Oleh Agus Widjajanto
Seperti kita ketahui bersama, dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan tonggak dari kemerdekaan sebuah bangsa dan dibentuk serta disyahkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bernama Undang-Undang Dasar 1945 pada tgl 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia merdeka, yang merupakan berdirinya negara yang mana telah dipersiapkan sejak terbentuknya BPUPKI (Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang telah bersidang dan merumuskan dasar negara dan dilanjutkan oleh panitia kecil yang bernama PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk menyusun Undang-Undang Dasar Negara, menandai Berdirinya NKRI sebagai negara yang berdaulat.
Dan seperti yang sudah kita ketahui bersama, kemerdekaan Indonesia, sudah dipersiapkan oleh para pendiri bangsa, yang saat itu, berkecamuk terjadi Perang Dunia II, dimana situasi dan kondisi geo politik saat itu adalah pertarungan antara Fasisme, Leninme (Sosialisme), Liberalisme , dimana Fasisme dari Hitler Jerman mengalami kekalahan dan situasi politik dan keamanan yang saat itu wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diduduki oleh tentara kekaisaran Jepang, dengan komando tertinggi di Asia Tenggara berada di Burma.
Dan setelah Jepang menyerah kepada sekutu, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris, para pendiri bangsa memproklamirkan Kemerdekaan.
Situasi dan kondisi emosional saat itu begitu menggeloranya semangat untuk terbebas dari bangsa jajahan dan situasi global saat itu yang dikuasi oleh faham Kapitalisme yaitu aliran liberal yang diwakili oleh sekutu pemenang dari Perang Dunia ke-II, dan Leninisme (Sosialisme) yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu, tentu harusnya sedikit banyak berpengaruh atas terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia, namun ternyata tidak demikian yang bisa kita lihat hingga saat ini, para pendiri bangsa justru membentuk dasar negara dan hukum dasarnya dalam Kontitusi tertulisnya dan mengesahkan lambang negara, Garuda Pancasila yang diresmikan pada tanggal 11 Februari 1950 saat sidang kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 1951 melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri pada saat itu , dimana mengambil dan mengadopsi dari peninggalan para leluhur bangsa asli Indonesia, dengan mengutip bait tulisan dari Kitab Kakawin Sutasoma, karangan Empu Tantular pada masa kejayaan Imperium Kerajaan Majapahit.
Dengan demikian dapat dipahami dan dipastikan pola pikir, kebersihan dan kebeningan hati, sifat tenggang rasa dan toleransi dari para pendiri bangsa, telah memahami betul bahwa bangsa ini dibentuk dan diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa, justru berawal dari segala perbedaan untuk mencapai tujuan bersama.
Prof Dr I Gde Pantja Astawa SH.MH., Guru besar Hukum Tata Negara UNPAD Bandung, menuturkan, sebetulnya slogan “Bhineka Tunggal Ika” dipetik dari karya Mpu Prapantja yang ditulis dalam Lontar Negara Kertagama yang lengkapnya berbunyi : ” Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” yang mengabstrasi keberadaan Tuhan: walaupun Tuhan ketika menjalankan Kuasanya berwujud kedalam tiga fungsi (Bhineka) yaitu :
- Menciptakan dunia ( disebut Brahma yang disimbolkan dengan huruf A)
- Memelihara dunia beserta isinya ( disebut Wisnu yang disimbolkan dengan huruf U ) dan yang ke- 3. Melebur dunia (disebut Ciwa – yang disimbolkan dengan huruf M) tetapi Tuhan tetap satu Tunggal dan Tunggal Ika yang disimbolkan dengan huruf dan kata “OM ” sebagai gabungan dari simbul huruf: ( A – U – M ) yang ditafsirkan dengan OM ) karena tidak ada (Tan Hana) kebenaran (Dharma), lalu digabung Tan Hana Dharma Mangrwa yang artinya satu jua , adanya kebenaran yaitu Tuhan sebagai kebenaran sejati. Jadi sebenarnya Bhineka Tunggal Ika ada juga tertulis dalam Kitab Negara Kertagama, dan justru lebih lengkap dari pada Kitab Sutasoma itu sendiri.
Kitab Sutasoma dilakukan gubahan (ditulis) sekitar tahun 1365 hingga tahun 1369 Masehi saat Imperium Kerajaan Majapahit mengalami jaman keemasan yang dipimpin oleh raja Hayam Wuruk, yang saat itu sudah berhasil menyatukan Nusantara sebagai negara Federasi, sesuai Sumpah Amukti Palapa dari Maha Patih Gajah Mada.
Kitab Sutasoma ditulis oleh empu Tantular dalam aksara huruf Bali dan berbahasa Jawa Kuno atau Sansekerta, dimana kitab Sutasoma ini boleh dibilang unik dalam sejarah sastra Jawa, karena bisa dikatakan merupakan satu satunya Kakawin ( karya sastra) yang bersifat Epis yang bernafaskan Agama Bhuda Mahayana. Bahwa isi dari kitab Kakawin Sutasoma adalah menceritakan tentang perjalanan dari pangeran Sutasoma yang tidak mau diangkat jadi raja, lebih memilih jalan pengembaraan (yang dalam masa abad ke 18 Masehi mirip dengan Kitab Chentini) yang dalam pengembaraan tersebut banyak menjumpai kejadian kejadian yang penuh dengan hikmah, yang pada intinya sangat penting untuk selalu menjaga keteguhan dan kesucian hati, selalu rendah hati (adap asor), mempunyai sifat tenggang rasa dan toleransi atas segala perbedaan dalam agama dan keyakinan dari sesama.
Bahwa kalimat Bhineka Tunggal Ika dari kitab Kakawin Sutasoma, dikutip oleh para pendiri bangsa yang merupakan semboyan di lambang negara. Kutipan frasa Bhineka Tunggal Ika terdapat dalam Kakawin Sutasoma pada Pupuh 139 bait ke-5 yang bunyi lengkapnya adalah rwaneka dhatu winuwus bhuda, wiswa bhineka rakwa ring apan kena parwarosan mangka ing jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa dalam bait tersebut dikatakan bahwa meskipun berkeyakinan antara Bhuda yang beraliran Mahayana dengan Siwa adalah beda tapi sejatinya tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua. Yang apabila ditafsirkan dalam bahasa modern saat ini, bahwa walaupun berdasarkan beda keyakinan baik perbedaan, suku, ras, agama, politik tapi tetap satu ( tunggal ) karena sesungguhnya tidak ada pengabdian yang abadi kecuali kepada Tuhan yang Maha Esa ( Tan Hana Dharma Mangrwa), yang mengajarkan kasih sayang atas sesama.
Bahwa benar apa yang dikatakan oleh Satrawan Modern Pramudya Ananta Toer, bahwa menulis adalah untuk mencapai keabadian, karena tanpa tulisan tiada diketahui akan sejarah bangsa ini dan bangsa-bangsa lain di dunia, dengan tiada tulisan maka akan hilang jejaknya dari sejarah. Bahwa kita harus bersyukur leluhur kita, nenek moyang kita adalah para kampiun sastrawan pujangga kelas dunia, yang bisa dikutip dari karya-karyanya, yang oleh para pendiri bangsa harus diakui punya semangat dan wawasan kebangsaan dan rasa kemanusiaan yang selalu memanusiakan manusia, jauh melampaui jamannya hingga menjangkau ratusan tahun ke depan, telah mengadopsi karya luhur nenek moyang dalam dasar negara Pancasila, Kontitusi tertulis negara yaitu UUD 1945 dan lambang negara Garuda Pancasila, Bhineka Tunggal Ika.
Fenomena terkini dunia seakan dalam genggaman dimana batas negara antara yang satu dengan yang lain seakan sangat absurd (kabur) karena adanya kemajuan Tekhnologi Informasi yang begitu pesat, yang setiap manusia apapun bangsa, ras, agama dan strata sosial bisa mengakses informasi dan begitu cepatnya informasi segala kejadian di belahan bumi manapun, hal ini tidak bisa kita bayangkan sebelumnya pada masa medio tahun 1950-an, hingga 1970-an dimana media sebagai alat informasi hanya lewat radio dan media cetak, yang sangat terbatas serta terlambat memberikan informasi kepada masyarakat. Segala kemajuan tekhnologi tentu ada ekses yang ditimbulkan khususnya kepada generasi muda bangsa, yang telah dengan mudahnya meniru budaya asing yang dianggap lebih simpel dan modis, yang berakibat generasi milenial telah kehilangan jati diri dan sangat minim memahami sejarah dan warisan leluhur bangsa ini, yang dahulu dibelahan dunia belum mengalami kemajuan budaya dan disini di Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya telah mengalami kemajuan peradaban sebuah bangsa yang besar. Akan tetapi akhir-akhir ini yang lagi ramai di media sosial adalah adanya klaim secara sepihak dari keturunan bangsa tertentu, yang menyatakan bahwa Indonesia ada dan menjadi negara mayoritas Moeslim adalah karena peran dari para leluhur-leluhur mereka dalam mengislamkan Jawa khususnya dan Indonesia umumnya, bahkan ide Indonesia merdeka, Bendera Merah Putih adalah karena upaya mereka yang sekarang merasa sebagai keturunan yang lebih ningrat secara keagamaan, yang oleh beberapa oknum telah merendahkan kaum Agamawan pribumi sebagai pemilik dan keturunan dari leluhur leluhur negeri ini. Mereka tidak paham akan sejarah dan karakteristik dari masyarakat Asli Indonesia, yang terdiri berbagai suku dan ratusan bahasa daerah, ratusan adat istiadat, yang awalnya tercerai berai karena politik imperialisme/kolonialisme Eropa, maka para pendiri bangsa (founding father) kita sadar betul akan selalu terulang bentuk dari penjajahan di dunia ini, baik secara ekonomi, politik, budaya dan agama hingga dalam membentuk dasar negara dan hukum ketatanegaraan kita oleh para pendiri bangsa, dalam menemukan dan membentuk dasar negara sebagai falsafah bangsa serta pandangan hidup bangsa (Weltanschauung) dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, justru menggali dari nilai-nilai luhur dari para leluhur negeri ini, baik melalui hukum adat yang tidak tertulis maupun manuskrip sejarah tertulis, salah satunya adalah Kitab Kakawin Negara Kerta Gama.
Dalam auto biografinya Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia yang juga proklamator kemerdekaan Republik Indonesi, dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat pada halaman 20 menulis :
“Aku tidak mengatakan ,bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang dikerjakan “hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah”.
Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama, yang berbahasa Jawa Kuno ditemukan pertama kali di pulau Lombok oleh peneliti Belanda pada tahun 1894 Masehi, kitab tersebut ditulis oleh Mpu Prapantja, dimana oleh UNESCO diakui bahwa “Nagara Kertagama memberikan kesaksian pemerintahan seorang raja pada abad ke-empat belas Masehi di Indonesia, dimana ide-ide modern keadilan sosial, kebebasan beragama, keamanan pribadi dan kesejahteraan rakyat sangat dijunjung tinggi”.
Bahwa Naskah Kakawin Nagara Kertagama telah diakui oleh kalangan Internasional dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of the World UNESCO.
Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara, berjalan begitu runtut dari abad-ke-abad. Sebelum manusia penjelajah Eropa menemukan benua Amerika dan benua lain, pada milenial abad 0 (nol) sampai abad pertama sebenarnya nenek moyang bangsa ini sudah mengarungi samudera, dengan kapal-kapal penjelajah dari kayu jati, hingga Taiwan, Afrika Timur, Selandia Baru dan Madagaskar . Jauh sebelum Imperium Majapahit maupun Sriwijaya dan Mataram Hindu ada, sudah melakukan penjelajahan untuk berhubungan niaga dengan manusia di seberang lautan samudera. Bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara adalah bangsa yang silih berganti datang dan melakukan hubungan. Pada awalnya bangsa Nusantara ini mendapat gelombang imigrasi dari Yunnan , China bagian Selatan (Teori Open Heymar, mencairnya es, tenggelamnya benua Sunda (Sunda Land), bangsa yang datang dari Yunnan ini kemudian berakulturasi dan saling bertukar budaya dengan penduduk lokal yang lama mendiami Nusantara. Sejarah bangsa ini semakin berkembang cepat setelah mereka belajar sistem tulisan dari bangsa India yang menyebut dirinya bangsa Bharata, karena letak India disebelah barat Nusantara. Hal ini berakibat adanya tulisan tulisan dari peninggalan leluhur bangsa kita, berupa temuan-temuan prasasti dari masa kerajaan Kutai, Taruma Negara di Jawa Barat, Sriwijaya di Jambi dan Palembang serta Mataram Hindu dan Kalingga Jepara yang mempengaruhi corak kerajaan di Sulawesi dan Kalimantan serta Philippines.
Dari uraian teks Kakawin Nagara Kertagama, para ahli dapat merekonstruksi keadaan sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan pada saat itu, yang penuh toleransi bisa berdampingan penuh kekeluargaan, yang menunjukan bahwa Majapahit saat itu betapa maju dan luas serta tingginya kebudayaan dan peradaban yang dicapai sistem sosial dan sistem kekuasaan yang demikian luas wilayah kekuasaan geografinya, menunjukan bahwa Majapahit mengalami masa keemas an dan kegemilangan, dimana bangsa Nusantara ini, mengenal siklus kegemilangan dan keemasan yang gemilang setiap 700 tahun.
Nilai nilai dari Pancasila sendiri tertulis dalam Kakawin Nagara Kertagama, pada Pupuh ke-43 ayat 2 yang berbunyi :
“Nahan hetu narendra bhakti RI padha Sri Sakya sinhasthiti, yatnagegawhan i Pantjasila kertasansekerta rabishe kakrama , lumra nama jinabhiseka nira San Sri jnana bajres’ wara , tarkka wyakaranadhisastran inaji Sri Natha wijnanulus”.
Artinya :
Alasan sang Raja mantab berbakti pada kaki Sri Singha Sakya, karena berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama, diresmikan dalam tata upacara penobatan. Nana gelarnya menurut penafsisan adalah Sri Jnana Bajreswara, kebijaksanaan, hingga ilmu kesempurnaan/ ketuhanan tinggi karena memegang teguh tata cara adat, kitab suci agama dan kepercayaan luhur.
Dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama juga menulis, bunyi dari sumpah amukti Palapa dari Maha Patih Gajahmada, yang saat itu bercita-cita akan menyatukan Nusantara, agar bisa terjaga kehidupan yang tentram damai mencapai kesejahteraan bersama, dalam satu naungan panji-panji Majapahit yang isinya adalah:
“Lamun huwus kalah Nusantara Isun Amukti Palapa, Lamun huwus kalah ring gurun, ring seran, ring tanjung pura, ring Haru, ring, Pahang, ring Dompo, Bali, Tumasik, Sunda, Palembang, Samana ingsun Amukti Palapa”.
Kepulauan Nusantara selalu disertai matahari sepanjang hari, yang diungkapkan penuh kata hati yang menunjuk pada hati, jiwa, sukma, atma, rohani kita. Kakawin Nagara Kertagama ditulis begitu indah dan hening dimasa kejayaan Majapahit, dimasa Raja Hayamwuruk, dari seorang maestro pujangga yaitu Mpu Tantular, beliau sendiri adalah penganut agama Bhuda Mahayana, akan tetapi menulis kisah raja-raja dan negara yang agama resminya Hindu Siwa, dengan politik hukum bercorak Hindu Siwa, disinilah kehebatan seorang Mpu Prapantja, karena dengan demikian karya pujangga beliau bisa memberikan dan meninggalkan catatan sejarah serta karya sastra tinggi yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya, yaitu lahirnya nilai-nilai Pancasila yang pada tanggal 18 Agustus 1945 dijadikan sebagai dasar negara. Yang merupakan falsafah hidup serta jati diri bangsa Indonesia.
Bahwa bentuk toleransi dari Mpu Prapanca ini , yang seorang penganut Budha tapi berkarya secara hening , rame ing gawe sepi ing pamprih , berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang diidentikan dengan Kerajaan Hindu , bentuk toleransi ini menjadi sangat luar biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular , yang menyatakan : Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, yang bermakna ” Walaupun berbeda beda namun satu jua , tidak ada darma , kebaikan dan kebenaran yang mendua.
Bangsa Indonesia yang dulu disebut Nusantara adalah anak cucu dan generasi penerus dari Majapahit ini sebagai bangsa Nusantara dengan peradapan budaya yang sudah adi luhung ( sangat tinggi ) yang bagi bangsa ini , sebelum bangsa lain berbudaya, dan menjelajahi dunia ditemukan benua benux baru, dan bangsa eropa ( portugis , Belanda ) mencari rempah rempah sebagai bahan penghangat tubuh untuk iklim dingin , berdasarkan catatan dan penulisan penjelajah Portugis pada pertengahan abad ke enam belas, yaitu Diego de Couto dalam buku Da Asia yang terbit pada tahun 1645 Masehi , menyebutkan orang Jawa lebih dahulu berlayar sampai ke tanjung harapan , Afrika dan Madagaskar , Diego De Couto mendapati penduduk tanjung harapan awal abad ke 16 berkulit coklat seperti orang Jawa, seperti yang dikutip oleh Anthony Reid dalam buku sejarah Modern awal Asia Tenggara , dan hal itu diperkuat dengan peninggalan arkeologi berupa relief pada candi Borobudur yang tergambar relief kapak Jung Jawa yang berlayar mengelilingi samudera untuk perdagangan dan ekspansi politik saat itu , yang merupakan kapak termodern pada jaman nya, dari situlah bisa diketahui bahwa bangsa nenek moyang Indonesia sudah lebih dahulu punya peradaban dan budaya yang Adi luhung, yang sudah terbiasa hidup rukun damai, berdasar musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perbedaan dan masalah yang dihadapi, maka jangan ajari kami cara berdemokrasi , yang selalu dengan slogan hak asasi manusia kebebasan berekpresi dan berpendapat , karena UNESCO sendiri telah mengakui kitab Warisan dari nenek moyang kami yakni Kakawin Nagara Kertagama merupakan warisan dunia, yang mengajarkan ide ide modern keadilan sosial , kebebasan beragama, keamanan pribadi , dan kesejahteraan rakyat yang dijunjung tinggi dalam konstitusinya sejak jaman dahulu kala hingga lahir nya Indonesia sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945.
Demikian juga menyangkut aturan hukum yang diterapkan pada masyarakatnya, sebelum bangsa Eropa mengkodifikasi hukum pidana sebagai hukum negara dalam mengatur tatanan masyarakatnya, kerajaan Kalingga sudah menulis dan menciptakan dogma aturan tatanan hukum pidana yang dinamakan Kitab Kalingga Dharma Sastra yang terkenal dengan potong tangan dan ibu jari kaki, dalam menegakan aturan hukum masyarakatnya seperti yang tertulis dari laporan penjelajah Tiongkok pada jaman Dinasti Tang pada medio tahun 648 hingga tahun 674 Masehi, saat berdirinya Kerajaan Kalingga yang terletak di lereng gunung Muria, bagian Utara, yang saat ini masuk Kabupaten Jepara, Kecamatan Keling, Jawa Tengah.
Harus kita akui para pendiri bangsa kita yang saat itu para pemuda terpelajar hasil didikan pendidikan Barat, punya komitmen dan pola pikir dengan jangkauan jauh ke depan melampaui jamannya yang telah menciptakan Dasar Negara dan hukum dasar bagi soko guru berdirinya sebuah negara, justru menggali dari nilai nilai luhur peninggalan tulisan sastra, dari pujangga-pujangga nenek moyangnya pada masa kejayaan Majapahit mencapai keemasan, rasa nasionalisme dan kebangsaannya begitu menggelora, yang perlu jadi suri tauladan bagi generasi muda sekarang yang mulai terkikis oleh budaya asing yang berakibat terjadi degradasi moral dan melemah jiwa nasionalismenya dengan adanya kemajuan tekhnologi informasi dan digital yang seolah-olah tidak ada lagi batasan sebuah negara dengan negara lain. Ini yang perlu kita renungkan bersama agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa, yaitu keindonesiaan.
Sangat disayangkan dimasa Reformasi justru bukan di perbaiki apa yang kurang akan tetapi dirombak habis, yang hasilnya bisa kita lihat bersama kita telah kehilangan frasa kebangsaan itu sendiri sebagai bangsa yang adi luhung, telah kehilangan ruhnya keindonesian sebagai bangsa timur yang berdaulat, mulai diletupkan segala perbedaan ini, menjadi komoditas politik, mulai ada penjajahan budaya, menghilangkan bukti-bukti kejayaan para leluhur bangsa pada masa lalu, penjajahan menyangkut keyakinan dan yang terang penjajahan sistem baik sistem ketatanegaraan menyangkut demokrasi maupun sistem ekonomi secara global.
Semoga Allah menolong kita semua, bangsa dan negara ini, untuk mencapai kejayaannya.
*****************************
Penulis adalah Praktisi Hukum di Jakarta, Pemerhati dan Penulis Sosial Budaya