Oleh Goenawan Mohamad
Aneh atau tak aneh, inilah Kota Sukacita. Penulis Dominique Lapierre mengabarkannya dalam The City of Joy: di sudut-sudut miskin dan pengap Kota Calcutta, solidaritas, cinta kasih, dan harapan justru gemerlap bagai bintang pagi. Dan percayalah. Buku ini sebuah kesaksian. Mungkin juga sebuah lagu puji, khususnya buat Stephan Kovalski.
Pastor kelahiran Polandia yang memakai jins itu berdiri di dekat Said, laki-laki lepra yang tak lagi bertangan dan berkaki. Kusta juga telah menggerogoti hidungnya dan melenyapkan alisnya. Tapi laki-laki yang menderita ini, terasa oleh Kovalski, mencoba tersenyum. “Abang Stephan,” katanya, “aku tak apa apa. Tak usah kau repot-repot mengunjungiku.”
Pastor kelahiran Polandia yang memakai sepatu basket itu juga mendengarkan rintihan Sabia, anak berumur 10 tahun, tetangganya, yang mendekati ajal karena TBC tulang. Stephan Kovalski berlutut di kamarnya di perkampungan kumuh itu dan berdoa kepada Yesus, “Engkau yang mati di atas salib untuk menyelamatkan umat manusia, tolonglah aku untuk memahami misteri penderitaan. Tolonglah aku untuk mengatasinya. Tolonglah aku, di atas segalanya, melawan sebab musababnya, melawan kurangnya rasa cinta, melawan kebencian dan semua ketidakadilan yang telah menyebabkan ini.”
Senyuman Said ketika menanggungkan rasa sakit, serta keyakinan manusia kepada Tuhan yang mendengarkan doa – itu agaknya yang membuat Kovalski bertahan di tengah-tengah kesengsaraan orang-orang yang melarat di Calcutta. Ia lahir di tahun 1933 di Krasnik, sebuah kota pertambangan di Silesia. Stephan memang keturunan buruh tambang batu bara. Ketika umurnya baru 5 tahun, ayahnya membawanya pindah ke Prancis Utara, untuk memperoleh upah yang lebih baik. Tapi pada suatu hari, sang ayah ditangkap. Ia terlibat dalam pelbagai kegiatan buruh radikal. Kemudian keluarganya diberi tahu: di dalam selnya, Kovalski tua menggantung diri.
Lalu Stephan pun, setelah beberapa saat terguncang, memutuskan untuk menjadi pastor dan ikut misi. Ia mengatakan ia ingin pergi setelah ayahnya mati dengan cara sedih itu, dan sekaligus ia ingin mencapai apa yang pernah dicoba oleh ayahnya dengan cara kekerasan.
Apa sebenarnya yang dulu hendak dicoba ayah itu? Dari riwayatnya mungkin kita bisa menebak: Kovalski tua mencoba menghapuskan pengisapan dan penderitaan.
Kovalski muda, tak jadi buruh tambang, tapi pastor, dan pergi ke Calcutta dan mencoba mengatasi penderitaan. Tapi kita tak mendengar ia berbicara tentang pengisapan. Yang kita tahu dalam buku Lapicrre ini, pastor yang bersemangat ini datang untuk mengetuk pintu kemelaratan, lalu masuk. Ja bahkan seperti mencintai kemelaratan itu.
Ia menyewa sebuah gubuk di Nizamudhin Lane 49: reyot, tanpa listrik, tanpa air ledeng, tanpa perabot. Di luarnya sebuah saluran terbuka, luber dengan lanyau hitam yang busuk. Di seberangnya: seunggun sampah. Baik pemimpin parokinya yang montok maupun tetangga-tetangga barunya yang nestapa, mula-mula tak percaya bahwa Kovalski bersedia hidup di tempat semacam itu. Tapi padri dari Prancis ini merasa bahagia.
Buat apa? Dia tampaknya tak bermaksud menyebarkan agamanya di kalangan orang miskin yang kebanyakan Islam ini. Ia memang bercerita tentang penderitaaan Yesus kepada Anouar, seorang penderita kusta, yang kemudian mengerti mengapa gambar Yesus yang dibawa Kovalski tak tampil dengan mata biru bersinar-sinar. Tapi ketika menyaksikan perayaan Maulud yang gembira di daerah miskin itu, sang pastor tak luput berbisik, “Terima kasih, ya, Tuhan, sebab telah Kauberi orang-orang jelata ini kekuatan yang sungguh besar untuk beriman dan mencintai-Mu.”
Kovalski memang bukan pelopor Kristenisasi. Dia ingin berada di tengah yang jembel dan terinjak itu: penarik becak yang ditekan juragan, setengah gelandangan yang harus membayar sewa kepada satu mafia, korban-korban lepra, orang di bawah yang dilalaikan dunia bisnis dan birokrasi, dimanipulasikan oleh politik dan diteror oleh lapar, juga penyakit.
“Hanya seorang miskin yang tahu kekayaannya kemiskinan,” kata Kovalski. “Hanya seorang miskin yang tahu kekayaannya penderitaan.”
Mungkin benar begitu. Tapi Kovalski, atau setidaknya cerita Dominigue Lapierre, dalam kehendak memberi hormat yang agung kepada orang-orang miskin, terasa cenderung memuja kemelaratan itu sebagai sejenis keutamaan. Jika itu soalnya, tidakkah tiap perjuangan menghabisi kemiskinan akan berakhir cuma sebagai khianat, sementara begitu banyak orang, begitu banyak ikhtiar, tak ingin lagi mengalami dan menyaksikan lumpur itu?
Saya kira tak mudah bagi Stephan Kovalski buat menjawabnya. Seperti diakuinya sendiri, ia hanyalah seorang sukarelawan untuk kemelaratan – bahkan dengan antusiasme. Ia memilih. Sementara itu, berjuta manusia lain — di Calcutta, di Jakarta, dan entah di mana lagi, tidak: kemiskinan adalah belenggu yang berat, yang panjang, yang mungkin membuat kita sedih dan terkadang bijaksana.
*****************
Sumber Tulisan dari Buku Kata, Waktu – Esai-esai Goenawan Mohamad 1960 – 2001, Pusat Data Analisa Tempo




