PUISI-PUISI ASTRYANTHI KOREBYMA
Puisi “Damai dari Kota Seribu Kapela” (Nagi Larantuka) menggambarkan konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat yang seharusnya hidup dalam damai. Puisi ini menyoroti pertentangan antara keluarga dan generasi serta kekerasan yang mengiringi konflik tersebut. Penyair mengekspresikan pertanyaan tentang arti hidup yang sebenarnya, apakah hanya sebatas pertarungan dan kekerasan, ataukah terdapat damai yang abadi di dalamnya. Puisi ini mengajak pembaca untuk mencari kedamaian dan hening dalam kehidupan yang penuh konflik.
Puisi “Mei, Maria, dan Epifani” menggambarkan tentang kekuatan iman dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan dan kematian. Para tokoh seperti Mei, Maria, dan Rosario dijadikan simbol untuk melambangkan keberanian, ketabahan, dan ketaatan kepada Tuhan dalam menghadapi segala cobaan. Puisi ini menekankan pentingnya persiapan spiritual untuk menghadapi akhirat, dengan pengakuan bahwa segala dosa akan diampuni dengan syarat sujud syukur dan tawakal kepada Allah. Puisi ini mencerminkan kepercayaan pada kemurahan Allah dan perlunya kepatuhan kepada-Nya sepanjang hidup.
Puisi “Senja di Taman Kota 1” menggambarkan perasaan kesendirian dan pertemuan dengan keheningan dalam suasana senja. Penyair merenungkan tentang keheningan yang memenuhi taman kota, di mana meskipun ada kehidupan di sekelilingnya, ia tetap merasa sendiri. Puisi ini menggambarkan proses internalisasi diri dalam menghadapi kesendirian, dengan awan dan rembulan menjadi simbol perenungan dan ketenangan. Meskipun malam telah tiba, penyair tetap merasa terjaga dalam keheningan taman kota, mencerminkan pertanyaan tentang eksistensi dan tempat dalam dunia yang luas.
DAMAI DARI KOTA SERIBU KAPELA
Nagi Larantuka
Dahulu, dan bukan kini
Disini, di bumi seribu kapela
Damai
Mudah dalam kata
Tetapi tidak dalam tingkah laku
Kakak dan adik tak lagi akur
Ayah dan anak beradu pedang
Beradu siapa yang menang
Apakah hidup ini hanya sebatas
Bilah pedang yang menghunus
Menghempas leher dan tubuh kurus
Dengan napas dan aliran darah
Panas
Membasahi ruas tanah
Puas kah?
Bercak darah
Daging dan tulang
Berserakan, melekat pada palang pintu
Pada dinding kamar bergeming;
“Cukupkan hari dan dirimu dengan sujud syukur
Temukan hening
Disana, ada damai yang tak selesai”
Taman Kota Larantuka, 12 Maret 2019
————————————
MEI, MARIA DAN EPIFANI
Mei, Maria dan Rosario
dalam puasa dan niat
senjata ampuh melawan segala sakit
tiada pernah terlalu cepat
pula terlalu lambat
Maria, Bunda pembantu abadi selalu tepat
akhir kehidupan ini adalah mati
teman segala perjalanan adalah diri sendiri
sujud syukur untukmu tiada henti
sediakan bekal perjalanan, siapkan diri
sebab akhirat tidak kompromi
untuk segala dosa duniawi
sang pencipta memang memperhitungkan segala amal
namun harus lebih banyak sujud dan tawakal
sebab segala ampun adalah akhir dari sesal
yang terasa mustahil
sebab muara segala ampun
dari Allah hingga akhir zaman.
Teruntuk: Saveri_Je
———————————–
SENJA DI TAMAN KOTA 1
Enggan menyapa kemudian bisu bertemu lisan
Kaku memang menjadi pemersatu yang tak sejalan
Pilihan jatuh pada simpang kata akhir yang kadang memberi luka di setiap lorong singgah
Jika bernyawa,
Kepada riuh jalanan, riak gelombang dan lampu jalanan, kupinta sabar yang penuh tuk peluh yang tak kunjung luluh
Lantas berdatangan awan yang ditiup angin
Mendekat, menari berbisik sendu;
‘tidak takutkah kau sendirian di sini? Pulanglah, hari sudah malam, Nak’.
Hingga pada pucuk rembulan yang nyaris tua
Ku kembali ke peluk malam dan tertidur
Hingga bangun dan temukan diriku masih di taman kota.
Taman Kota Larantuka, 22.09.2021
—————————————————-
Tentang Penulis
Astryanthi Korebyma, nama pena dari Agustina. Gadis kelahiran 03 Agustus 1993 ini berdomisili di Larantuka, Flores Timur, NTT. Saat ini bekerja sebagai Staff Tata Administrasi SMAK Frateran Podor- Larantuka. Astry bisa dihubungi melalui FB: Astryanthi Agustina Korebyma, IG: korebyma_acy0308, e-mail : agustinasurat@gmail.com, Nomor HP/WA : 0821 4699 2440.