Oleh Odemus Bei Witono
Dalam keseharian dalam lingkungan pendidikan etika kebajikan perlu diperkenalkan sebagai proses pendidikan yang memberikan peneguhan tindakan yang secara etis dapat dipertanggungjawabkan. Etika merupakan kajian tentang baik buruk dan kebajikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya)’, ‘perbuatan baik’.
Etika kebajikan dalam pandangan Aristotelian bersifat teleologis karena nilai karakter dianggap bergantung pada hubungannya dengan kesejahteraan manusia, dan beberapa gagasan non-moral tentang kebaikan tampaknya dianggap sebagai hal utama.
Menurut Rosalind Hursthouse (dalam Steutel and Carr 1999), etika kebajikan, sebagai contoh, tidak sama sekali menghambat pemahaman orang terhadap aturan moral seperti ‘berbohong dianggap buruk secara moral’ atau ‘seseorang harus memenuhi janjinya’: esensi dari etika keutamaan adalah bahwa penilaian deontik umum tersebut dapat dibenarkan dalam istilah yang pada dasarnya bersifat aretaic.
Kata ‘deontik’ berasal dari kata Yunani ‘δεóντως’, yang dapat diterjemahkan sebagai ‘sebagaimana mestinya’ atau ‘seharusnya’. Jeremy Bentham menggunakan istilah ‘deontologi’ untuk merujuk pada “ilmu moralitas”.
Sementara itu Ernst Mally adalah orang pertama yang menggunakan istilah tersebut, dalam bentuk ‘Deontik’, mengacu pada studi logis tentang penggunaan bahasa secara normatif. Sedangkan aretaic dari bahasa Yunani Kuno ἀρετή (aretḗ, “kebajikan atau keunggulan”). Aretaic terkait dengan etika yang berkaitan dengan kebajikan atau keunggulan.
Dengan kata lain, berbohong dianggap tidak elok karena tidak jujur, dan ketidakjujuran dianggap sebagai keburukan; tidak memenuhi janji dianggap sebagai tindakan yang tidak boleh dilakukan, karena tidak adil atau dianggap sebagai pengkhianatan; dan seterusnya. Dengan singkatnya, penilaian deontik dianggap sebagai hasil dari —bukan dapat digantikan oleh — evaluasi aretaic.
Pendekatan terhadap pendidikan moral menemukan akar dalam beragam konsepsi tujuan dan metode, terutama yang tercermin dalam literatur penelitian. Dalam domain psikologi, fokus pada pendidikan moral secara unik mempertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh orang tua, pembentukan perilaku, dan diskusi dilema.
Pendekatan dalam kajian psikologi sejalan dengan pandangan psikoanalisis, pembelajaran sosial, dan teori perkembangan kognitif yang menggarisbawahi peran signifikan proses psikologis dalam pembentukan karakter moral.
Meskipun telah dilakukan upaya menyimpulkan pendidikan moral dari penelitian kuasi-empiris, sangat sulit untuk mengabaikan dimensi filosofis, etis, dan bahkan politis yang secara kuat mempengaruhi penafsiran hasil penelitian.
Dengan demikian, pendidikan moral tidak hanya dapat dipahami melalui lensa ilmiah semata, tetapi juga memerlukan pemahaman mendalam terhadap aspek-aspek filosofis dan etis yang melingkupi, untuk merangkul kekayaan kompleksitas manusia dalam konteks pembentukan nilai-nilai moral.
Dalam konteks pendidikan moral pada zaman sekarang, terlihat adanya pergeseran minat menuju pendekatan klasik, khususnya pendekatan kebajikan. Pendekatan ini menitikberatkan pada pengembangan kebajikan sebagai dasar untuk mencapai tujuan pendidikan moral.
Pilihan etika kebajikan dalam praksis, sumber: Pexels
Relevansi peningkatan minat terhadap pendekatan kebajikan mencerminkan upaya dalam mengatasi tantangan kontemporer yang berkaitan dengan pengembangan karakter dan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Meskipun demikian, kebingungan terkait status filosofis pendekatan ini masih menjadi fokus diskusi di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan.
Peningkatan minat terhadap pendekatan kebajikan juga disertai dengan kecenderungan untuk mencampuradukkan konsep etis dengan penjelasan lain, seperti pendidikan karakter, etika kepedulian, bahkan utilitarianisme.
Hal demikian menimbulkan kerumitan dalam memahami secara menyeluruh ciri khas pendekatan kebajikan terhadap pendidikan moral. Dalam menghadapi kerumitan tersebut, Steutel & Carr (1999) menyoroti perlunya klarifikasi filosofis mengenai etika kebajikan agar kontribusinya dapat dipahami dengan jelas dan dibedakan dari kerangka konseptual lainnya.
Klarifikasi demikian menjadi krusial dalam menjelajahi pemahaman yang mendalam terhadap cara efektif mengintegrasikan pendekatan kebajikan dalam konteks pendidikan moral, serta sejauh mana relevansinya dalam merespons tuntutan dan dinamika zaman modern.
Sebagai catatan akhir, filosofi etika kebajikan merujuk pada landasan filosofis atau prinsip-prinsip dasar yang membentuk pendekatan etis yang dapat dipertanggungjawabkan. Filosofi ini melibatkan pemahaman mendalam tentang kebajikan sebagai nilai-nilai moral yang diupayakan dan dikembangkan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan etis.
Dalam dinamika zaman modern yang kompleks dan berubah dengan cepat, pertanyaan mengenai bagaimana filosofi etika kebajikan dapat diintegrasikan dan diterapkan guna memenuhi kebutuhan moral masyarakat menjadi sangat relevan. Klarifikasi filosofis diperlukan untuk memastikan bahwa pendekatan kebajikan tidak hanya dapat dipahami dengan jelas tetapi juga mampu merespons dinamika zaman modern secara tepat.
*********************************