Oleh Agus Widjajanto
Hubungan antara hukum sebuah negara yang berdasar kepastian hukum dengan sistem dan penegakan hukum yang baik dan berkeadilan bagi masyarakat, dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi sebuah negara sangat erat, dimana hubungan tersebut bukan hubungan satu arah, akan tetapi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.
Kegiatan ekonomi yang tidak didukung oleh hukum akan mengakibatkan terjadi kekacauan, sebab apabila para pelaku ekonomi dalam mengejar profit (keuntungan) tidak dilandasi hukum dengan norma hukum, maka akan timbul hukum rimba. Siapa yang kuat akan menang, maka jangan heran kekayaan alam dan ekonomi kelas atas hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu yang jumlahnya hanya 5 persen dari seluruh jumlah warga negara.
Hukum dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi. Di negara maju baik Singapure, Eropa Amerika, sebelum produk-produk ekonomi diterjunkan ke pasar bebas, maka terlebih dahulu dibuat aturan hukum untuk melindungi dan memproteksi diri kepada masyarakat dalam penggunaan produk-produk ekonomi tersebut.
Sementara di negeri kita produk ekonomi diluncurkan terlebih dahulu, akan tetapi regulasi peraturan hukumnya belum dibuat, menyertai produk tersebut, ini harus jadi pembelajaran kita sebagai negara hukum, untuk dapat menunjang pertumbuhan ekonominya.
Richard A. Pastner menyatakan bahwa teori-teori hukum telah “mengasimilasi ” banyak konsep ekonomi, misalnya In-Centive Cost, Opportunity Cost, Risk Oversion, Transaction Cost, Free Ridring, Credible Comitment, Adverse Selection dan sebagainya, terutama keberadaan dalam hukum kontrak dalam kaitannya pertumbuhan ekonomi, disini konsep-konsep ekonomi telah melahirkan prinsip-prinsip hukum seperti: Litigation Cost, Property Rules, Non Monetery Sanction dan sebagainya. Sebagai contoh aktual penerapan ilmu ekonomi dalam hukum kontrak dalam teori bargaining posisiton – tawar menawar. Ini adalah hubungan hukum dan kepastian hukum dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Demikian juga semangat dalam pemberantasan korupsi harus dimulai dari aparat hukum yang bersih dan memegang teguh asas praduga tidak bersalah, sebagai acuan untuk penindakan demi tetap terjaganya due process of law dalam negara hukum, dengan pemerintahan yang bersih dan akuntabilitas yang baik maka pertumbuhan ekonomi akan terjamin dan terjaga dengan baik.
Bahwa perlu ditulis disini Hukum memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Berikut beberapa aspek tentang peranan hukum dalam pembangunan ekonomi:
Kerangka hukum yang stabil:
- Menciptakan kepastian hukum: Hukum yang jelas dan stabil menciptakan kepastian hukum bagi investor, pelaku usaha, dan masyarakat, sehingga mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
- Mengatur hubungan ekonomi: Hukum mengatur hubungan antara pelaku ekonomi, seperti kontrak, hak milik, dan kewajiban, sehingga menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.
Perlindungan hak milik dan kontrak:
- Perlindungan hak milik: Hukum melindungi hak milik individu dan perusahaan, sehingga mendorong investasi dan inovasi.
- Penegakan kontrak: Hukum memastikan penegakan kontrak, sehingga menciptakan kepercayaan dan kepastian dalam transaksi ekonomi.
Regulasi ekonomi:
1. Mengatur pasar: Hukum mengatur pasar untuk mencegah monopoli, melindungi konsumen, dan memastikan persaingan sehat.
2. Mengatasi eksternalitas: Hukum dapat mengatasi eksternalitas negatif dari kegiatan ekonomi, seperti polusi lingkungan.
Dampak hukum pada pembangunan ekonomi:
1. Meningkatkan investasi: Hukum yang jelas dan stabil dapat meningkatkan investasi dalam negeri dan asing.
2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi: Hukum yang efektif dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif.
Tantangan:
- Penegakan hukum: Penegakan hukum yang lemah dapat menghambat pembangunan ekonomi.
- Kompleksitas hukum: Hukum yang kompleks atau tidak jelas dapat menciptakan ketidakpastian dan menghambat pembangunan ekonomi.
Dalam keseluruhan, hukum memiliki peranan penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan ekonomi. Hukum yang jelas, stabil, dan efektif dapat mendorong investasi, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Dan ini perlu kesadaran bersama bahwa harus terciptanya kondisi penegakan hukum yang baik, dimana aturan hukum harus tetap ditegakkan, bukan karena mengejar target dalam sebuah Public Enemy dalam politik hukum dalam sebuah negara. Agar pertumbuhan ekonomi bisa dipacu kepada tingkat paling tinggi dan rational, dimana tidak semua warga negara tahu akan hukum, walaupun bagi orang yang berpendidikan sekalipun, dengan disiplin ilmu yang diluar hukum, karena kompleksitasnya hukum itu sendiri.
Adagium ignorantia juris non excusat atau “ketidaktahuan hukum tidak memaafkan” memang sering kali menimbulkan perdebatan. Prinsip ini berasumsi bahwa semua orang dianggap tahu hukum yang berlaku, sehingga ketidaktahuan tentang hukum tidak bisa dijadikan alasan untuk melanggarnya.
Namun, prinsip ini memang kadang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, karena:
- Keterbatasan akses informasi: Banyak warga negara mungkin tidak memiliki akses yang memadai untuk memahami hukum yang kompleks.
- Kompleksitas hukum: Hukum sering kali rumit dan sulit dipahami, bahkan bagi ahli hukum sekalipun.
- Keadilan substantif: Beberapa berpendapat bahwa keadilan seharusnya mempertimbangkan keadaan individu, termasuk ketidaktahuan tentang hukum.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa hukum sering kali harus menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan individual untuk mencapai keadilan yang subtansif. Boleh kita bersemangat memberantas korupsi yang merupakan Public Enemy bagi masyarakat, akan tetapi harus tetap berpegang pada aturan main dalam peraturan perundang-undangan untuk menegakan keadilan sesuai kepastian hukum yang berlaku. Disamping untuk menyelamatkan uang negara juga menjaga marwah negara ini dimata investor asing sebagai negara hukum.
Salah satu contoh paling aktual apa yang dikatakan oleh Prof Dr Romly Artasasmita guru besar Hukum Pidana Unpad Bandung di media. Prof Romli Atmasasmita, dalam kolom opininya di harian Sindo, tertanggal 10 Maret 2025, tentang keberadaan holding korporasi BUMN dalam bidang Industri jasa dan keuangan yang bernama “Danantara” dalam ulasannya Prof Romly menyoroti tentang tercapainya Good Governance (GG) dalam kaitan berdirinya Danantara, karena telah mengesampingkan ketentuan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang merupakan payung hukum ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang pengelolaan tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan yang dikesampingkan terdapat pula pada ketentuan pasal 4 B yang menyatakan bahwa keuntungan dan kerugian BUMN bukan keuntungan dan kerugian keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 bahwa kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah adalah keuangan negara. Begitu pula menyangkut tanggung jawab direksi , komisaris dan pegawai BUMN yang telah dibahas diatas, telah dilakukan imunitas sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025.
Bahwa penulis disini tidak akan masuk ranah pembahasan Danantara, akan tetapi implikasi dari direvisinya Undang-Undang BUMN menyangkut hak imunitas dan kedudukan hukum anak usaha dan cucu usaha yang berbentuk perseroan terbatas, yang memang harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, bukan merupakan kerugian keuangan negara.
Kondisi penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam kaitannya menyangkut BUMN, anak usaha dan cucu usaha BUMN dalam kaitan imunitas tanggung jawab direksi, komisaris dan pegawai BUMN, agar bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawab, dengan tenang tidak dihantui oleh terjeratnya hukum dalam tindak pidana korupsi, dimana banyak kasus telah ditangani oleh aparat penegak hukum, menyangkut BUMN baik anak usaha maupun cucu usaha, dimana direksi dan komisaris serta pegawai BUMN telah diproses hukum, baik sebelum terjadinya revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 , maupun setelah disyahkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025.
Yang terjadi saat ini dalam praktek peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi telah menyimpang dari batas yang telah ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 Undang-Undang Tipikor yang menyatakan bahwa ketentuan Undang-Undang Tipikor tidak dapat diberlakukan sepanjang pelanggaran pidana di dalam Undang-Undang lain selain Undang-Undang Tipikor tidak dinyatakan secara tegas bahwa pelanggaran pidana tersebut adalah tindak pidana korupsi, kata Prof Romli.
Demikian juga telah ditegaskan didalam pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Peradilan Tipikor yang intinya identik dengan ketentuan pasal 14 Undang-Undang Tipikor. Penyimpangan penerapan Undang-Undang Tipikor terjadi saat ini terhadap Undang-Undang lain selain Undang-Undang Tipikor, dan dinyatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Seperti misalnya pelanggaran pidana umum dalam Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Para Modal, UU Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perbankan merupakan langkah yang gegabah dan keliru bahkan bisa dikatakan sebagai Miscarriage of Justice sehingga berdampak pada keamanan dan kenyamanan para pelaku bisnis khususnya penyelenggara negara. Kekeliruan ini akibat salah dalam penafsiran oleh Aparat Penegak Hukum dinegeri ini, yang hanya fokus pada temuan kerugian negara. Sesuai pasal 2 dan 3 dari Undang-Undang Tipikor, akan tetapi mengabaikan ketentuan pasal 14 U Tipikor dan pasal 6 huruf C dari Undang-Undang Pengadilan Tipikor, yang ditafsirkan perbuatan pelanggaran yang dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi, bukan pada ada tidaknya akibat kerugian keuangan negara.
Lebih lanjut Prof Romly menyatakan bahwa Pembentuk Undang-Undang Tipikor telah menyiapkan Escape Clause yaitu pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Tipikor disitu dinyatakan jika penyidik tindak pidana khusus tidak menemukan bukti permulaan yang cukup adanya perbuatan pidana korupsi, sedangkan telah ditemukan kerugian keuangan negara, maka penyidik pidana khusus baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan dan KPK, maka penyidik harus melimpahkan berkas perkara dan tersangka kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan upaya hukum gugatan Perdata.
Bahwa akibat dari salah tafsir dan kewenangan yang begitu besar diberikan kepada Aparat Penegak Hukum, yang banyak sekali kasus yang sebenarnya dalam ranah keperdataan, dipaksa untuk diteruskan dalam Pidana Korupsi, masyarakat menilai bahwa ini sudah bukan lagi Negara Hukum yang mengacu pada aturan hukum, baik formil maupun materiil, akan tetapi merupakan negara yang berdasarkan kekuasaan lewat aparat penegak hukum.
Sementara itu, dalam wawancara terpisah menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Administrasi Negara yang Juga dari Unpad Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa, menyatakan :
Sebetulnya, bukan hanya Escape Clausul Pasal 32 ayat (1) dari Undang-Undang Tipikor sebagai pintu masuk Aparat Penegak Hukum untuk mengajukan gugatan perdata (dalam kapasitasnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, tetapi juga dapat dilakukan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dengan menggunakan Pasal 59 Undang-Undang Perbendaharaan Negara berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang tentang Keuangan Negaral. Jelas dan tegas dalam kedua ketentuan tersebut dinyatakan tuntutan ganti rugi, bukan korupsi.
Namun praktek penegakkan hukum pemberantasan korupsi yang selama ini terjadi lebih disebabkan oleh mindset Aparat Penegak Hukum bahwa setiap kali (baru) ada dugaan kerugian negara serta merta telah terjadi Tindak pidana korupsi (Vide Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor).
Mari kita tegakan aturan hukum sesuai koridor hukum yang berlaku secara adil, agar negeri ini layak disebut sebagai Negara hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan lewat penegakan hukum. Ciptakan kondisi peradilan yang adil, bukan karena kepastian hukum yang jadi tujuannya, akan tetapi muara akhir dari pada proses peradilan adalah keadilan itu sendiri. Keadilan Subtansif yang benar-benar adil dirasakan masyarakat. Apabila hal ini diterapkan dan dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, maka Indonesia akan bisa mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045.
—————————
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Masalah Sosial, Budaya, Politik dan Sejarah Bangsanya





