan dengan hati memungkinkan para pihak yang berkomunikasi mengalami sentuhan dan kehadiran yang ilahi.
Komunikasi antarpribadi mesti bersifat dialogal bukan monologal. Setiap pribadi yang hendak berkomunikasi mestinya membuka diri saling menyapa. Membuka diri untuk saling mendengarkan, berbicara dan menanggapi dengan jujur bukan bertopeng. Sebuah dialog yang baik dan jujur mesti dilandasi sikap saling mendengarkan dengan penuh kejujuran secara timbal balik. Selamat membangun dialog yang jujur bagi yang sedang mengalami jatuh cinta.(*)
********************************************************************