Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
SMA Sadar Jaya awalnya merupakan sebuah oase ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota kabupaten. Kepala Sekolah, Pak Marzuki, seorang yang kalem dan berwibawa, berhasil menghadirkan harmoni yang nyaris sempurna di seluruh lingkungan sekolah.
Guru-guru bergaul akrab di ruang guru yang wangi kopi dan tawa pelan, bekerja sama tanpa gesekan. Murid-murid belajar dengan tekun, hasil ujian selalu di atas rata-rata, membuat reputasi sekolah yang serba tenang, damai, dan teratur—sebuah model kesuksesan yang diukur dari ketiadaan masalah.
Ketenangan mapan itu pecah seperti kaca yang jatuh dari ketinggian pada hari Pak Samsul datang. Guru muda berusia dua puluh tujuh tahun, mengenakan kemeja cerah, kacamata bingkai tebal, dan energi yang meluap-luap, tiba untuk mengajar mata pelajaran Sejarah.
Kehadirannya yang dinamis segera terasa asing dalam atmosfir Sadar Jaya yang serba sunyi dan terstruktur. Di rapat guru pertamanya, setelah Pak Marzuki selesai dengan pidato penyambutan yang tenang dan penuh pujian atas stabilitas sekolah, Pak Samsul tiba-tiba berdiri.
Semua mata tertuju padanya saat ia mengucapkan kata-kata pembuka yang langsung menusuk ke jantung kemapanan, “Bapak, Ibu, saya mohon maaf, tapi saya harus mengatakan: Sekolah ini… sekolah ini terlalu tenang.”
Seketika, ruangan menjadi hening, sebuah keheningan yang lebih dalam daripada keheningan biasa di rapat guru.
Pak Marzuki, pribadi yang dikenal selalu tenang, hanya bisa mengerutkan kening karena terkejut dengan keberanian dan nada bicara guru barunya ini, yang langsung mendobrak tradisi basa-basi dan keramahan.
Pak Samsul melanjutkan dengan suara lantang yang tegas, menantang semua yang hadir. “Tidakkah Bapak dan Ibu merasa ada yang kurang? Tidak ada perdebatan yang sengit, tidak ada kegelisahan yang produktif, tidak ada api cinta yang berkobar-kobar untuk pendidikan sejati. Mengapa kita hanya fokus pada ketenangan? Ayo kita ramaikan dunia ini! Bakar sekolah kita dengan semangat! Buat kegiatan, buat debat, buatlah kegelisahan! Ketenangan hanyalah kuburan bagi ide-ide baru!”
Kata-katanya yang provokatif itu segera menjadi percikan api di jerami kering. Malam itu, di grup pesan singkat guru, perpecahan pun dimulai.
Para guru terbelah menjadi dua faksi: “Kelompok Penjaga Stabilitas” yang dipimpin oleh Bu Ratna (Guru Matematika yang disiplin) dan “Kelompok Pendobrak” yang secara implisit dipimpin Pak Samsul, menuduh Pak Samsul provokator yang merusak tata krama, sementara kelompok minoritas mengakui bahwa kurikulum sekolah memang terasa hambar dan butuh guncangan.
Di kalangan murid, kekacauan makin menjadi-jadi. Pidato Pak Samsul yang sering menggunakan metafora “api”, “pemberontakan ide”, dan “gejolak pemikiran” membuat sebagian murid terinspirasi untuk berpikir kritis, tetapi sebagian besar merasa terancam dan bingung dengan tuntutan untuk tidak hanya menerima.
Puncaknya, muncul Provokator Gelap—seorang murid tak dikenal—yang menyebar pamflet dan pesan berantai menghasut: “Gulingkan Samsul! Dia merusak ketenangan belajar kita!”
Namun, di tengah badai itu, hanya ada lima suara yang berdiri teguh membela Pak Samsul: Yoyok, si idealis; Kuncung, si penyair; Armah, si ketua OSIS; Anna, si pemikir logis; dan Robby, si aktivis. Mereka berlima, yang dijuluki “Lima Kritis”, tak henti berargumen di mana pun—di kantin, di depan ruang guru, bahkan di media sosial sekolah, menantang pandangan mayoritas yang hanya menginginkan kedamaian semu.
“Pak Samsul tidak menghasut demo; Beliau memprovokasi pikiran kita!” ujar Anna tegas saat debat terbuka di aula sekolah, menghadapi pandangan cemas banyak orang tua. “Ketenangan yang selama ini kita banggakan itu hanyalah zona nyaman yang mematikan kreativitas dan kemampuan kami untuk berargumen! Kami tidak diajarkan untuk hidup, hanya diajarkan untuk patuh.”
Mendengar kekacauan yang meluas hingga ke telinga komite sekolah dan wali murid, Pak Marzuki berada di persimpangan jalan. Ia sempat mulai menyusun surat pemberhentian kerja Pak Samsul. Namun, setiap kali ia memegang pena, ia teringat wajah Yoyok, Anna, dan teman-temannya yang begitu bersemangat berdebat dan mempertanyakan, yang membuat keraguan besar menyergapnya—mungkinkah ketenangan yang ia jaga selama ini adalah sebuah kesalahan?
Akhirnya, diselenggarakanlah Rapat Akbar Wali Murid yang dihadiri komite sekolah, guru, dan Lima Kritis sebagai perwakilan. Setelah banyak cercaan dari wali murid yang cemas, giliran Yoyok berbicara dengan wajah memerah karena emosi.
“Bapak, Ibu Wali Murid, saya dan teman-teman tidak sedang terganggu; Kami sedang hidup!” Yoyok berteriak. “Sebelum ada Pak Samsul, kami hanya robot yang mencatat dan menghafal. Kami tenang, tapi kami mati suri! Kami butuh energi pendobrak!”
Setelah Yoyok, Anna, dan Armah selesai bicara, keheningan yang panjang menyelimuti ruangan. Pak Budi, Ketua Komite Sekolah, berdiri dan mengangguk. “Kami takut kegaduhan,” katanya perlahan. “Tapi… yang dikatakan anak-anak ini benar. Ketenangan itu bagus, Pak Kepsek, tetapi jika ketenangan itu berarti tanpa pertanyaan, tanpa perlawanan ide, tanpa gejolak… itu namanya kemandulan. Kita butuh energi pendobrak.”
Satu per satu wali murid mengangguk, menyadari bahwa mereka telah bertobat dari ketenangan palsu, dan Pak Marzuki tersenyum.
Keesokan harinya, Pak Marzuki merobek surat PHK yang belum selesai. SMA Sadar Jaya kini tidak lagi sama. Mereka tidak tenang, tetapi mereka tidak juga kacau. Mereka riuh oleh debat klub, seminar filosofi, dan perdebatan sengit tentang kurikulum yang penuh dengan energi gairah yang dikelola.
Ketenangan telah diganti dengan kegembiraan berdialektika, dan Pak Samsul tetap menjadi guru Sejarah, pemicu api yang kini diarahkan membakar semangat siswa-siswi yang akhirnya tahu dan mengerti bahwa pendidikan sejati adalah tentang menjadi gelisah dan berani membakar ide yang sudah usang.
******************