Oleh Agus Widjajanto
PADA tanggal 11 Maret setiap tahun, kita selalu memperingati hari lahirnya Supersemar dengan segala hiruk-pikuknya. Peringatan Supersemar yang dikatakan hiruk-pikuk ini sangat tergantung dari sudut pandang orang dan siapa yang menilainya. Mulai dari sudut pandang politik karena lahirnya pemerintahan Orde Baru, maupun dari sudut pandang sosial ekonomi dan keamanan. Setelah lahirnya Orde Baru pemerintah saat itu oleh Presiden Soeharto dibentuk Yayasan Supersemar yang tujuannya untuk menunjang pendidikan nasional dengan memberikan bantuan dana beasiswa bagi para sarjana baik strata satu, strata dua, hingga strata tiga (doktor).
Terlepas dari berbagai penilaian itu semua, fakta yang terjadi adalah Yayasan Supersemar berkontribusi yang sangat luar biasa dalam memajukan bangsa melalui pendidikan. Pada zaman ini kita bisa lihat hasil yang diberikan oleh Yayasan Supersemar kepada bangsa dan negara ini. Yayasan Supersemar yang dibentuk oleh Presiden RI Ke-2 Soeharto pada tahun 1974, berdasarkan keterangan dari mantan Ketua Umum Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar, (KMK PBS) Taufiq Rachman, Yayasan Supersemar telah memberikan beasiswa dan bantuan pendidikan kepada lebih dari dua juta mahasiswa di Indonesia dari berbagai jenjang baik S1, S2, maupun S3. Lebih dari seribu alumni penerima beasiswa telah tercatat sebagai profesor atau guru besar. Beberapa nama yang bisa disebut antara lain, Prof. Dr. Nasarudin Umar, Prof. Dr. Mahfud MD mantan Menkopolhukam, Prof. Dr. Yohanes Surya, fisikawan yang mendirikan universitas unggulan, Prof. Dr. Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Ketut Surajaya, guru besar Universitas Indonesia, dan ribuan lagi yang tidak terhitung hingga saat ini. Mereka telah mengabdi dalam bidangnya, sesuai keilmuwannya yang memberikan sumbangan kemajuan bangsa. Data dan fakta ini tidak bisa kita pungkiri.
Pemerintah Indonesia seharusnya memberikan penghormatan dan apresiasi sebagai rasa terimakasih telah membantu mencerdaskan bangsa ini. Bukan sebaliknya, malah dijadikan masalah hukum karena bergantinya rezim kekuasaan yang terkesan segala yang sudah lalu adalah tidak bagus. Padahal yang benar adalah bila ada temuan yang tidak baik segera dibenahi dan ambil kebijakan perbaikan, bukan memberangus segala kebijakan yang sudah berjalan dengan baik. Dan yang lebih spektakuler lagi adalah 70 persen dari rektor di berbagai universitas negeri di Indonesia adalah alumni penerima beasiswa Supersemar. Fakta ini harus membuka mata pemerintah saat ini.
Dua juta penerima beasiswa Supersemar itulah penggerak, pendorong Indonesia ke depan yang bisa kita lihat dan nikmati hasilnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah yang cerdas itu syarat mutlak bagi sebuah bangsa yang maju yang akan mendidik dan melahirkan jutaan bahkan puluhan juta pelajar, mahasiswa di negeri ini. Spirit seperti inilah yang dicita-citakan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 kita, yaitu, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial. Untuk mencapai cita cita proklamasi tersebut hanya dengan cara adanya pendidikan yang memadai dan merata untuk menelurkan dan mendidik manusia-manusia unggul agar bisa berpikir dan berwawasan yang luas, berkarakter orang Indonesia untuk mencapai perdamaian abadi seperti yang tertulis dalam pembukaan dalam kontitusi kita.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, dalam catatan hukum dari berbagai sumber, pada tanggal 11 Oktober 1999 Jaksa Agung Andi M Ghalib, telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan karena dianggap telah terjadi penyalahgunaan wewenang dana negara yang dilakukan Presiden Soeharto melalui ketujuh yayasan yang dimilikinya namun dinyatakan tidak terbukti.
Akan tetapi pada saat Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur), ia memerintahkan dibukanya kembali penyidikan lewat Kejaksaan Agung dan menetapkan Presiden Soeharto jadi tersangka. Walaupun proses persidangannya dihentikan karena beliau sakit, dan tidak tuntas. Namun hal itu ditindaklanjuti lagi melalui Kejaksaan Agung RI pada pemerintahan selanjutnya yakni Pemerintahan Jokowi.
Kejaksaan Agung melakukan gugatan perdata terhadap Yayasan Supersemar, sesuai keterangan juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu, Achmad Guntur, yang dianggap telah terjadi penyelewengan dana beasiswa. Dimana telah disalurkan dan atau dipinjamkan kepada pihak ketiga dalam bisnis yang dalam gugatan tersebut pada tanggal 19 November 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi, yang menurut Kejaksaan, dimiliki Yayasan Supersemar, yang terletak di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, sebagai bagian dari pelaksanaan putusan Mahkamah Agung terhadap Yayasan Supersemar.
Mirisnya, Gedung Granadi kemudian diketahui bukan merupakan aset dan milik dari Yayasan Supersemar, tetapi milik dari Yayasan Dakab (Dana Abadi Kharya Bhakti). Dengan demikian secara hukum acara walaupun dalam status sita, tidak mungkin bisa dieksekusi.
Masa pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, banyak sekali yang telah dicapai, dimana Indonesia sebagai Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi melebihi Korea Selatan, Jepang dan Singapura. Adanya pembangunan SD Inpres dan biaya pendidikan yang murah, kebutuhan akan pangan, papan, dan sandang, dengan swasembada berasnya, dengan Repelita-nya baik jangka pendek, menengah dan panjang.
Apabila pencapaian Pemerintahan Orde Baru saat itu dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya pada masa reformasi, siapapun presiden selanjutnya dan semua pihak punya komitmen maka Indonesia sudah jadi negara maju setara dengan Jepang dan Korea Selatan. Dengan penguasaan teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia yang adaptif, berkualitas, Indonesia tidak lagi terjebak politik praktis yang mengarah kepada penghancuran pengaruh rezim sebelumnya, yang dianggap sebagai warisan yang jelek. Padahal kita bisa rasakan sendiri saat ini stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi lebih baik secara merata saat masa lalu.
Jangan jadikan politik hukum untuk mematikan dan memundurkan pencapaian pembangunan yang telah dilakukan oleh para pemimpin masa lalu. Jangan karena kepentingan politik praktis lalu masyarakat-lah yang jadi korban ketidakàdilan yang sesungguhnya. Adanya hari ini karena adanya masa lalu. Alangkah lebih indah seandainya dulu masa masa permulaan reformasi, segala program Orde Baru bisa dilanjutkan seperti halnya program-program masa Pemerintahan Joko Widodo yang akan dilanjutkan oleh pemerintahan kedepan dari Prabowo Subiyanto dab Gibran Raka Buming Raka.
Tentu rakyat akan lebih nyaman, lebih makmur, dan pembangunan telah melaju lebih tertata, melalui Repelita dan GBHN dimana negara dan pemerintahan punya petunjuk atau kompas yang akan dicapai ke depan. Sebagai bangsa timur yang punya karakteristik unggah-ungguh, sopan santun, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun cara berpolitik yang seharusnya sebagai slogan ke-Indonesiaan, apakah kita pantas disebut sebagai bangsa yang berjiwa dan karakter Pancasila? Sebab masih ada dikotomi, dan ganjalan pada politik masa lalu yang lalu dijadikan alasan untuk melakukan politik hukum.
Padahal sudah jelas terbukti bermanfaat bagi generasi saat itu, yang akan menerima estafet kememimpinan masa kini, seperti halnya keberadaan Yayasan Supersemar yang telah melahirkan ribuan guru besar, dan jutaan sarjana, baik S1 maupun S2, yang saat ini menjadi soko gurunya pendidikan yang akan melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa. Apakah kita akan melupakan jasa itu kah ? Mari kita hargai jasa para pahlawan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu ingat dan menghargai pahlawannya.
Sejahtera dan adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi negeriku , yang telah berkorban para pendiri bangsa ini dengan susah payah, darah keringat, air mata, telah engkau sumbangkan demi kami anak-anak bangsa kedepannya.
——————————