Puan Terkasih
Secawan duka dicecap, pahit hingga kelu
Lalu air mata luruh menggenang
Suara tercekat berujung Isak
Sesak, tertelan tanpa rasa
Puan, tatapmu nanar tapi hilang arah
Binar yang sedianya ranum, kini redup
Puan, boleh kugenggam tanganmu?
Dukamu teramat sangat mendalam
Sedang engkau seorang diri tanpa ada yang mendekap
Puan, jalanmu masih panjang
Boleh aku berdiri di sisimu?
Aku hanya ingin hadir menemanimu
Membiarkanmu mencukupkan diri dalam duka yang pedih ini
Setelahnya, lanjutkan hidupmu, Puan.
Engkau berhak hidup, engkau berhak melanjutkan hidup. Bahagia melebihi siapapun.
Tetaplah hidup Puan.
Kubersamai engkau dalam doa.
———————
Pentas Asmara
Sebuah pentas asmara manusia
Gelak tawanya riuh nan manis
Siapa sangka jika ada dusta yang ternavigasi, di balik kata ‘aku mencintaimu ‘
Seperti kata ‘hai apa kabar’
Setelah ia hilang kabar dengan dalih ‘sibuk’
Kau sambut manis dengan detak riuh di hatimu, seolah rindumu akhirnya terbayarkan lunas.
Tuan, aku penyair.
Tinta mengucur deras ketika hatiku tersayat
Kukupas tuntas nistamu
Kukibas habis bait diksimu yang penuh dusta
Kau adalah sepintas yang tak tuntas
Setelah sekian purnama kubenamkan lukaku, aku puas merawat jiwaku.
Kau abadi dalam tulisanku.
————–
*Wilhelmina Mariana Ema. Spd, (Emil Bidomaking), adalah Guru Bahasa Indonesia SMK Strada, Daan Mogot, Tangerang. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan dari FKIP, Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah pada Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah.