Oleh Dina Tuasuun
Bermula dari Cerita Biasa
Hidup kita dipenuhi cerita. Dari pagi hingga petang, kita membaca, mendengar, menyaksikan, melakonkan, bahkan mungkin mengarang cerita. Cerita sendu yang membuat terharu. Cerita duka yang menguras air mata. Cerita bahagia yang membuat tertawa. Di antara sekian banyak cerita kehidupan, ada cerita istimewa yang melekat dalam ingatan. Ada cerita biasa yang kita biarkan berlalu begitu saja. Saat seorang sahabat datang berkeluh kesah, saat kita memandang bunga mekar mendengar kicau burung di pagi hari, merasakan teriknya matahari, adalah saat-saat yang kerap terlewat dan tampak biasa.
Namun, cuplikan pengalaman sehari-hari itu berubah menjadi perenungan yang mendalam di tangan Stephie Kleden-Beetz dalam bukunya yang berjudul Cerita Kecil Saja. Buku setebal 131 halaman Ini memuat 51 kisah yang melukiskan perjumpaan Stephie dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitarnya. Dari tulisan-tulisan dalam buku ini, terpancar keluasan pengetahuan dan kedalaman pengalaman penulisnya. Stephie pernah menjadi responden Deutsche Welle-radio nasional Jerman. Selama hampir dua dasawarsa, ia juga pernah menjadi wartawan lepas yang giat menulis pada sejumlah media di Indonesia.
Hikmat yang Nikmat
Penulis dengan jeli memilih kisah-kisah hidup yang dekat dengan keseharian, meraciknya dalam kalimat yang hemat kata, kemudian menyuguhkannya dengan ilustrasi berwarna yang memanjakan mata. Pembaca pun diajak mencicipi tiap cerita dengan cita rasanya. Pahitnya pengkhianatan, manisnya persahabatan, getirnya luka, legitnya cinta, semua diramu menjadi satu dalam buku ini. Dalam tiap kisah terselip hikmat yang tersaji nikmat. Oleh Anton Sudiarja SJ dalam kata pengantar buku ini, gaya penulisan Stephie dijelaskannya demikian, “mengajak (pembaca) untuk tidak menelan begitu saja apa yang ditulisnya, tetapi mengunyah dan merenungnya” (hlm. xii).
Dalam buku ini pembaca juga dapat menemukan berbagai kutipan kata-kata atau kisah dari orang-orang bijak, sastrawan, ilmuwan, bahkan juga pepatah dari berbagai negeri. Simak saja apa kata Stephle tentang senyum, “kita berkomunikasi tanpa kata-kata lewat jembatan paling pendek: senyum…. Rugi bila dijemput sang ajal, padahal sesama belum melihat betapa manisnya senyum kita. “Tuhan sudah memberimu sebuah wajah, senyum harus kita lakukan sendiri’ (pepatah Irlandia)” (hlm. 27).
Di lain tempat, sebelum bertutur tentang buku, penulis mengawalinya dengan cerita saat Bernard Shaw, seorang dramawan, mengunjungi rumah mewah milik seorang kaya. Saat tuan rumah bertanya bagaimana kesan sang tamu tentang barang-barang antik dan mahal yang ada di dalam rumah itu, Shaw menjawab bahwa ia merasa seperti ada di museum, tetapi sayangnya yang paling penting justru tidak ada di situ. Orang kaya itu pun terkejut dan bertanya, “Apa?” Shaw menjawab, “Buku” (hlm. 80). Tentang pendidikan, Stephie menulis demikian, “Betapa pendidikan telah mengubah sebuah negeri yang hancur lebur karena perang…itulah yang ditunjukkan oleh Jepang. Saat itu Kaisar Hirohito tidak bertanya berapa tentara yang tersisa, melainkan berapa guru yang masih hidup? (hlm. 113).
Mungkin kita tak butuh waktu lama membaca seluruh kisah dalam buku ini. Namun justru setelah membacanya, kita pun tergugah untuk membuka mata dan telinga, menikmati dan menghayati tiap kisah hidup kita sendiri. Buku ini mengajak kita untuk mencari makna dari tiap peristiwa, menarik pelajaran dari tiap kejadian, bahkan dari yang tampak biasa dan sederhana sekalipun.
_—————–
Sumber Tulisan Majalah Inspirasi, September 2009