Di sebuah sekolah SMP di pinggiran kota, terdapat satu pohon rambutan besar yang tumbuh rindang di halaman samping. Buahnya lebat, merah menyala ketika musim panen tiba. Pohon itu merupakan kebanggaan sekolah dan sering dipandang oleh para siswa dengan rasa penasaran. Akan tetapi, ada satu aturan tegas dari kepala sekolah: “Siapa pun tidak boleh memetik rambutan tanpa izin.” Aturan itu sudah seperti hukum tak tertulis di kalangan siswa, tetapi seperti halnya godaan, tidak semua orang bisa menahan diri.
Suatu siang selepas jam pelajaran, Toni duduk bersama empat temannya: Roni, Jono, Anto, dan Ignas. Mereka memandang pohon rambutan itu dengan rasa lapar, bukan karena belum makan, tetapi karena buah itu tampak begitu bagus menggoda.
“Rasanya nggak ada salahnya kalau kita ambil beberapa saja,” bisik Roni sambil menyikut Toni.
“Iya, cuma beberapa. Lagian nggak ada yang bakal tahu,” tambah Jono.
Toni sempat ragu. Dia memandang teman-teman satu per satu. Tapi akhirnya, dorongan mencoba dan solidaritas pada teman-teman mengalahkan keraguannya.
“Ayo, cepat! Sebelum ada yang lihat,” ujar Anto sambil bergegas menuju pohon.
Dengan cekatan, Ignas dan Jono memanjat pohon. Toni dan Roni berjaga di bawah, sementara Anto sibuk mengumpulkan rambutan yang dilempar ke tanah. Gelak tawa kecil terdengar di antara mereka, disertai bisikan panik setiap kali ada suara langkah kaki di dekat halaman. Bagi mereka, petualangan itu terasa menyenangkan.
Namun demikian, mereka lupa bahwa ada satu sosok yang sedang berjalan di sekitar halaman depan sekolah. Romo Budi, seorang Pastor Paroki yang kebetulan datang berkunjung, melihat dengan jelas aksi kelima anak itu. Dari kejauhan, Romo Budi berhenti, menyilangkan tangan, dan menghela napas. Beliau tidak marah, tetapi merasa perlu memberi tahu pihak sekolah agar anak-anak itu bisa belajar dari kesalahannya.
Keesokan harinya, suasana sekolah terasa berbeda bagi Toni dan teman-temannya. Satu per satu nama mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah. Detak jantung Toni berdegup kencang saat melihat teman-temannya kembali dari ruangan itu dengan wajah lesu.
“Toni,” panggil suara tegas dari pengeras suara.
Toni berdiri. Rasanya kakinya seperti dipaku ke lantai. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju ruangan kepala sekolah. Di dalam, ia melihat Romo Budi dan Kepala Sekolah, Pak Darmawan, duduk menatap dirinya dengan serius.
“Toni,” ujar Pak Darmawan, “kemarin Romo Budi melihat ada anak-anak yang memanjat pohon rambutan di halaman belakang. Apakah kamu tahu siapa saja yang terlibat?”
Toni terdiam. Kepalanya menunduk. Ia tahu, teman-temannya sudah dipanggil sebelumnya, tetapi tidak ada yang menyebut siapa pun. Mereka semua berusaha menutupi satu sama lain. Namun, Toni merasa ada yang salah jika terus berbohong. Dengan berat hati, ia mengangkat wajah dan berkata lirih.
“Saya ikut, Pak. Kami berlima.”
Pak Darmawan dan Romo Budi saling bertukar pandang. Romo Budi tersenyum tipis, sementara kepala sekolah menghela napas panjang.
“Siapa saja, Ton?” tanya Pak Darmawan lagi.
“Saya, Roni, Jono, Anto, dan Ignas,” jawab Toni.
Sepulang dari ruangan itu, keheningan menyelimuti lima anak tersebut. Teman-temannya sempat merasa gelisah dan kecewa karena nama mereka terbongkar. Namun, di sisi lain, mereka tahu bahwa cepat atau lambat semuanya akan terungkap. Roni, yang paling pertama bicara, akhirnya memecahkan keheningan.
“Udahlah, kita memang salah kok. Kita juga nggak boleh nyalahin Toni,” ujarnya pelan.
Jono menambahkan, “Iya, lagi pula cuma karena rambutan, kita hampir bikin masalah besar. Mending kita minta maaf.”
Hari berikutnya, mereka berlima menghadap kepala sekolah bersama-sama. Dengan tulus, mereka meminta maaf kepada Pak Darmawan dan Romo Budi. Tidak ada hukuman berat, hanya nasihat panjang tentang kejujuran dan tanggung jawab.
“Kalian tahu, pohon itu bukan sekadar pohon. Itu simbol tanggung jawab. Sekecil apa pun tindakan kita, pasti ada konsekuensinya,” ujar Romo Budi dengan lembut. “Tetapi saya bangga karena kalian akhirnya mau mengakui kesalahan.”
Waktu berjalan, insiden pohon rambutan itu menjadi kenangan yang sering mereka bicarakan sambil tertawa kecil di bangku sekolah. Toni dan teman-temannya belajar banyak dari kejadian itu. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang lebih bertanggung jawab, meskipun tentu saja kenakalan kecil tetap ada di sana-sini. Namun, satu hal yang pasti, yakni kejujuran dan solidaritas mereka tidak pernah berubah.
Beberapa tahun kemudian, ketika mereka sudah lulus dan tumbuh dewasa, Toni mengenang momen itu sebagai salah satu titik balik dalam hidupnya. Dia sadar bahwa keberanian mengakui kesalahan merupakan langkah awal menuju kedewasaan.
Saat reuni sekolah diadakan, mereka berlima berkumpul di bawah pohon rambutan yang sama. Pohon itu masih berdiri kokoh, meski sudah berkurang buahnya. Toni menepuk bahu Roni dan tertawa kecil.
“Gara-gara rambutan ini, kita jadi sadar arti tanggung jawab.” “Iya, untung waktu itu ada Romo Budi,” timpal Ignas sambil tersenyum gembira.
Romo Budi, yang kebetulan hadir di reuni, hanya tersenyum melihat mereka. Dalam hati, ia merasa bangga melihat anak-anak yang dulu pernah memanjat pohon rambutan kini tumbuh menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Terkadang, pelajaran terbesar memang datang dari hal-hal kecil seperti buah rambutan di halaman sekolah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~