Bumi ini mahligai, tempat jiwa bersemayam,
Awalnya utuh, kini terdera, lalu kubangun kembali,
Jauh di sana, pandangku terpaku pada nirwana,
Di puncak gunung Arjuna dan Anjasmara,
Duduk bersila, melamunkan kabut yang membebat kalbu.
Sebuah tatapan merengkuh sunyi, tanpa batas dan tepi.
Bukankah jiwa raga ini bagian dari jasad semesta?
Mengapa kini raga dan citra seakan kaku,
Di antara hening yang menyimpan rahasia ilahi,
Tentang titah menjaga warisan, bukan merampasnya.
Telah tiba masanya, sukma haruslah terbang,
Rentangkan sayap, menembus cakrawala yang muram,
Sebab rintihan duka limbah menganak sungai jelaga,
Meracuni setiap urat nadi alam, tanpa kasih dan jeda.
Oh, betapa perih rasa sabetan waktu yang merobek sukma,
Membakar nurani dengan bara penyesalan yang tiada padam.
Dilema mendera jiwa: haruskah diam seribu bahasa,
Menerima nasib sunyi tanpa daya upaya fana?
Ataukah bangkit, bergerak melawan arus kealpaan manusia,
Mencari kembali makna bakti pada Ibu Pertiwi.
Seribu pulau telah kususuri dengan langkah tak pasti,
Dari barat ke timur, jejak kaki tak kunjung menemukan damai.
Dalamnya samudera telah kuselami, menembus palung duka.
Namun udara kian sesak, napas tersekat di ruang yang sempit,
Bukan karena jarak, namun karena racun keserakahan yang pekat.
Semua bisikan arif, nasihat terucap bagai gema di padang lengang,
Tenggelam dalam riuh rendah nafsu duniawi yang tak berkesudahan.
Di mana gerangan manusia berakal? Moralitas tergerus,
Dan Nurani seolah hilang ditelan gelapnya ambisi.
Maka kudengar bisikan laut di ujung utara jiwa,
Suara purba yang menyerukan: saatnya telah tiba,
Mewujudkan kembali janji pada harmoni semesta.
Dengan tangan teguh, duri dalam daging kemungkaran tercabut,
Limbah keserakahan dan racun kealpaan harus sirna tanpa bekas.
Hingga kelak, lautan luas kembali tenang dan membiru,
Menjadi cermin agung bagi langit yang merestui,
Dan Bumi, kembali menjadi Rumah Kita, abadi dalam pusaran waktu.
——————————————–

Penulis adalah Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan





