Oleh Hildegardis M Kasi
Isu gender dan anak merupakan masalah utama dalam pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, namun perlindungan bagi perempuan dan anak dari berbagai tindakan eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan saat ini masih belum optimal, sehingga pelayanan dan penanganan kepada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan juga masih rendah. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah status hukum anak di Nagekeo yang tercatat sebagai “anak seorang ibu” yang artinya anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah baik menurut hukum agama maupun hukum negara. Terdapat 2.408 anak Nagekeo yang tercatat sebagai “anak seorang ibu” menjadi pokok perhatian penulis di tengah pembangunan kualitas hidup manusia yang diupayakan terus menerus oleh pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik.
Fenomena persoalan ini sesungguhnya merupakan sebuah ketertinggalan peradaban. Tidak dapat dipungkiri ketertinggalan ini disebabkan oleh berbagai persoalan pelik yang seringkali berkaitan satu dengan yang lainnya. Persoalan paling penting yang menghalangi upaya peningkatan kualitas hidup yang setara adalah pendekatan pembangunan yang mengabaikan isu tentang kesetaraaan gender dan pemenuhan hak anak terutama anak yang menyandang identitas diri dengan status hukum anak sebagai anak “seorang ibu”. Anak diperhadapkan dengan banyak kendala administratif di pengurusan dokumen administrasi kependudukan saat memasuki dunia pendidikan maupun dunia kerja. “Anak seorang ibu” harus menanggung beban bathin dan tekanan psikis di tengah lingkungan pergaulannya dan dituntut untuk memiliki ketahanan mental yang kuat dan tangguh ketika berhadapan dengan kekerasan verbal maupun nonverbal dari orang dan lingkungan sekitar. Belum lagi, persoalan lain seperti budaya dalam bahasa setempat di Nagekeo dinamai sebagai anak “kombe mere”, atau anak “eda komba” atau anak “loza” atau pemahaman masyarakat lokal yang terkadang dapat menjadi faktor penghambat untuk mencapai kesetaraan gender dan pemenuhan hak anak terutama hak sipil terkait status identitas anak. Diperlukan suatu sistem terpadu dan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan untuk dapat mengatasi isu gender dan anak seperti tersebut di atas.
Kualitas hidup manusia sangat ditentukan sejak usia dini. Anak merupakan generasi penerus bangsa, pewaris peradaban dan merekalah yang menentukan nasib bangsa ini di masa mendatang. Oleh sebab itu, pemenuhan hak sipil anak dan perlindungan anak menjadi prioritas dalam pembangunan.
Dari seluruh jumlah penduduk Nagekeo sebanyak 165.098 jiwa, 50,5i persen di antaranya adalah perempuan dan 49.49 persen laki-laki (data centtre kemendagri, cut off 10 Juli 2024). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komposisi penduduk menurut jenis kelamin berimbang. Bila dilihat menurut kelompok umurnya dari jumlah penduduk tersebut, 30,73 persen atau 50.734 jiwa adalah anak-anak (penduduk usia di bawah 19 tahun) terdiri dari 26.414 anak laki- laki dan 24.320 anak perempuan. Dengan demikian jumla anak yang begitu besar atau lebih dari sepertiga jumlah penduduk secara keseluruhan, maka peningkatan kualitas hidup anak perlu menjadi perhatian serius. Berinvestasi untuk anak adalah investasi sepertiga lebih pendududuk Nagekeo.
Gambaran kondisi perempuan dan anak saat ini menjadi dasar penting bagi penyusunan kebijakan yang tepat bagi anak dan perlindungan terhadap kekerasan dan pemenuhan hak anak terutama hak sipil anak. Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat kekerasan terhadap anak berdampak terhadap tumbuh kembang mereka.
Pemenuhan hak identitas anak dapat dilihat dari tingginya kepemilikan akta kelahiran cakupan anak usia 0-18 tahun yang memiliki akta kelahiran 98,39 persen pada tahun 2024 (data centre kemendagri, cut off 10 Juli 2024, diolah). Namun terdapat 2.408 anak tercatat sebagai “anak seorang ibu” sebagai korban atau dampak dari status hukum perkawinan orang tuanya. Upaya percepatan pemilikan akta kelahiran dilakukan melalui: Pertama, Penetapan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada 24 desember 2013. Kedua, MOU Delapan Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka Perlindungan Anak; Ketiga, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran.
Status hukum perkawinan orang tua sangat mempengaruhi status anak kaitan dengan hak sipil identitas anak. Anak menjadi korban karena tidak mendapatkan identitas yang utuh dan masa depannya akan mengalami banyak hambatan disebabkan oleh masih ada kecenderungan calon pasangan suami istri atau calon orang tua di jaman ini yang memilih tinggal bersama sebelum menikah semakin meningkat dari tahun ke tahun meskipun praktik ini dilarang oleh agama dan bertentangan dengan aturan hukum. Fenomena hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah malah oleh masyarakat dipandang sebagai hal yang wajar dan di jaman sekarang ketika perubahan sosial dan budaya mulai menggeser pandangan tradisional tentang pernikahan dan hubungan romantis.
Fenomena “anak seorang ibu” dan “kumpul kebo” atau juga yang dikenal dengan istilah cohabitation atau living together yang merujuk pada praktik pasangan yang tinggal bersama dan menjalin hubungan intim tanpa pernikahan yang sah harus juga mulai menjadi perhatian serius berbagai pihak mengingat sangat juga berdampak pada status hukum identitas anak yang dilahirkan dari hubungan kohabitasi.
Bila ditelusuri penyebab maraknya tren kumpul kebo salah satunya adalah faktor ekonomi, tantangan ekonomi seperti biaya hidup tinggi dan ketidakstabilan pekerjaan membuat banyak pasangan menunda pernikahan, hidup bersama tanpa ikatan dianggap sebagai slousi praktis untuk menghemat biaya hidup sambil tetap menjalin hubungan intim. Selain itu budaya mahar atau “belis” yang sangat mahal juga menjadi pemicu terjadinya kumpul kebo di kalangan pasangan muda dengan ekonomi terbatas. Pasangan muda ini menunda perkawinan secara resmi atau sah sambil mengumpulkan modal uang mahar atau belis terkumpul dan dapat memenuhi kewajibannya. Hubungan cinta beda agama pada beberapa pasangan yang terlanjur jatuh cinta dan belum mau saling mengalah karena alasan tertentu atau keberatan keluarga besar untuk pindah agama membuat mereka memilih kumpul kebo sebagai solusi sementara sambil menunggu kesepakatan kedua belah pihak sehingga bisa melakukan pernikahan yang sah. Kurangnya pemahaman agama, meskipun agama melarang praktik kumpul kebo, namun karena kurangnya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai agama membuat sebagian orang mengabaikan larangan itu. Sekularisasi dan penurunan tingkat religiusitas juga berkontribusi pada meningkatnya tren kumpul kebo yang menghasilkan anak mama. Diperkuat lagi dengan lemahnya penegakan hukum membuat pelaku merasa aman dan tidak takut akan konsekuensi hukum dari tindakan mereka dan lagi-lagi anak yang harus menanggung resiko dan akibatnya.
Masalah hukum dan administratif akhirnya harus ditanggung anak hasil di luar perkawinan yang sah terutama terkait status anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut yang akhirnya tidak memiliki status hukum dan hukum perdata dengan ayahnya. Hal ini dapat menimbulkan komplikasi dalam hak warisan, hak asuh dan perindungan hukum bagi sang anak.
Dampak psikologis juga sangat berpengaruh pada anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pergaulan kumpul kebo mungkin mengalami kebingungan terkait nilai-nilai keluarga dan pernikahan. Anak juga beresiko mengalami stigma sosial dan masalah psikologis akibat status hubungan orang tua mereka. Selain itu pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.
Kaitan dengan permasalahan “anak seorang ibu” dan kumpul kebo, kebijakan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak minimal difokuskan pada pencegahan dengan meminimalisir perkawinan yang tidak sah secara hukum agama dan hukum negara pasangan suami istri. Untuk mengatasi tren kumpul kebo pasangan muda dan anak “seorang ibu” yang semakin marak, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, antara lain; penguatan pendidikan agama dan moral, sosialisasi dan edukasi publik, penguatan peran keluarga, penegakan hukum yang konsisten, pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses terhadap konseling pranikah serta revisi dan harmonisasi peraturan. Pelayanan yang tidak diskriminatif, dan penanganan masalah yang dihadapi anak melalui upaya pengakuan dan pengesahan anak. Prinsip kepentingan terbaik untuk anak senantiasa diupayakan agar semua keputusan, kegiatan, dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak semata-mata untuk hak sipil kaitan dengan identitas anak sebagai anak yang menyandang status hukum anak bapak dan mama secara utuh, hak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa tekanan bathin serta meningkatnya perlindungan anak dari tindakan kekerasan, penelantaran, eksploitasi, kehilangan hak waris di tengah budaya patrilineal dan perlakuan salah lainnya.
—————–