Oleh Agus Widjajanto
Pada era Reformasi telah dilakukan Amandemen Konstitusi kita yakni UUD 1945 sebagai Hukum Dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang hingga berlangsung empat kali Amandemen, yang telah merubah sistem ketatanegaraan kita yang awalnya di desain dengan sistem kerakyatan dengan sistem perwakilan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dimana manifestasi dari suara rakyat yang dianggap merupakan suara Tuhan lewat sebuah Majelis yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, diganti dan diubah menjadi sistem pemilihan langsung dalam Pemilihan Umum dimana sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan seorang presiden dipilih langsung oleh rakyat, sebagai mandataris rakyat melalui pemilihan umum yang diusung dan diajukan oleh partai politik dan atau gabungan dari beberapa partai politik.
Belum lagi masalah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyangkut presidential treshold yang membatalkan aturan sebelumnya dari 20 persen perolehan suara secara nasional, 25 persen suara di parlemen, menjadi 0 (nol) persen untuk bisa mengajukan calon presiden dan wakilnya, oleh partai politik, akan sangat menarik untuk dicermati karena pasti akan terjadi kegaduhan dimana dengan sistem multy partai lebih dari 20 partai politik, setiap partai politik bisa mengajukan calon presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.
Pada era Reformasi seperti saat sekarang ini dimana kebebasan berpendapat dan berbicara diberikan keleluasaan dan berlakunya sistem pemilihan langsung dalam pemilihan umum dimana apabila dikaitkan dengan konteks vox populi vox Dei ( suara rakyat adalah suara Tuhan ) Euforianya begitu besar seolah bergema diseluruh negeri, termasuk jabatan presiden dan wakil presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR akan tetapi sebagai mandataris rakyat dari seluruh rakyat Indonesia. Namun setelah terpilih dan berkuasa ternyata suara rakyat dianggap alunan musik yang kadang tidak lagi perlu didengarkan, dengan segala kebijakan yang diambil oleh mandataris rakyat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan secara hukum tidak perlu dikonsultasikan dan memberikan pertanggung jawaban dengan pemberi mandat yang jumlahnya mencapai 270 juta jiwa satu persatu akan tetapi cukup kepada anggauta DPR RI dari seluruh partai politik sedangkan anggota dewan faktanya selalu bertanggung jawab kepada partai politik dimana mereka bernaung in casu ketua partai, bukan kepada rakyat yang memilih presiden secara langsung, hal ini tentu tidak semudah yang dibayangkan bagaimana pengaturan dalam pertanggung jawaban dan prakteknya secara tekhnis dan inilah yang tidak pernah dipikirkan saat Reformasi dengan mengamandemen UUD hingga ke-empat kali dimana bukan saja telah meluluh lantakan sistem dan desain awal dari sistem ketatanegaraan yang dirancang para pendiri bangsa, akan tetapi juga membuka peluang terjadinya sistem feodal dalam jabatan kepala daerah melakui pemilihan langsung yang akhirnya dengan terpilihnya kepala daerah tersebut juga melakukan nepotisme dan tindakan korupsi yang berjalan masif dalam alam demokrasi pada Jaman Reformasi, yang dulu diharapkan terjadinya sebuah perubahan yang akan membawa perubahan besar dari sistem Orde Baru yang dianggap otoriter kepada Demokrasi. Akan tetapi yang terjadi justru terjadinya degradasi moral dan sistem yang memberikan ruang kepada nepotisme dan korupsi yang sangat masif dinegara ini, dengan biaya atau cost yang sangat tinggi.
Penulis sendiri hingga saat ini masih belum bisa memahami bagaimana bisa terjadi sebuah UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat flamboyan dan merupakan maha karya dari para Pendiri Bangsa bisa di obrak abrik melalui amandemen hingga ke empat-kalinya, yang secara nyata telah menimbulkan permasalahan demi permasalahan bangsa, yang berakibat bangsa ini hanya berkutat pada konflik politik tiada henti.
Pikiran adalah sebuah ide yang bisa membuahkan suatu fenomena perubahan ataukah justru yang membuahkan kesesatan tergantung dari kita mengendalikan dalam kontek tujuan. Berbicara soal MPR tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya negara ini, baik dari sejarah lahirnya Pancasila sebagai dasar negara, dan desain awal menyangkut dibentuknya Hukum Dasar Tertulis yakni UUD 1945 oleh Panitia Kecil dalam Panitia Persiapan Kenerdekaan Indonesia ( PPKI ) karena antara Dasar Negara dan UUD sebagai Konstitusi Tertulis merupakan satu kesatuan yang punya hubungan integral ibarat suami istri dalam sebuah rumah tangga yang saling mengisi satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan.
Seperti tertulis dalam sejarah bangsa saat Bung Karno menggali nilai-nilai luhur dari berbagai adat istiadat dan kebiasaan yang telah hidup dan tumbuh di bumi Nusantara ini, beliau dalam pidatonya menyatakan; “alam itu aku menggali didalam ingatanku, menggali dalam ciptaku, menggali didalam khayalku, apa yang terpendam didalam bumi Indonesia ini, agar supaya dari hasil dari penggalian itu dapat dipakai sebagai dasar negara bagi negara yang akan datang.”
Kakawin Nagara Kertagama yang ditulis dari bahasa Jawa Kuno, oleh Mpu Prapantja, yang ditemukan pertama kali di pulau Lombok Nusantara Tenggara Barat, pada tahun 1894, pertama-tama disebut Kakawin Desa Warnana, yang melukiskan tentang pemerintahan saat itu dalam wilayah kerajaan Majapahit, sebagai mana termuat dalam bait (Ngk.pupuh 94: 4). Naskah Kakawin Nagara Kertagama ini menjadi sangat menarik dan istimewa lantaran memberikan keterangan langsung mengenai kondisi dan adat istiadat serta sistem pemerintahan baik lokal (daerah dalam lingkup kadipaten), desa, maupun pusat kerajaan mengenai masyarakat Jawa Kuno pada suatu masa tertentu, dilihat dari sudut tertentu. Inilah sebenarnya yang menginspirasi para pendiri bangsa kita (founding father) dalam membentuk dan mendesain sebuah konsep berdirinya negara kesatuan yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia.
Nagara Kertagama merupakan kitab sumber nilai-nilai Pancasila yang kemudian menginspirasi Bung Karno dalam menyusun Dasar Negara Republik Indonesia, termasuk, Mr Moh Yamin dan Mr Soepomo, dalam memberikan masukan konsep tentang dasar negara dan sistem ketatanegaraan dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Bung Karno sendiri dalam auto biografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat pada halaman 240 menulis :
“Aku tidak mengatakan , bahwa aku menciptakan Pancasila, apa yang aku kerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri dan aku telah menemukan lima butir mutiara yang indah.”
Naskah Nagara Kertagama juga telah diakui oleh kalangan international dan secara resmi masuk dalam daftar Memory of The World UNESCO.
Bahwa dalam pupuh 43 dalam Kitab Nagara Kertagama, dituliskan oleh Mpu Prapanca “agar kiranya berusaha memegang teguh pada Pancasila, lima kaidah tingkah laku utama” disinilah sebenarnya sumber inspirasi dari para Pendiri Bangsa yang lalu digali dan dirangkum menjadi sila-sila dalam Pancasila.
Berbicara tentang sistem ketatanegaraan kita, tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya negara ini dan tokoh yang dipandang sangat penting dan berpengaruh tentang pemikir konsep ketatanegaraan terbentuknya UUD 1945 adalah pendapat dari Mr. Soepomo, yang merupakan ‘Ikon’ penting dalam dunia politik hukum di Indonesia. Dalam pidatonya tertanggal 31 Mei 1945 didepan BPUPKI, Soepomo mengemukakan dan melontarkan gagasan tentang “Negara Integralistik” sebagai bentuk paling tepat bagi Indonesia suatu hari nanti saat merdeka, gagasan ini pulalah yang dikemudian hari menjadi inspirasi pada saat disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dimana Soepomo selaku ketua konsep terbentuknya UUD 1945 saat itu, bahwa pemikiran Soepomo terjadi perdebatan dan dianggap kontroversi yang mengemuka saat itu adalah ide model negara Integralistik yang ditawarkan Soepomo merupakan bentuk yang dianggap fasis, yang mencontoh dari kerajaan Jepang dan Jerman saat itu, yang dianggap adanya persesuaian dengan watak masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat kekeluargaan, yang setelah Indonesia merdeka, banyak studi hukum ketatanegaraan menilai Pemerintahan Orde Baru dinilai merupakan penerjemahan paling sempurna dari gagasan yang diajukan oleh Soepomo.
Soepomo seorang bangsawan Jawa keturunan darah biru dari Keraton Kasunanan Surakarta, sangat memahami kontek sistem Manunggal Kawuloning Gusti dalam suatu pemerintahan feodal Jawa, yang merupakan penyatuan antara rakyat dan pemimpin yang bisa membentuk suatu masyarakat yang harmonis berdasar karakteristik masyarakat Indonesia, yang sebenarnya inspirasi dari Soepomo didapat dari model pemerintahan desa-desa kuno di Jawa, seperti yang tertulis dalam Kitab Kakawin Nagara Kertagama. Para ahli hukum tatanegara berpendapat, dalam kajian penelitiannya bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-delapan belas dan abad ke-sembilan belas, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel sebagai terjemahan dari ketertarikan seorang Soepomo menyangkut sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu, padahal model Jepang sebagai negara feodal dengan raja sebagai poros paling atas kekuasaan dianggap oleh Soepomo, sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti dalam praktek pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau Kepala Negara, dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris Jeremy Bentham dimana menurut Soepomo konsep individualis ala Barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa. Yang merupakan cermin struktur masyarakat yang lebih luas dalam negara yang dibentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara kawulo (rakyat) dengan pemimpin (gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan, dimana dalam negara integralistis ala pemerintahan desa tidak ada pertentangan dan selalu ada harmonisasi kepentingan yang diambil secara musyawarah mufakat seperti layaknya dalam Lembaga Rembuk Desa dalam pemerintahan desa, karena negara dikelola secara kekeluargaan layaknya sebuah keluarga harmonis.
Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri-sendiri sesuai kodratnya. Itulah sebenarnya sistem pemerintahan dalam perspektif ke-Indonesiaan yang mempunyai ciri khas tersendiri lain dari pada Demokrasi dari negara-negara di belahan dunia lainnya, yang berkonsep Liberal dan Sosialis.
Pendapat Soepomo diketengahkan sebagai jalan tengah bagi konsep negara yang akan dibentuk, dimana Soekarno sendiri mencita-citakan sebuah negara yang berbentuk Republik dengan sistem Presidensil, dengan sistem dua partai meniru pada Amerika Serikat yang saat itu sebagai negara pemenang Perang Dunia ke-II dan Bung karno menginginkan dua partai politik yang mempunyai basis nasionalis dan agama.
Untuk itu Soepomo mengetengahkan dengan konsep ke- Indonesiaan asli dari budaya Nusantara, dalam berdemokrasi, melalui keputusan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam sistem perwakilan seperti halnya Rembuk Desa dalam konsep pemerintahan desa dalam lingkup Negara Kesatuan (Nasional) sebagai jalan tengah.
Dalam perjalanan sejarah karena pengaruh Perang Dingin dimana Soekarno membentuk Non Blok justru terjebak pada politik poros Jakarta, Pyongyang, Bejing Moskow, hingga menciptakan paham partai yang dikenal dengan NASAKOM (partai yang berbasis Nasionalis, Agama dan Komunis) yang pada saat Pemerintahan Orde Baru, sistem Three Partai ini kembali diadopsi dengan menempatkan Sekber Golkar sebagai Golongan Berkarya bersama dua partai yang berbasis Agama dan Nasionalis yakni Partai Demokrasi Indonesia dan PPP.
Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya negara Integralistik dari Soepomo yang di ilhami dari pemerintahan desa jaman kerajan di Jawa dan Nusantara terus merujuk dari tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, hingga mengilhami terbentuk Dasar Negara yakni Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total, melalui Amandemen hingga ke-empat kali.
Menengok kilas balik pada masa Orde Baru memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan, seperti dalam doktrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi Fungsi ABRI, yang bukan lagi hanya sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik, ini yang harus diperbaiki, bukan justru dirombak total hingga menghilangkan soko guru dari tiang penyangga negara yang diibaratkan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh tapi justru lumbungnya yang dibakar, itu yang terjadi pada tahun 2022 menjelang Amandemen pertama.
Bahwa sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang dulu merupakan contoh manifestasi dari Lembaga Rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil kepala dusun dan perangkat pemerintahan desa, disebut Rembuk Desa. Demikian juga MPR yang susunan anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan yang terdiri dari perwakilan agama seluruh tanah air, ada NU, Muhammadiyah, Dewan Wali Gereja, Dewan Hindu dan Dewan Tertinggi Budha, KNPI, HMI dan wakil dari Organisasi Kemasyarakatan, termasuk organisasi pemuda dan Wakil Daerah yang mewakili daerah masing-masing yang saat ini adalah anggota DPD terpilih, lalu ada gubernur selaku wakil administratif dari pusat, bupati, walikota, seperti halnya pada saat Orde Baru berkuasa, yang merupakan penjelmaan dari suara seluruh rakyat yang dilaksanakan melalui sebuah lembaga perwakilan.
Bahwa pada masa lalu MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dengan tujuan agar apa yang mau dituju bangsa ini, apa yang mau dibangun bangsa ini jelas arah dan tujuanya, baik dalam jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek, yang lalu pemerintah membuat Repelita, dalam pelaksanaan GBHN tersebut dalam rencana pembangunan, itulah wujud dari sistem negara Integralistik ala Soepomo dalam sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara dari Soepomo.
Sedangkan sekarang, kewenangan MPR sudah direduksi dimana kewenangan untuk memilih, presiden dan wakil presiden sudah tidak lagi berlaku, menetapkan GBHN juga sudah dicabut, dengan demikian, tidak ada lagi GBHN dan pemerintah tidak lagi ada Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas) petunjuk arah tidak ada lagi, dimana masing-masing pemerintah dan daerah dalam Otonomi Daerah bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing-masing , belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris presiden dan wakil presiden, yang dirubah menjadi suara rakyat langsung menjadi presiden mandataris rakyat, karena melalui pemilu langsung , yang kita sama-sama bis akita lihat dan rasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan ruh-nya sebagai sebuah bangsa, sudah bermetafora pada bangsa pada sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para Pendiri Bangsa dan itu telah terjadi saat ini.
Bahwa perlu diingatkan disini antara Dasar Negara yakni Pancasila sebagai sumber dari segala Sumber hukum dengan Konstitusi negara sebagai hukum dasar negara merupakan satu kesatuan tunggal, yang tidak bisa dipisahkan, dimana Dasar Negara telah mengatur suatu sistem Kerakyatan dengan cara perwakilan yang merupakan manifestasi dari suara rakyat melalui wakil-wakilnya yang diatur melalui sebuah lembaga tertinggi di negara ini yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), hal ini tertuang dalam sila ke-empat (4) dari Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” dari bunyi sila ke-empat dari Pancasila di atas hal ini sinkron dengan pasal 1 ayat (2) dari UUD 1945 yang lama ( yang masih murni sesuai dekrit presiden 5 juli 1959 yang berbunyi “Kedaulatan adalah Ditangan Rakyat dan Dilakukan Sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” yang memang sejak awal didesain sebagai hubungan integral yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Sedangkan setelah dilakukan Amandemen, pasal 1 ayat 2 menjadi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Ini menjadi bias, sedangkan tata bahasa yang digunakan dalam Konstitusi harus jelas, singkat padat dan berisi dan itu berlaku pada Konstitusi di seluruh dunia. Jangan sampai terjadi multi tafsir yang berakibat semua warga negara bisa menafsirkan sesuai perspektif sudut pandang masing-masing yang berakibat terjadi ketidak pastian dalam hukum.
Dengan dirombak dan dirubahnya format dari UUD 1945 sebanyak empat kali, maka antara sila ke-4 dari Pancasila bertabrakan (bertentangan) dengan UUD 1945 hasil Amandemen, dalam sebuah rumah tangga saja jikalau hubungan antara suami istri tidak sinkron dan tidak sejalan akan menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga, demikian juga menyangkut sebuah negara tentu akan mengalami benturan dan ketidakstabilan dengan sistem Ketata Negaraan dikarenakan antara Dasar Negara dengan hukum dasarnya sudah tidak lagi seirama, dengan demikian harus kita akui bahwa para founding father kita ( Bapak Pendiri Bangsa) kita lebih matang dan cerdas serta mempunyai pemikiran yang progresif yang menjangkau ratusan tahun ke-depan melampau pola pikir di jamannya, dalam menyusun suatu sistem sebuah negara dalam hukum ketatanegaraannya.
Untuk itu mari kita bersama-sama bergandeng tangan untuk mengembalikan kewenangan dari MPR sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan kita karena secara historis itulah konsep yang terbaik bagi bangsa ini yang telah terbukti secara nyata pada masa lalu hingga melahirkan stabilitas politik dan keamanan serta pertumbuhan ekonomi sebagai Macan Asia yang belum pernah di raih selama era reformasi, dalan kaitan manifestasi bahwa suara rakyat adalah mandat tertinggi seperti halnya suara Tuhan.
———————-
Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Budaya Bangsanya, Tinggal di Jakarta