• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, Mei 25, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Fenomena “Anak Seorang Ibu”  dan Pemenuhan Hak Anak

by Redaksi
Januari 18, 2025
in OPINI
0

Ket. Foto diambil dari google

0
SHARES
17
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

 

Oleh Hildegardis M Kasi

 

 

Isu gender dan anak merupakan masalah utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia. Walaupun  sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, namun perlindungan  bagi perempuan dan anak dari berbagai  tindakan eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan  saat ini masih belum optimal, sehingga pelayanan dan penanganan  kepada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan juga masih rendah.  Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah status hukum anak di Nagekeo yang tercatat sebagai “anak seorang ibu”  yang artinya anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah baik menurut hukum agama maupun hukum negara.  Terdapat 2.408 anak Nagekeo yang tercatat sebagai “anak seorang ibu” menjadi pokok perhatian penulis di tengah pembangunan kualitas hidup manusia yang diupayakan terus menerus oleh pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik.

Fenomena persoalan ini sesungguhnya merupakan sebuah ketertinggalan peradaban. Tidak dapat dipungkiri ketertinggalan ini disebabkan oleh berbagai  persoalan pelik yang seringkali berkaitan satu dengan yang lainnya. Persoalan paling penting  yang menghalangi  upaya peningkatan kualitas hidup  yang setara adalah pendekatan pembangunan  yang mengabaikan isu tentang kesetaraaan gender dan pemenuhan hak anak terutama anak yang menyandang  identitas diri dengan status hukum anak sebagai anak “seorang ibu”. Anak diperhadapkan dengan  banyak kendala administratif di pengurusan dokumen administrasi kependudukan saat memasuki dunia pendidikan maupun dunia kerja. “Anak seorang ibu”  harus menanggung beban bathin dan tekanan psikis di tengah lingkungan pergaulannya dan dituntut untuk memiliki ketahanan mental yang kuat dan tangguh ketika berhadapan dengan kekerasan verbal maupun nonverbal dari orang dan lingkungan sekitar. Belum lagi, persoalan lain seperti budaya dalam bahasa setempat di Nagekeo dinamai sebagai anak “kombe mere”, atau anak “eda komba” atau anak “loza” atau pemahaman masyarakat  lokal yang terkadang  dapat menjadi  faktor penghambat  untuk mencapai kesetaraan gender  dan pemenuhan hak anak terutama hak sipil terkait  status identitas anak. Diperlukan suatu sistem terpadu  dan komitmen  yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk dapat mengatasi isu gender dan anak seperti tersebut di atas.

Kualitas hidup manusia sangat ditentukan sejak usia dini.  Anak merupakan generasi penerus bangsa, pewaris peradaban dan merekalah yang menentukan nasib bangsa ini di masa mendatang. Oleh sebab itu, pemenuhan hak sipil  anak dan perlindungan anak menjadi prioritas dalam pembangunan.

Dari seluruh jumlah penduduk Nagekeo sebanyak 165.098 jiwa, 50,5i persen  di antaranya adalah perempuan dan 49.49 persen laki-laki (data centtre kemendagri, cut off 10 Juli 2024).  Dengan demikian dapat dikatakan  bahwa komposisi penduduk menurut jenis kelamin berimbang. Bila dilihat menurut kelompok umurnya dari jumlah penduduk tersebut, 30,73 persen  atau 50.734 jiwa adalah anak-anak (penduduk usia di bawah 19 tahun) terdiri dari  26.414 anak laki- laki dan 24.320 anak perempuan. Dengan demikian jumla anak yang begitu besar atau lebih dari sepertiga jumlah penduduk  secara keseluruhan, maka peningkatan kualitas hidup anak perlu menjadi perhatian serius. Berinvestasi untuk anak adalah investasi sepertiga lebih pendududuk Nagekeo.

 

Gambaran kondisi perempuan dan anak saat ini menjadi dasar penting bagi penyusunan  kebijakan  yang tepat bagi anak dan perlindungan terhadap kekerasan dan pemenuhan hak anak terutama hak sipil anak. Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat  kekerasan terhadap anak berdampak  terhadap tumbuh kembang mereka.

Pemenuhan hak identitas anak dapat dilihat dari  tingginya kepemilikan akta kelahiran  cakupan anak usia 0-18  tahun  yang memiliki akta kelahiran 98,39 persen pada tahun 2024  (data centre kemendagri, cut off 10 Juli 2024, diolah). Namun terdapat 2.408 anak tercatat sebagai “anak seorang ibu”  sebagai korban atau dampak  dari status hukum perkawinan orang tuanya. Upaya percepatan pemilikan  akta  kelahiran dilakukan melalui:  Pertama, Penetapan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada 24 desember 2013. Kedua, MOU Delapan Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan Anak; Ketiga, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak   Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Percepatan  Kepemilikan Akta Kelahiran.

Status hukum perkawinan orang tua sangat mempengaruhi status anak kaitan dengan hak sipil identitas anak. Anak menjadi korban karena tidak mendapatkan identitas yang utuh dan masa depannya akan mengalami banyak hambatan disebabkan oleh  masih ada kecenderungan calon pasangan suami istri atau calon orang tua di jaman ini yang memilih tinggal bersama sebelum menikah semakin meningkat dari tahun ke tahun meskipun praktik ini dilarang  oleh agama dan bertentangan dengan aturan hukum.  Fenomena hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah malah oleh masyarakat dipandang sebagai hal yang wajar dan di jaman sekarang ketika perubahan sosial dan budaya mulai menggeser pandangan tradisional tentang pernikahan dan hubungan romantis.

Fenomena “anak seorang ibu” dan “kumpul kebo” atau juga yang dikenal dengan istilah cohabitation atau living together yang merujuk pada praktik pasangan yang tinggal bersama dan menjalin hubungan intim tanpa pernikahan yang sah harus juga mulai menjadi perhatian serius berbagai pihak mengingat sangat juga berdampak pada status hukum identitas anak yang dilahirkan dari hubungan kohabitasi.

Bila ditelusuri penyebab maraknya tren kumpul kebo  salah satunya adalah faktor ekonomi, tantangan ekonomi seperti  biaya hidup tinggi dan ketidakstabilan pekerjaan membuat banyak pasangan menunda pernikahan, hidup bersama tanpa ikatan dianggap sebagai slousi praktis untuk menghemat biaya hidup sambil tetap menjalin hubungan intim. Selain itu budaya mahar atau “belis” yang  sangat mahal juga menjadi pemicu  terjadinya kumpul kebo di kalangan pasangan muda dengan ekonomi terbatas. Pasangan muda ini menunda perkawinan secara resmi atau sah sambil mengumpulkan  modal uang mahar atau belis terkumpul dan dapat memenuhi kewajibannya. Hubungan cinta beda agama pada beberapa pasangan yang terlanjur jatuh cinta dan belum mau saling mengalah  karena alasan tertentu  atau keberatan keluarga besar untuk pindah agama  membuat mereka memilih kumpul kebo  sebagai solusi sementara sambil menunggu kesepakatan kedua belah pihak  sehingga bisa melakukan pernikahan yang sah. Kurangnya pemahaman agama, meskipun agama melarang praktik kumpul kebo, namun karena kurangnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai agama membuat sebagian orang mengabaikan larangan itu. Sekularisasi dan penurunan tingkat religiusitas juga berkontribusi pada meningkatnya tren kumpul kebo yang menghasilkan anak mama. Diperkuat lagi dengan lemahnya penegakan hukum membuat pelaku merasa aman dan tidak takut akan konsekuensi hukum dari tindakan mereka dan lagi-lagi anak yang harus menanggung resiko dan akibatnya.

Masalah hukum dan administratif akhirnya harus ditanggung anak hasil di luar perkawinan  yang sah  terutama terkait status anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut  yang akhirnya tidak memiliki status hukum dan hukum perdata dengan ayahnya. Hal ini dapat menimbulkan komplikasi dalam hak warisan, hak asuh dan perindungan hukum bagi sang anak.

Dampak psikologis juga sangat berpengaruh pada anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pergaulan kumpul kebo mungkin mengalami  kebingungan terkait  nilai-nilai keluarga dan pernikahan.  Anak juga beresiko mengalami stigma sosial dan masalah psikologis akibat status hubungan orang tua mereka. Selain itu pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan  bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

Kaitan dengan permasalahan “anak seorang ibu” dan kumpul kebo, kebijakan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak minimal difokuskan pada pencegahan dengan meminimalisir perkawinan yang tidak sah secara hukum agama dan hukum negara pasangan suami istri.  Untuk mengatasi tren kumpul kebo pasangan muda dan anak “seorang ibu” yang semakin marak, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, antara lain; penguatan pendidikan agama dan moral, sosialisasi dan edukasi publik, penguatan peran keluarga, penegakan hukum yang konsisten, pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses terhadap konseling pranikah serta revisi dan harmonisasi peraturan. Pelayanan yang tidak diskriminatif, dan penanganan masalah yang dihadapi anak melalui upaya pengakuan dan pengesahan anak. Prinsip kepentingan terbaik  untuk  anak  senantiasa diupayakan agar semua keputusan, kegiatan, dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak  semata-mata untuk  hak sipil kaitan dengan identitas anak sebagai anak yang menyandang status hukum anak bapak dan mama secara utuh, hak untuk tumbuh kembang  secara wajar tanpa tekanan bathin  serta meningkatnya  perlindungan anak dari tindakan kekerasan, penelantaran, eksploitasi, kehilangan hak waris di tengah budaya patrilineal  dan perlakuan salah lainnya.

—————–

ShareTweetSend
Next Post
Kisah Sederhana Sarat Makna

Kisah Sederhana Sarat Makna

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Kuda dalam Tanda Mata Stephie

Kuda dalam Tanda Mata Stephie

5 tahun ago
Video  Ergo  Sum

– Kertas Putih – Basah -, Sajak-sajak Poya Lucius Hobamata

3 tahun ago

Popular News

  • “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In