Oleh Herman Seran
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, tanggal 3 – 6 September 2024, merupakan momen yang luas diperbincangkan. Para pemerhati menekankan dua fungsi kunjungan sri paus sebagai kunjugan diplomatik sekaligus kunjungan kegembalaan. Dalam konteks kunjungan kegembalaan Paus Fransiskus mengunjungi sekitar 8,5 juta umat katolik di Indonesia. Angka ini memang sangat minoritas dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 276 juta. Banyak yang kecewa karena sri paus tidak menyinggahi Nusa Tenggara Timur yang dihuni sekitar 34% warga Katolik Indonesia.
Terlepas dari berbagai alasan tak ada kunjungan ke NTT, mayoritas umat katolik NTT tidak bisa menyambut Sri Paus karena kondisi perekonomian NTT yang merupakan termiskin di Indonesia. Tahun 2022, pendapatan per kapita rata-rata per bulan sekitar Rp1.8 juta yang lebih dari 74% untuk belanja makanan. Dengan struktur pengeluaran macam ini sangat sulit memiliki uang lebih untuk urusan sekunder seperti menyambut Bapa Suci, pemimpin rohani mereka yang sangat dikagumi.
Dalam momen kunjungan sri paus pemimpin umat katolik sejagat ke Indonesia, orang NTT patut berefleksi diri. Mengapa provinsi mayoritas katolik di Indonesia ini menjadi yang paling miskin di Nusantara tercinta? Apakah hidup rohani tak ada hubungan dengan hidup jasmani? Bukankah Yesus datang agar manusia memiliki hidup dalam kepenuhan? Indeks pengembangan SDM NTT juga termasuk nomor butut di seantero Nusantara. Tatakelola pemerintah yang buruk, yang dibuktikan dengan tingkat korupsi yang tinggi, juga menjadi kisah lain yang mengafirmasi fakta bahwa iman tak berbanding lurus dengan perilaku penganutnya.
NTT memang provinsi ribuan pulau yang bukan provinsi kepulauan. Akses transportasi yang ada sering menjadi momok mobilisasi orang dan barang. Jika untuk menyeberang dari Kupang ke Pulau semau membutuhkan sekitar 3,5 jam antri untuk penyeberang ferry 15 menitan maka bisa dibayangkan daerah lain yang jauh dari Kupang.
Ketika menelisik kualitas pendidik di NTT kita pun akan menjadi bertanya-tanya. Misi Katolik dan protestan telah hadir di bumi Flobamora sebelum Indonesia merdeka tetapi mengapa pula kemajuan pendidikan tak signifikan. Ada paradoks di NTT ketika semakin tinggi pendidikan justeru semakin mempersempit akses pada lapangan kerja. Statistik menunjukkan tingkat pengangguran sarjana justeru lebih tinggi daripada pengangguran SMA ke bawah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para sarjana di NTT kebanyakan hanya membuang waktu dan biaya hanya untuk menutupi peluangnya mendapatkan pekerjaan.
Tidaklah mengherankan, NTT merupakan salah satu kantong penjualan orang (human trafficking). Banyak warga usia produktif yang bermigrasi keluar NTT untuk mencari pekerjaan. Konyolnya, mereka meninggalkan anak-anak mereka kepada kakek nenek mereka yang mengurus diripun sudah tak sanggup. Generasi emas yang menjadi tulang punggung gereja dan bangsa di NTT ditelantarkan tanpa asupan gizi jasmani dan rohani yang memadai. Bahkan banyak yang mengalami pelecehan seksual yang memperburuk perkembangan kepribadian mereka.
Kunjungan sri paus harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa iman itu berurusan dengan kebahagiaan hari ini dan eskatologis. Kesejahteraan umat adalah ekspresi kualitas iman umat juga. Tentu kita hidup tidak hanya dari roti saja, tetapi kita butuh roti untuk melanjutkan perjalanan kita menuju tanah terjanji. Jika Tuhan bisa menurunkan manna dan menyiapkan burung puyuh kepada umat Israel, bukankah orang Katolik NTT patut mendapatkan asupan gizi yang memadai? Para pemimpin dunia maupun gerejani NTT perlu memberi mereka makan.
Kita patut mengingat mukjizat penggandaan lima roti dua ikan di padang gurun. Ketika para murid meminta Yesus menyuruh orang-orang pergi mencari makan karena mereka tak mampu menafkai mereka. Yesus justeru memerintahkan: kamu harus memberi mereka makan. Para pemimpin katolik, baik awam maupun klerus, bertanggung jawab memberi makan umat yang telah memilih mengikuti Kristus. Sinergi yang diawali oleh seorang anak yang menyumbangkan lima roti dan dua ekor ikan mampu mengenyangkan lebih dari lima ribu orang mengajarkan bahwa bersama Tuhan kita bisa.
NTT mungkin gersang dalam banyak hal tetapi kiranya tidak gersang dari semangat belarasa. Kiranya orang-orang NTT berhenti mengurusi diri sendiri tetapi lebih perduli pada sesamanya. Solidaritas dan semangat persaudaraan yang dibawa Paus Fransiskus ke Indonesia semakin memampukan kita untuk memperbaiki kesejahteraan orang-orang NTT. Kita berharap, kunjungan paus berikutnya dapat disambut oleh orang-orang NTT entah di Jakarta, ataupun Banda Aceh maupun Merauke sekalipun, karena keuangan tak lagi menjadi hambatan untuk bepergian, apalagi untukKunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, tanggal 3-6 September 2024, merupakan momen yang luas diperbincangkan. Para pemerhati menekankan dua fungsi kunjungan sri paus sebagai kunjugan diplomatik sekaligus kunjungan kegembalaan. Dalam konteks kunjungan kegembalaan Paus Fransiskus mengunjungi sekitar 8,5 juta umat katolik di Indonesia. Angka ini memang sangat minoritas dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 278 juta. Banyak yang kecewa karena sri paus tidak menyinggahi Nusa Tenggara Timur yang dihuni sekitar 2,97juta orang atau sekitar 34% warga katolik Indonesia.
Hari ini NTT menjadi kontributor utama panggilan hidup selibat katolik di dunia. Tidaklah mengherankan Sri Paus menyebut secara khusus Indonesia sebagai ladang subur benih panggilan hidup rohani, masa depan gereje sejagat. Lebih dari 2500-an anggota IRRIKA (Ikatan Rohaniwan/ti Indonesia di Kota Abadi) saat ini, lebih dari 80% datang dari NTT. Kehadiran Pater Markus Solo Kewuta, SVD di samping Paus Fransiskus selama kunjungan sebagai interpreter adalah bentuk hiburan dan sekaligus afirmasi bahwa orang NTT pantas bermain di panggung global. Muncul gurauan hari ini bahwa Roma adalah tempat main anak-anak NTT, walau mereka tak mampu main di Jakarta. P Markus bersama ribuan rohaniwan/ti lain di kota abadi setidaknya menjadi telinga, mata dan mulut bagi para saudara mereka yang tak mungkin berjumpa dengan sri paus.
Tanpa menafikan berbagai alasan tak ada kunjungan ke NTT, mayoritas umat katolik NTT tidak bisa menyambut Sri Paus karena kondisi perekonomian NTT yang adalah termiskin di Indonesia. Tahun 2022, pendapatan per kapita rata-rata per bulan sekitar Rp1.8 juta dan lebih dari 74% dialokasikan untuk belanja makanan. Dengan struktur pengeluaran macam ini, mereka sangat sulit memiliki uang lebih untuk urusan sekunder seperti menyambut Bapa Suci, pemimpin rohani mereka yang sangat dikagumi. Maka tidaklah mengherankan kalau warga Keuskupan Atambua yang terdaftar secara resmi untuk menghadiri kunjungan paus ke Timor Leste hanya berjumlah 654 orang, walaupum merupakan keuskupan terdekat dengan TL dan memiliki ikatan genealogis dan budaya yang kental.
Dalam momen kunjungan sri paus, pemimpin umat katolik sejagat ke Indonesia ini, orang NTT patut berefleksi diri. Mengapa provinsi mayoritas Katolik di Indonesia ini menjadi yang paling miskin di Nusantara tercinta? Apakah hidup rohani tak ada hubungan dengan hidup jasmani? Bukankah Yesus datang agar manusia memiliki hidup, hidup dalam kepenuhan? Indeks pengembangan SDM NTT juga termasuk nomor butut di seantero Nusantara. Tatakelola pemerintah yang buruk, yang dibuktikan dengan tingkat korupsi yang tinggi, juga menjadi kisah lain yang mengafirmasi fakta bahwa iman tak berbanding lurus dengan perilaku penganutnya.
NTT memang provinsi ribuan pulau yang bukan provinsi kepulauan. Akses transportasi yang ada sering menjadi momok mobilisasi orang dan barang. Jika untuk menyeberang dari Kupang ke Pulau Semau membutuhkan sekitar 3,5 jam antri untuk penyeberang ferry 15 menitan, maka bisa dibayangkan daerah lain yang jauh dari Kupang.
Ketika menelisik kualitas pendidik di NTT kita pun akan menjadi bertanya-tanya. Misi Katolik dan Protestan telah hadir di bumi Flobamora sebelum Indonesia merdeka, tetapi mengapa pula kemajuan pendidikan NTT tak signifikan. Adalah paradoksal di NTT, ketika semakin tinggi pendidikan justeru semakin sempit akses pada lapangan kerja. Statistik menunjukkan tingkat pengangguran sarjana justeru lebih tinggi daripada pengangguran sekolah menengah ke bawah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi di NTT umumnya hanya membuang waktu dan biaya hanya untuk menutupi peluangnya mengakses lapangan kerja.
Tidaklah mengherankan, NTT merupakan salah satu kantong penjualan orang (human trafficking). Banyak warga usia produktif yang bermigrasi keluar NTT untuk mencari pekerjaan. Konyolnya, mereka meninggalkan anak-anak mereka kepada kakek nenek mereka yang mengurus diripun sudah tak sanggup. Generasi emas yang menjadi tulang punggung gereja dan bangsa di NTT ditelantarkan tanpa asupan gizi jasmaniah dan rohaniah yang memadai. Bahkan banyak yang mengalami pelecehan seksual yang memperburuk perkembangan kepribadian mereka.
Kunjungan Sri Paus harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa iman itu berurusan dengan kebahagiaan hari ini dan eskatologis. Kesejahteraan umat adalah ekspresi kualitas iman umat juga. Tentu kita hidup tidak hanya dari roti saja, tetapi kita butuh roti untuk melanjutkan perjalanan kita menuju tanah terjanji. Jika Tuhan bisa menurunkan manna dan menyiapkan burung puyuh kepada umat Israel, bukankah orang katolik NTT patut mendapatkan asupan gizi yang memadai? Para pemimpin duniawi maupun gerejani NTT perlu memberi mereka makan.
Kita patut mengingat mukjizat penggandaan lima roti dua ikan di padang gurun. Ketika para murid meminta Yesus menyuruh orang-orang pergi mencari makan karena mereka tak mampu menafkai mereka. Yesus justeru memerintahkan: kamu harus memberi mereka makan. Para pemimpin katolik, baik awam maupun klerus, bertanggung jawab memberi makan umat yang telah memilih mengikuti Kristus. Sinergi yang diawali oleh seorang anak kecil yang menyumbangkan lima roti dan dua ekor ikan mampu mengenyangkan lebih dari lima ribu orang mengajarkan bahwa bersama Tuhan kita bisa.
NTT mungkin gersang dalam banyak hal tetapi kiranya tidak gersang dari semangat belarasa. Kiranya orang-orang NTT berhenti mengurusi diri sendiri tetapi lebih perduli pada sesamanya. Solidaritas dan semangat persaudaraan yang dibawa Paus Fransiskus ke Indonesia semakin memampukan kita untuk memperbaiki kesejahteraan orang-orang NTT.
Kita berharap, kunjungan paus berikutnya dapat disambut oleh orang-orang NTT entah di Jakarta, ataupun Banda Aceh maupun Merauke sekalipun, karena keuangan tak lagi menjadi hambatan untuk bepergian, apalagi untuk menyambut pemimpin mereka yang sangat dicintai.
———————————-