Oleh Ignas Kleden
Dalam banyak pidato dan buku-buku resmi biasa dikemukakan tiga semboyan, tercatat tiga tindakan dan dianjurkan tiga kebajikan nasional, yang selalu dikaitkan dengan kemerdekaan, yaitu merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. Walaupun semboyan-semboyan tersebut sudah muncul begitu saja, namun jelas terlihat, ada hal yang menarik di situ, yakni perkembangan kesadaran mengenai kemerdekaan.
Proklamasi Republik Indonesia yang sudah kita hafal setiap kalimatnya, pada dasarnya suatu deklarasi tentang “pemindahan kekuasaan”. Jadi, suatu deklarasi tentang kemerdekaan politik, di mana kekuasaan memerintah negeri ini yang tadinya berada di tangan pemerintahan asing, kini dialihkan ke tangan para pemimpin bangsa kita sendiri. Namun, perumus naskah proklamasi yang singkat itu ternyata mempunyai pikiran yang panjang, karena setelah pernyataan mengenai pemindahan kekuasaan langsung ditambahkan “dan lain-lain”.
Dilihat dari masa sekarang maka pernyataan ”dan lain-lain” itu mempunyai dasar yang mendalam dan membawa implikasi yang luas. Karena, kemerdekaan yang diperjuangkan itu kiranya lebih luas lingkupnya dari sekadar pemindahan kekuasaan, yang seyogianya harus disusul oleh peralihan cara hidup, perubahan sistem kemasyarakatan, reformasi kehidupan kesenian dan penggalakkan kreativitas intelektual. Berarti, pemindahan kekuasaan adalah langkah revolusioner pertama yang berlangsung “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” untuk mengawali dan memungkinkan “pemindahan budaya” yang akan berlangsung dalam suatu evolusi yang jauh lebih lambat dan panjang.
Kalau semboyan merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan kurang-lebih mempunyai kaitan khusus dengan pemindahan kekuasaan, maka semboyan mengisi kemerdekaan berhubungan secara khusus dengan usaha pemindahan budaya, dalam arti yang baru diuraikan.
Sudah jelas, bahwa pemindahan budaya merupakan proses dengan besaran yang sukar diduga, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan cara hidup suatu bangsa, berupa peralihan dari cara hidup suatu bangsa yang terjajah dan bergantung pada cara hidup suatu bangsa yang berdaulat dan merdeka. Dengan kata lain, dibutuhkan peralihan dari suatu masyarakat yang susunannya ditentukan oleh orang lain kepada masyarakat yang menentukan sendiri organisasi masyarakat dan struktur sosialnya, dan memilih sendiri sistem nilainya.
Pemindahan budaya itu merupakan keharusan, sebab sekalipun penjajahan yang kita alami adalah suatu penjajahan politik, namun akibat yang dibawa oleh penjajahan itu tidak dapat tidak memasuki berbagai bidang, yang belum semuanya dapat dipulihkan oleh kemerdekaan politik, yang diresmikan oleh prokiamasi kemerdekaan.
Dalam bidang ekonomi, kita menyaksikan suatu peningkatan kemakmuran umum yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan zaman kolonial, namun berbagai dualisme perkembangan ekonomi yang dilembagakan pada masa penjajahan belum teratasi dengan memuaskan, apakah itu dualisme antara sektor tradisional, dualisme antara sektor formal dan informal, atau dualisme antara perkembangan kota dan desa, yang sekaligus melibatkan dualisme antara industri dan pertanian.
Dalam bidang hukum terbuka, kesempatan yang jauh lebih luas bagi para warga untuk membela hak-hak mereka melalui saluran hukum, namun masih sering terdengar keluhan para ahli hukum kita, tentang masih berlakunya berbagai produk hukum kolonial, yang beberapa di antaranya tidak begitu simpatik lagi untuk iklim hukum dalam alam kehidupan merdeka.
Dalam bidang pendidikan terjadi perluasan kesempatan belajar secara besar-besaran, namun dengan prospek yang belum begitu gemilang baik tentang mutu pendidikan maupun tentang mutu pengajaran. Masih sering kita saksikan bahwa para pelajar dan siswa kita yang belum begitu sanggup berkelahi dengan baik dalam diskusi dan debat di kelas, sudah sangat pandai berkelahi secara fisik di jalanan. Agak paradoksal bahwa dalam sistem pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, belum cukup diutamakan pertumbuhan kecerdasan, dan dalam suatu negara yang terkenal berhasil menciptakan kestabilan polirik, kestabilan sistem pendidikan seakan-akan buyar.
Dalam budaya politik kita melihat terbentuknya suatu elite politik yang semakin terdidik, dengan basis informasi yang jauh lebih canggih, tetapi yang secara mental belum sanggup mengemansipasikan dirinya dari godaan feodalisme lama, yang muncul kembali dalam suatu format baru secara asimetris. Hak-hak aristokratis seakan dikejar-kejar (yaitu mobilitas ke arah noblesse), tetapi kewajiban dan tanggung jawab aristokratis masih banyak diabaikan (antara tain karena status noblesse yang mudah diambil alih dari etos noblesse oblige).
Dalam organisasi sosial terlihat bahwa kepemimpinan politik dan kepemimpinan ekonomi yang secara sistematis ditumpas oleh penjajah Belanda, masih meninggalkan bekas nyata dalam terlambatnya pembentukan kelas menengah pribumi, bahkan sampai sekarang. Yang kita lihat bermunculan dewasa ini adalah kelompok-kelompok dengan kemungkinan ekonomis yang lebih baik, yang sanggup dan lebih berkesempatan untuk menampung efek trickle down dari pertumbuhan ekononmi, tetapi masih narus membuktikan kemampuannya dalam organisasi dan dalam memantapkan sistem-nilai kelas menengah yang secara khas ditandai oleh entrepreneuria unpedictability.
Dalam birokrasi terjadi perluasan yang ekspansif dari klasikalisme gaya lama, yang masih harus berjuang keras untuk mencapai suatu efisiensi gaya baru.
Bidang komunikasi mengalami sofistikasi teknologis yang serba cepat, tanpa kira tahu cukup banyak tentang kontribusinya dalam mendekatkan para warga secara sosial-politik. Apakah volume informasi yang meningkat, melibatkan juga apresiasi sosiai-budaya yang lebih mendalam? Masih banyak yang rupanya harus dilakukan, supaya di Indonesia dapat dibuktikan kesalahan sebuah kritik: alat-alat kormunikasi modern baru sanggup rnengurangi jarak secara fisik, terapi belum sanggup memperkecil jarak secara eksistensi.
Tenwu saja ada beberapa prestasi yang sangat gemilang. Dan kita boleh berlega hati, bahwa dalam bidang bersangkutan kernerdekaan telah tercapai dengan memuaskan. Ambillah bahasa sebagai contoh soal. Dewasa ini para cendekiawan kita tidak lagi merasa malu, kikuk apalagi terhalang untuk mendiskusikan masalah apa pun dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemerintah ternyata dapat menyampaikan pesan dan instruksi mana saja dalam bahasa Indonesia, sementara para sastrawan kita sudah berhasil menciptakan suatu tingkat keharuman untuk nama Indonesia sebagai medium kreasi mereka.
Demikian pula integrasi nasional ternyata sanggup mengurangi provinsialisme dan partikularisme eksklusif antara berbagai kelompok, sehingga kelompok etnik, agama, daerah, ras ataupun subkultur tidak lagi menjadi halangan pada tingkat nasional. Divide et impera telah sanggup disulap secara cerdas dan efektif menjadi bhinneka tunggal ika.
Refleksi kecil ini dapat menyumbangkan sebuah pengertian penting, yang kebenarannya dapat diverifikasi daiam sejarah kita: lembaga-lembaga politik dalam pemerintahan dan negara memerlukan lebih sedikit waktu untuk diperbaiki, dipulihkan dan diperbarui dari pranata-pranata sosial dalam masyarakat, dan inflasi nilai uang ternyata jauh lebih mudah dikontrol dari inflasi nilai-nilai budaya dan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
Kita ingat dengan penuh hormat, sukses besar para teknokrat Indonesia yang sanggup menekan inflasi 600 persen pada akhir 1956 menjadi hanya 15 persen pada tahun 1968. Sebaliknya, kita menyaksikan dengan prihatin kebiasaan korupsi pada berbagai tingkat dan jenis masih terus berulang, walaupun sudah dicoba berbagai usaha pengawasan dan pencegahan.
Contoh ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa para ekonom kita lebih siap dan lebih tanggap daripada para ilmuwan sosial, atau bahwa ilmu ekonomi mempunyai analytical tools yang lebih maju dan perlengkapan operasional yang lebih sempurna daripada ilmu-ilmu budaya.
Kesimpulan yang lebih berguna bahwa masalah-masalah sosial budaya pada dasarnya lebih sulit terpegang, kurang tangible, dibandingkan dengan masalah-masalah politik praktis atau ekonomi, tidak pernah bisa ditangani dengan keefektifan yang spektakuler, seperti dalam kedua bidang lainnya, tetapi membawa kesulitan yang lebih perlahan dalam perkembangannya, tetapi lebih mendalam daya rasuknya dan lebih sukar dan lebih lambat untuk dipulihkan.
Dalam pada itu, kita tahu juga hahwa perubahan struktur politik tidak dengan sendirinya membawa serta perubahan nilai-nilai politik, sementara sukses pembangunan ekonomi tak dapat menghindari munculnya perkembangan sampingan yang problematis.
Betapapun tak enak untuk mengatakannya, namun kenyataan sejarah modern kita tak bisa dan tak perlu dipungkiri, sukses pembangunan ekonomi lebih cenderung menimbulkan daripada memecahkan masalah-masalah sosial-budaya (suatu gejala yang sering ditanggapi secara keliru, seolah-olah kelompok ilmuwan sosiallah yang lebih suka menjadi problem maker daripada menjadi problem solver).
Walaupun demikian, tak seorang pun dewasa ini yang dernikian pandirnya untuk berkesimpulan: jadi, stop pembangunan ekonomi! Urgensi dewasa ini adalah mengimbangi perencanaan ekonomi dengan strategi sosial-budaya, menyempurnakan model analisis sosial-budaya untuk melengkapi atau mengoreksi model analisis ekonomi. Karena hanya dengan dasar itu kita dapat berbicara tentang suatu pembangunan sosial-budaya.
Adalah suatu langkah penting di tanah air kita, bahwa telah dicanangkan dengan suatu keberanian besar, bahwa pembangunan haruslah dipahami untuk tujuan terbentuknya manusia utuh dan terciptanya kesejahteraan masyarakat seluruhnya—suatu rumusan yang terang semakin mempersulit perencana ekonomi (karena diandaikan ceteris non paribus), tetapi lebih menguntungkan masyarakat luas, kalau saja dapat dilaksanakan. Pertumbuhan manusia yang utuh berarti, tidak dikehendakinya desintegrasi kebudayaan (karena tak ada orang yang bertumbuh wajar dalam kebudayaan yang centang-perenang). Dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya berarti, tidak dikehendakinya detotalisasi masyarakat (di mana suatu bagian dianggap keseluruhan, dan satu sektor dianggap mewakili semua sektor).
Menarik. bahwa dalam proklamasi kemerdekaan eksplisit dinyatakan bahwa “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan, dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Dengan pernyataan itu, negara-bangsa Indonesia merdeka memulai riwayat hidupnya. Kemudian, Ketika Orde Baru dimulai dengan menerima warisan ekonomi yang hancur-lebur dari Orde Lama, terasa bahwa tekad utama pemerintah Orde Baru untuk tetap berorientasi pada pernyataan proklamasi, dengan menggeser titik perhatian. Tekad itu seakan-akan berbunyi: “Hal-hal mengenai stabilisasi ekonomi dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Kini, kita boleh kiranya bertanya, apa makna sebenarnya dari ungkapan “dan lain-lain” dalam konteks sejarah modern kita? Secara harafiah, “dan lain-iain” adalah terjemahan dari ungkapan Latin yang sudah bersifat internasional: et cetera. Namun, secara intelektual, sengaja ataupun kebetulan, ia menjadi saduran agak bebas dari konsep ceteris paribus. Mengatakan ”dan lain-lain” berarti menganggap yang lain-lain tidak/belum menimbulkan masalah, tidak perlu dipandang problematis, karena tidak banyak perubahan yang akan terjadi di situ.
Namun, apa yang terjadi? Terpusatnya perhatian pada bidang politik secara tunggal nada sejak kemerdekaan dan sepanjang masa Orde Lama, telah ditutup dengan ambruknya perekonomian nasional sebagai finalnya. Kemudian, konsentrasi perhatian pada bidang ekonomi sejak awal Orde Baru, ternyata kemudian menimbulkan berbagai masalah sosial-budaya, yang pada mulanya dikualifikasikan sebagai akibat sampingan dari pembangunan ekonomi, sebelum kita sekarang akhirnya menyadari bahwa masalahnya jauh lebih serius daripada sekadar akibat sampingan, atau akibat yang untuk sementara boleh dikesampingkan.
Pelajaran mahal yang kita peroleh melalui kursus panjang selama empat dasawarsa, bahwa cara pandang dan cara tindak yang cenderung melakukan detoralisasi masyarakat, memutlakkan satu sektor lainnya hanya sebagai “dan lain Jain”, memang dapat, boleh dan bahkan harus diterapkan sebagai suatu penyelesatani provisoris karena urgensi praktis dan desakan waktu. Akan terapi, dalam jangka yang lebih panjang rupanya tidaklah realistis, karena tidak cocok dengan hakikat masyarakat, yang pada dasarnya kompleks.
Suatu masyarakat hidup adalah suatu Lebenswelt menurut pengertian kaum fenomenolog, di mana semua fungsi dan kebutuhan hadir dan bercampur, tanpa yang satu menjadi total dan mutlak. Dalam suatu Lebenswelt, tiap orang mencari nafkah, tetapi tidak semua mereka menjadi ekonom, tiap orang berpikir dan bertanya tanpa semua mereka menjadi filsuf, tiap orang pada waktu-waktu tertentu menikmati dan mengalami keindahan, tetapi hanya beberapa di antaranya yang menjadi penyair, tiap orang pada saat-saat yang khusus akan berdoa dan memikirkan Tuhan, tetapi tidak tiap mereka ulama atau pendera, dan pada sangat banyak kesempatan, tanpa menjadi camat atau anggota DPR, tiap orang akan memikirkan negara dan nasib negerinya.
Tidak jarang terjadi – dan praktis sangat banyak orang yang masih menderita keadaan ini – bahwa kemerdekaan politik tidaklah selalu disusul dengan segera oleh kemerdekaan budaya. Sekelompok orang yang tidak lagi dijajah secara politik, masih harus tetap berjuang keras untuk memperoleh kemerdekaan secara budaya. Keadaannya agak mirip dengan situasi seorang bekas tahanan, yang sudah bebas dari penjara, tetapi belum bebas secara sosial, baik karena rnasyarakat belum siap menerimanya kembali maupun karena dia sendiri belum siap menerima kembali kebebasannya.
Ketergantungan ternyata bukan hanya menjadi nasib dan penderitaan, tetapi juga – khususnya pada tahap yang patologis – menjadi kebutuhan dan kenikmatan. Demikian pula, menentukan nasib sendiri bukan saja menjadi kehormatan dan kebanggaan, melainkan juga – khususnya pada situasi yang marginal—dapat menjadi beban, tanggung jawab dan bahkan kecemasan. Seseorang yang tidak merdeka akan memilih manisnya diurus orang lain daripada pada mengurus diri sendiri.
Dalam hubungan itu, seorang menjadi merdeka secara budaya, kalau dia dengan sadar memilih suatu sistem nilai untuk dianutnya, meskipun dia tahu berbagai kelemahan sistem nilai tersebut dan menerima juga simbol-simbol tersebut untuk mengungkapkan nilai termaksud. Kemerdekaan budaya – dalam analogi—adalah kebebasan seorang pemuda, yang memutuskan untuk menikahi seorang gadis, meskipun dia mengenal dengan baik kekurangan dan kelemahan calon istrinya (dan bukan karena ilusi dan idealisasi, bahwa wanita pilihannya adalah seorang manusia tanpa cela).
Dalam praktek semua itu berarti, seorang yang merdeka secara budaya bisa saja memberi nilai tinggi kepada kecerdasan dan keterpelajaran, tetapi tidak akan memutlakan gelar doktorandus yang menjadi simbolnya. Dia mungkin juga mengutamakan kemajuan ekonomi, tetapi sanggup membedakan kemajuan ekonomis dari simbol-simbol konsumtif.
Seorang yang merdeka secara budaya barangkali sangat menghargai solidaritas dan mau berkorban untuknya, sambil tetap mempertahankan sikap bahwa berlaku solider tidaklah identik dengan selalu berkata ”ya” kepada kemauan kelompoknya, seperti juga loyalitas adalah kebajikan yang lebih banyak tuntutannya daripada sekadar membenarkan ucapan atasannya. Setiakawan tidaklah sederhana seperti fraternite terreur dan hormat sejati tidaklah setali tiga uang dengan perasaan gentar di hadapan senilitas.
Hubungan simbol budaya dan nilai budaya ini mempunyai perwujudan yang praktis. Kalau pengambilalihan lembaga-lembaga politik tidak dengan sendirinya mengakibatkan pembaruan nilai-nilai politik, demikian juga pengambilalihan simbol-simbol budaya belum dengan sendirinya berarti diterimanya nilai-nilai budaya, yang dicoba diungkapkan dalam simbol-simbol tersebut.
Selanjutnya, kalau kemerdekaan politik terwujud sepenuhnya, apabila dalam lembags-lembaga poltiik terjadi sosialisasi nilai-nilai politik baru vang berbeda dari nilai-nilai politik kolonial, kemerdekaan hudaya pun akan tercapai, apabila dalam simbol-simbol kebudayaan yang diterima, diintegrasikan juga nilai-nilai budaya yang dicita-citakan.
Dengan demikian, kemerdekaan budaya rupanya terwujud melalui kesadaran tentang relatifnya suatu sistem nilai dan pengertian dan penerimaan terhadap keterbacasan simbol-simbolnya. Suatu sistem nilai masih selalu punya peluang untuk disempurnakan, dan antara nilai budaya dan simbol-simbolnya bisa terbentang jarak yang panjang. Simbol budaya ternyata bisa mengungkapkan nilai, tetapi sekaligus sanggup juga menyembunwikan dan bahkan mengkhianati nilai budaya.
Dalam praktek, seorang yang merdeka secara budaya akan sadar bahwa tidak setiap sajak adalah puisi, tidak setiap garis adalah lukisan, tidak setiap nada membuat lagu, tidak setiap senyum adalah persahabaran, tidak setiap uluran tangan adalah bantuan, tidak seriap persetujuan adalah pembenaran, tidak setiap peningkatan pendapatan berarti kemakmuran, tidak setiap upaya menyimpan keagungan, tidak setiap kecanggihan berarti kemajuan, tidak setiap kenakalan berarti kejahatan, tidak setiap sopan-santun adalah kehalusan, dan tidak setiap kebebasan adalah kemerdekaan.
———————-
Sumbert Tulisan dari Buku Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, Kompas, 2001