Setiap tanggal 2 November, Gereja Katolik merayakan Hari Arwah untuk mengenang dan mempersembahkan doa bagi semua orang beriman yang telah meninggal. Gereja merayakan peringatan ini tepat sesudah Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November). Dengan mempersembahkan Kurban Ekaristi pada Hari Arwah, imam bersama umat mengharapkan agar semua orang beriman yang telah wafat disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Secara singkat, kita akan membahas latar belakang Gereja merayakan Hari Arwah.
Sejak awal Kristianitas, praktik dan tradisi memperingati dan mendoakan arwah telah berkembang di dalam Gereja melalui teks-teks liturgi awal. Praktik mendoakan arwah telah dilakukan sejak Perjanjian Lama, tepatnya ketika Yudas Makabe mendoakan arwah orang-orang yang gugur dalam pertempuran melawan Gorgias (2 Mak 12:38-45). St. Paulus pun berdoa bagi Onesiforus, kawan yang mengunjunginya di Roma (2 Tim 1:18). Pada abad ke-4, St. Yohanes Krisostomus, Uskup Agung Konstantinopel, berpesan dalam homilinya, “Baiklah kita membantu dan mengenangkan mereka [yang telah meninggal]. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Ayb 1:5). Bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”
Pada abad-abad awal Kristianitas, nama-nama umat beriman yang telah meninggal dicatat pada plakat yang disebut diptych. Praktik mendoakan orang-orang mati menjadi tradisi Biara Benediktin sejak abad ke-6 dan dirayakan pada hari Sabtu sebelum Pentakosta. Praktik ini bermunculan pula di Spanyol maupun Jerman. Pada tahun 1030, St. Odilo, Abbas Biara Benediktin di Cluny, menetapkan agar diadakan peringatan arwah setiap tahunnya di biara-biara ordonya. Tradisi inilah yang di kemudian hari diikuti oleh keuskupan-keuskupan di Eropa sampai menjadi peringatan universal Gereja.
Dasar teologis dari perayaan Hari Arwah tidak dapat dilepaskan dari ajaran Gereja bahwa arwah semua orang beriman belum disucikan sepenuhnya dan masih harus menjalankan penyucian agar dapat masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK 1030). Proses penyucian ini disebut Gereja sebagai purgatorium – api penyucian (KGK 1031). Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati (KGK 1032). Kita pun dapat merefleksikan mengapa Gereja merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus pada 1 November dan mendoakan semua arwah pada 2 November. Kedua perayaan tersebut menunjukkan suatu refleksi iman bahwa selalu ada ikatan kasih yang kuat antara yang masih hidup, yang sudah meninggal, dan yang sudah bahagia di surga.
Kematian orang-orang yang kita kasihi menggoreskan duka yang mendalam yang biasanya diungkapkan dalam sebuah upacara atau ritus. Ritus sebagai sebuah cara mengolah pengalaman kehilangan orang-orang yang kita kasihi dan dengan ritus membantu kita menegaskan bahwa kita tidak sendirian dalam rasa kehilangan itu. Ritus mempertemukan orang dan menggabungkan orang menjadi sebuah kelompok yang dipersatukan dalam rasa duka yang sama. Kematian mendekatkan orang, menjadikan orang pelaku ritus dan menyadarkan orang bahwa antara kekasih-kekasih kita yang sudah meninggal masih terjalin relasi dan kita yang masih berziarah ini dapat mendoakan mereka. Kita dapat belajar dari kematian kekasih-kekasih kita bahwa kualitas hidup kita ditentukan oleh kesadaran akan kematian (Kleden Budi, 2022).
Dengan mengadakan Perayaan Ekaristi untuk mengenang para kekasih-kekasih kita, kita dipanggil untuk menghayati secara khusus saat kematian kita. Dalam iman dan doa kita, kita menjalin kembali hubungan keluarga kita dengan mereka; mereka sedang menanti kita, melindungi serta membantu kita. Mereka telah melihat Allah “dalam keadaan-Nya yang sebenarnya”. Mereka meyakinkan serta memberi kita semangat untuk bertekun meneruskan perjalanan serta peziarahan kita yang masih tinggal di dunia ini. “Sebab disini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang” (Ibr 13:14). Jangan cemas, tetapi tengadahkanlah pandanganmu ke tujuan akhir hidup kita; itulah yang terpenting bagi kita. Kekasih-kekasih kita yang telah meninggal dunia sudah berada di sana, ke tempat kita akan berada pula. Sesungguhnya di sanalah tanah air kita bersama mereka, sehingga mereka menjadi sesama kita. Di situ pulah kita akan memasuki misteri tritunggal Bapa. Anak dan Roh Kudus, karena kita dibaptis dengan baptisan yang sama. Kita saling bergandengan tangan, karena maut sudah tidak ada lagi di sana, selain kehidupan kekal.
Dilandasi pemikiran bahwa para kekasih-kekasih kita yang sudah meninggal amat perlu dikenang dan didoakan, keluarga besar Lamalera Jakarta melangsungkan Misa Peringatan Arwah untuk mengenang orang-orang Lamalera baik yang sudah meninggal di Jabodetabek maupun keluarga besar Lamalera yang sudah meninggal di darat maupun di laut, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2023, di Gereja St. Yoseph Matraman Jakarta Timur. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh P. Andreas Atawolo, OFM, diiringi koor Ina Lefa dengan dirigen Lia Keraf, yang membawakan lagu-lagu Ekaristi dalam bahasa Lamalera.
Misa Arwah dan Misa Lefa bagi lefa alep adalah kepasrahan, penyerahan diri, kegiatan melaut mereka kepada Yang Kudus dan sekaligus permohonan kepada Allah agar Ia berkenan memberikan berkat-Nya agar laut memberikan hasil yang berlimpah. Para lefa alep juga meyakini bahwa laut dengan murah hati memberikan seluruh ikan, baik ikan yang kecil-kecil sampai ke ikan Paus (kotoklema) sebagai kiriman dari leluhur dan Tuhan (knato). Ikan Paus (kotoklema) menjadi sangat penting bagi lefa alep karena hasil tangkapan ikan Paus diperuntukan untuk seluruh kampung, seluruh pulau Lembata. Cara pandang ini yang menumbuhkan pada diri mereka spirit untuk terus berharap (mengaji pole). Mengaji (berdoa) dan pole (berharap) sungguh menjadi nafas mereka.
Pada diri lefa alep selalu terpancar h a r a p a n besar bahwa laut akan memberikan kelimpahan bagi mereka. Bagi lefa alep laut adalah rahim yang menyimpan sejuta kekayaan. Laut di mata lefa alep juga dipandang sebagai sebuah ruang perjumpaan dengan Tuhan. Kesulitan di laut adalah ujian iman dan panggilan untuk bertobat dan melakukan rekonsialisasi.
Dalam kosmologi masyarakat Lamalera, leluhur juga menduduki peran penting. Leluhur dalam pandangan masyarakat Lamalera adalah orang tua serta nenek moyang yang telah meninggal secara fisik tetapi roh atau jiwanya tetap hidup. Para leluhur ini diyakini akan menjaga dan melindungi laut. Dari leluhur, orang Lamalera belajar tentang keberanian, kejujuran, kemurahan hati, bela rasa, serta kasih sayang. Penghormatan dan kenangan kepada leluhur inilah yang mendorong orang-orang Lamalera mengadakan Misa Arwah dan Misa Lefa setiap tahun tanggal 1 Mei. (Paskalis Liko Bataona)