• Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Minggu, Mei 25, 2025
  • Login
No Result
View All Result
Beranda Negeri
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL
No Result
View All Result
Beranda Negeri
No Result
View All Result
Home OPINI

Musibah Tiga “Peledang” Lamalera, Semana Santa dan Tuhan yang Menggetarkan

by Redaksi
April 18, 2025
in OPINI
1
Musibah Tiga “Peledang” Lamalera, Semana Santa dan Tuhan yang Menggetarkan

Foto Prosesi Laut Semana Santa Larantuka dari Google

0
SHARES
2.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp
Oleh Paskalis Liko Bataona

 

 

Hari itu Kamis 10 Maret 1994. Masyarakat desa Lamalera A dan Lamalera B serta dusun-dusun di sekitar sedang mengerjakan jalan umum di luar desa. Pukul 11.30 siang itu tiba-tiba terdengar panggilan yang lazim: Ba leo..ba leo! Itulah alarm bahwa di laut nampak ikan-ikan paus, jadi supaya orang segera ke pantai dan bertolak dengan peledang untuk memburu ikan besar yang menjadi harapan hidup masyarakat Lamalera. Tidak lama kemudian satu armada terdiri dari peledang-peledang Teti Herri, Kebako Pukan, Kena Pukan, Kelulus, Soge Tena, Nara Tena dan Baka Tena telah nampak di laut tengah mengarahkan haluan ke kumpulan ikan-ikan besar itu yang mudah dipantau. Ikan paus adalah jenis ikan yang bernafas dengan paru-paru, dan selalu muncul ke permukaan air dan menyemburkan air. Peledang pertama yang menikam adalah Kena Pukan. Tapi sial, tempulingnya tidak cukup masuk dalam badan ikan yang rupanya paus induk yang disertai anak. Perahu Nara Tena berhasil menikam paus anak ini, dan membawanya ke kampung.Tapi akibatnya fatal, sebab paus induk yang membela anaknya mulai menyerang dan menghantam peledang Kebako Pukan yang berada tak jauh dari situ dan menikamnya. Beberapa papan perahu itu pecah dan perahu kemasukan air dan tinggal terendam dalam air.

Kini tugas dialihkan ke perahu Kelulus yang menancapkan tempuling pada paus induk itu. Ikan yang terluka itu menghantam perahu Kelulus sehingga haluannya robek dan kemasukan air. Nampaknya ikan itu belum mau menyerah, malah mulai menyeret Kebako Pukan dan Kelulus lebih jauh. Melihat kejadian itu Kena Pukan merapatkan diri pada kedua perahu itu supaya bersama-sama menahan seretan ikan yang terluka itu. Sedangkan Teti Herri diminta segera kembali ke kampung membawa kabar dan meminta bantuan.

Hari sudah mulai malam. Kabar tentang keadaan ketiga peledang di laut itu sudah sampai di kampung dan orang segera berusaha membawa bantuan, tetapi dalam kegelapan malam mereka tidak dapat menemukan ketiga perahu itu. Sementara itu keadaan fisik para awak perahu menjadi kritis karena sejak Kamis siang mereka tidak makan atau minum apa-apa, dan mereka juga berangkat dari kampungg tanpa membawa bekal. Ketika turun hujan malam itu ada yang berusaha mengumpulkan air hujan untuk sekedar membasahi kerongkongan yang sangat kering.

Memasuki hari kedua, Jumat 11 Maret, ketika melihat keliling nampak hanya lautan dan mereka tidak tahu arah ke mana ikan itu masih tetap menyeret mereka. Akhirnya mereka sepakat dan memutuskan tali berarti melepaskan ikan itu, karena mereka toh tidak cukup bertenaga lagi untuk menangkapnya. Perahu Kebako Pukan masih terendam dalam air, sehingga seluruh awaknya pindah ke perahu Kena Pukan yang masih utuh. Demikian juga para awak perahu Kelulus yang haluannya robek dan kemasukan air, terpaksa ditinggalkan dan semua awaknya pindah ke Kena Pukan. Sekarang mereka semua berkumpul di atas satu-satunya perahu yang masih baik dan selanjutnya mereka hanya terkatung-katung di tengah laut tanpa arah karena tidak melihat daratan dan juga tidak sanggup berbuat apa-apa. Mereka lapar, haus, capek dan mulai dihinggapi kecemasan dan meletakkan nasib hanya dalam tangan Tuhan, terserah ke mana saja mereka dibawa arus. Sungguh satu keadaan yang mencekam. Ke-34 nelayan Lamalera itu berusia rata-rata 50-an tahun. Ada di antaranya yang sudah lebih tua, bahkan ada seorang anak yang berumur belasan tahun. Dan hari keduapun berlalu tanpa suatu tanda akan berakhirnya keadaan yang tak menentu ini. Di Lamalera seluruh masyarakat sangat gelisah dan cemas. Orang tak dapat duduk diam. Sejak hari pertama sudah ada usaha pencaharian, sepanjang sore hari, namun setelah mulai gelap, perahu-perahu pulang tanpa hasil.

Demikian halnya sampai hari ketiga, 12 Maret. Sialnya lagi, di Lamalera tidak ada suatu alat telekomunikasi untuk dengan cepat menyampaikan informasi dan meminta bantuan. Terpaksa kepala desa berangkat ke Larantuka untuk minta bantuan pada pemerintah. Sementara itu peledang-peledang Lamalera yang terkatung-katung di laut itu sudah memasuki hari keempat dan belum ada tanda datangnya bantuan. Keadaan para awak semakin lemah. Ada yang sudah mulai mengisi perut dengan sobekan pakaian. Namun mereka berusaha sungguh-sungguh bertahan dengan berpasrah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka tidak putus asa. Mereka berdoa.

Hari keempat, 14 Maret adalah hari Minggu. Bagi nelayan-nelayan Katolik ini adalah Hari Tuhan dan merupakan kesempatan yang mendorong hati untuk berdoa lebih khusuk dan memohon bantuan  Bunda Maria yang selalu menolong. Siang itu tiga ekor burung laut datang melayang-layang di atas mereka, terbang mengelilingi mereka dan turun lalu hinggap di ujung perahu. Tanda apa ini? Tanda baik? Kabar selamat? Tanda bantuan sudah dekat? Burung-burung itu terbang kembali dan menghilang, tidak lama kemudian mereka datang lagi, hingga tiga kali. Para awak yang tidak bertenaga lagi itu memperhatikan dengan heran mulai bersemangat dan berharap. Mereka percaya, Tuhan tidak meninggalkan mereka. Mereka berdoa bersama-sama lalu menyanyi, tapi kemudian tak bisa terus karena tidak sanggup lagi mengeluarkan suara. Mereka sudah amat lemah.

Hari beranjak petang. Seorang awak mengeluarkan dari sakunya selembar 1000 rupiah. Untuk apa? Katanya: Kita membeli lilin. Tapi mau beli di mana? Ada teman yang menganjurkan supaya lembaran itu dhanyutkan sebagai ganti lilin Doa Permesa. Tuhan tahu maksud baik kita, asal kita buat dengan sepenuh hati. Dan lembaran itu diletakkan di air. Lalu mereka diam semua dan hanyut dalam doa, mohon kekuatan dan keselamatan, mohon perlindungan bagi keluarga, isteri dan anak-anak dan semua kekasih. Kemudian seorang coba memberi pesan: “belete nolo rae tena mi Ora et labora, pe arti nae mi: mngaji ge krian“ (leluhur kita dulu berpesan: ora et labora,
 itu artinya berdoa dan bekerja. Kita jangan duduk tunggu saja. Tuhan pasti menolong, tapi kita juga harus bekerja).” Lalu dia mengajak teman-teman untuk iseng-iseng mendayung, biar tanpa arah. Tapi tak  ada suara, kan biasanya mendayung disertai nyanyian syair. Sulit juga mereka membuat humor. Tertawa juga tidak sanggup.

 

Malaikat Penolong itu Datang

Malam gelap keempat mulai turun sementara mereka mendayung pelan-pelan. Di depan mereka nampak dari jauh cahaya samar-samar. Itu lampu-lampu dari sebuah kapal, makin lama makin jelas. Dari haluan sebuah lampu sorot menghamparkan sinar ke permukaan laut seperti mencari obyek. Sebuah kapal mewah mendekati mereka dan ah sinar lampu yang menyilaukan menyinari perahu dan ke-34 awak. Serentak mreka semua berdiri sambil mengangkat tangan dan berteriak: Tolooong, toloong, tolong kami! Melalui pengeras suara terdengar jawaban:” Ya. Selamat bertemu. Kami adah tahu. Kami mencari kamu!” Oh Tuhan. Terimakasih. Malaikat-Mu telah mengantar pertolongan-Mu. Alangkah istimewa. Sebuah kapal mewah. Tepat pada yaktunya. Terimakasih. Nyawa kami selamat. Saudara-saudara terbaik telah menemukan kami. Tuhan Mahabesar! Bunda Maria selalu menolong. Terimakasih…

Saat itu pk 23.45 WITA, kapal berada pada posisi 76 mil sebelah barat pulau Semau, 45 mil dari pulau Flores. Dengan mata yang capek tapi berbinar-binar ke-34 pelaut itu memandang dengan kagum ke arah kapal turis itu. Mereka seakan-akan sama sekali lupa aan beban penderitaan tak berujung selama 4 hari 4 malam, beroleng-oleng tak hentinya diatas laut lepas. Malam terakhir yang paling gelap ini berubah sudah menjadi seperti sang penuh dengan kegembiraan tak terkatakan. Tidak lama kemudian dua buah sekoci dturunkan. Dengan badan yang gemetaran karena sangat lemah, namun dengan hati angat gembira dan terharu sambil menangis mereka menerima kiriman pertama dari kapal pesiar itu dua buah doos berisi botol-botol aqua. Serentak mereka berebutan mengambil botol-botol itu dan membukanya untuk lekas menikmati isinya. Kemudian mereka dipersilakan pindah ke sekoci-sekoci yang membawa mereka ke kapal. Di tangga kapal mereka disambut hangat oleh Bapak Sebastianus de Rosari, kapten kapal “Spice Kander” yang memperkenalkan dirinya sebagai adik ipar Pius Bediona. Saudarinya Hendrika de Rosari adalah isteri Pius Bediona. Dia sedang berlayar menuju Australia tembawa 34 turis. Dia menerima informasi lewat telpon radio dari Bp Yos Pandai Bataona, kapten Km. Ratu Rosari dengan permintaan untuk mencari peledang-peledang yang  hilang itu.

Dalam sinar lampu yang menyilaukan ke-34 nelayan Lamalera yang sangat lelah itu naik ke atas kapal dengan langkah terseot-seot disaksikan oleh para turis yang menjabat tangan dengan mereka sambil membelai-belai mereka penuh kasih sayang serta mengambil gambar mereka. Mereka telah rela menerima tugas pencaharian sebagai bukti kepedulian dan perikemanusiaan dan telah berhasil menemukan nelayan-nelayan Lamalera itu dalam keadaan hidup. Pertolongan yang seakan-akan dibawa oleh malaikat Tuhan disambut oleh nelayan-nelayan itu dengan rasa terharu dan terimakasih yang tedalam. Sesudah diperiksa oleh seorang dokter di kapal, mereka mendapat makanan hangat dan lunak supaya menjadi kuat dan diberi pakaian-pakaian dan dibagi-bagikan juga uang. Setelah itu mereka istirahat, sementara kapal meneruskan pelayarannya.

Tapi sebelumnya ada satu masalah perlu diputuskan. Menurut peraturan, yang harus diselamatkan adalah manusia-manusia, sedangkan perahu tidak. Ada dua perahu yang rusak dan karam, yaitu Kebako Pukan dan Kelulus, yang dengan berat hati terpaksa dilepaskan karena toh tidak dapat dibawa kembali. Sedangkan Kena Pukan, satu-satunya perahu tempat mereka menyelamatkan diri, masih utuh. Maka Petrus Sari Beding berunding dan berusaha meyakinkan Bapak Kapten agar memperkenankan perahu itu ditarik sehingga dapat dibawa kembali ke kampung, sebagai bukti jasanya menyelamatkan nyawa ke-34 awak itu.

Tanggal 14 Maret, hari Senin pagi-pagi, dari jauh sayup-sayup nampak kota Kupang. Pk 11.00 KM Spice Islander merapat di dermaga Tenau. Sebelumnya Pak Kapten mengirim berita kepada saudara-saudara asal Lamalera di Kupang supaya datang menjemput. Nampak di dermaga Pak Pieter Boliona Keraf, Pak Anton Langoday, Pak Hila Blikololong, Jeffry Bataona dan banyak yang lain yang melambai-lambaikan tangan kepada nclayan-nelayan yang diselamatkan itu. Mereka disambut dengan penuh keharuan. Untuk beberapa waktu mereka ditampung di sebuah gedung Kantor Sosial, di mana mereka menerima banyak kunjungan dari kenalan-kenalan di kota Kupang. Mereka mendapat simpati dan perhatian dari Kakanwil Depsos NTT Sedyo Soewardi dan Gubernur NTT Herman Musakabe. Juga Bapa Uskup Gregorius Monteiro SVD datang menengok dan sempat merayakan Misa Syukur bersama mereka. Untuk semua tanda simpati itu mereka menyatakan terimakasih yang ikhlas.

Tanggal 17 Maret mereka diberangkatkan ke Larantuka dengan kapal fery dan tiba di Larantuka tanggal 18 Maret pagi. Di dermaga Waibalun mereka disambut dengan resmi oleh fihak pemerintah dan oleh saudara-saudara asal Lamalera dan banyak kenalan. Bersama imam-imam asal Lamalera di Larantuka mereka merayakan Misa Syukur dalam katedral. Mereka diundang juga ke Biara Santo Arnoldus untuk berdoa dan sharing pengalaman dan rekreasi.

Tanggal 21 Maret pagi tibalah di Waibalun fery Ilimandiri yang membawa perahu Kena Pukan dan dua awak. Sesudah diturunkan, perahu itu langsung dinaikkan ke atas fery Inerie yang membawanya beserta ke-34 awak ke Lamalera. Mereka dilepaskan oleh Bapa Bupati Munthe yang datang dan bertemu dengan nelayan-nelayan yang diselamatkan itu.

Sekitar pk.12.00 WTA mereka tiba di Lamalera. Di pantai telah berhimpun seluruh masyarakat untuk menyambut dengan upacara adat setempat kembalinya nelayan-nelayan yang telah diluputkan dari moncong maut dalam tugas yang berat di laut.

Kini air mata sukacita membasahi wajah semua orang yang selama beberapa hari siang malam menanti dengan cemas berita tentang nasib 34 bapa-anak-saudara mereka bersama tiga peledang yang ditimpa musibah. Pertemuan hari ini adalah titik bersejarah yang amat membahagiakan pada peristiwa musibah tiga peledang Lamalera bersama para awaknya. Dan tak habis-habisnya mereka berkisah tentang pengalaman yang pahit dari empat hari gelap di laut Sawu di tengah bulan Maret 1994. (Kisah ini diambil dari “Aku Terkenang Peristiwa Itu” Oleh Ambros Oleona, Pos Kupang)

Sanga Sulaona, seorang Lamafa (salah satu yang selamat pada peristiwa peledang yang diseret ikan Paus), meyakini bahwa peristiwa yang mereka alami adalah peristiwa iman. Ketika mereka terombang ambing di Laut Sawu hidup dan mati mereka serahkan kepada Yang Ilahi lewat perantaraan Bunda Maria. Dengan datangnya pertolongan dan para nelayan itu selamat, nelayan Lamalera meyakini hal ini  sebagia campur tangan Bunda Maria.  Sejak saat itu nelayan Lamalera berjanji kepada Maria  Bintang Laut untuk akan ikut serta dalam Prosesi Semana Santa Larantuka. Bagi nelayan Lamalera laut dipandang sebagai sesuatu yang menggetarkan, dan mencerminkan sifat Tuhan. Bagi mereka, laut  seperti Tuhan, adalah pemberi kehidupan tapi serentak tidak mudah diajak bersahabat.  Tuhan bagi nelayan Lamalera, meminjam Rudolf Otto, dipandang sebagai yang fascinosum dan termendum – yang misterius, menarik serentak menggetarkan. Pada abad ke-5 Santo Agustinus sudah mengucapkan  perasaan yang sama tentang Tuhan: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. 

 

ShareTweetSend
Next Post
Dari ‘Iqra’ ke Kosmologi: Membaca Ulang Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Tafsir Surah al-‘Alaq

Dari 'Iqra' ke Kosmologi: Membaca Ulang Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Tafsir Surah al-'Alaq

Comments 1

  1. Daniel BK says:
    1 bulan ago

    Mantap kisahnya bele Liko

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recommended

Kemendes PDTT: ”Drip Irrigation System” adalah Solusi Terbaik untuk Pertanian di NTT

4 tahun ago
Dialog Jakarta-Papua dan Unit Kerja Khusus Diperlukan untuk Atasi Masalah Papua

Dialog Jakarta-Papua dan Unit Kerja Khusus Diperlukan untuk Atasi Masalah Papua

6 tahun ago

Popular News

  • “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    “Leva”, “Knato” dan Harapan akan Belas Kasih Allah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Newsletter

Beranda Negeri

Anda bisa berlangganan Artikel Kami di sini.
SUBSCRIBE

Category

  • BERITA
  • BIOGRAFI
  • BUMI MANUSIA
  • Featured
  • JADWAL
  • JELAJAH
  • KOLOM KHUSUS
  • LENSA
  • OPINI
  • PAPALELE ONLINE
  • PUISI
  • PUSTAKA
  • SASTRA
  • TEROPONG
  • UMUM

Site Links

  • Masuk
  • Feed entri
  • Feed komentar
  • WordPress.org

About Us

Beranda sebagai suatu tempat para penghuni rumah untuk duduk melepas lelah, bercerita dengan anggota keluarga ataupun tamu dan saudara. Karena itu pula media Baranda Negeri merupakan tempat bercerita kita dan siapa saja yang berkesempatan berkunjung ke website ini.

  • Redaksi & Kontak
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
  • JELAJAH
  • BUMI MANUSIA
  • BIOGRAFI
  • OPINI
  • KOLOM
  • SASTRA
  • Lainnya
    • TEROPONG
    • PUSTAKA
    • PAPALELE ONLINE
    • LENSA
    • JADWAL

© 2023 BerandaNegeri.com - Morris by Gendis.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In