Oleh Rofinus Pati
Bonus hari itu sangat istimewa di pantai selatan, pulau Flores bagian timur. Sabtu, 13 September 2025 merupakan hari bersejarah bagi warga Desa Kawalelo yang bertempat di Lewookin, dusun Likotuden. Desa Kawalelo termasuk dalam rumpun budaya Lamaholot yang meliputi masyarakat adat di Kabupaten Flores Timur (Solor dan Adonara), termasuk sebagian di Kabupaten Lembata.
Kesempatan ini juga dikatakan bersejarah, karena narasinya lain dengan sebelumnya. Dua sekolah diundang dan diliburkan sebagai bentuk apresiasi terhadap kearifan lokal dalam keragaman budaya nusantara. Tidak seperti pelaksanaan lima atau enam tahun silam, sehingga suasana desa kali ini, terasa semakin hidup, bergairah, sekaligus sakral. Semua warga Kawalelo rela berkorban berhari-hari dan tetap bersemangat, meskipun tubuh didera keletihan.
Warga dua sekolah dan juga penghuni asrama yang sebagian terbesarnya adalah pendatang dan berdomisili di Likotuden, mengikuti hajatan adat yakni pergantian atap rumah adat (korke) yang sudah lapuk dimakan usia, sebab atapnya dari daun lontar. Sekolah Dasar Inpres (SDI) Likotuden dan SMK ANCOP Berasrama Likotuden berpartisipasi aktif sejak awal, terutama pada pertemuan koordinasi dari Panitia bersama dengan Kepala SMK ANCOP Berasrama: Romo Alfonsus Wungubelen, Pr.
Demikian juga halnya dengan Kepala SDI Likotuden: Bernadus Maubei Watokola. Untuk keperluan konsumsi, SMK ANCOP turut menyumbangkan bagiannya (antar dulang) sehingga kegiatan adat tersebut berjalan lancar. Selain itu, para guru dan pegawai turut hadir di korke bersama warga dan setia mengikuti prosesi adat dari awal sampai akhir di bawah bimbingan para tokoh adat dari keempat suku sakat, yakni Bapak Petrus Lawe Kolah (suku sakat: Watokola), Bapak Yohanes Ratu Hera (suku sakat: Hera Koten), Bapak Petrus Lado Kiwan (suku sakat: Kiwan) dan Bapak Boli Hera (suku sakat: Hera Kelen).
Rumah Allah dan Rumah Adat
Kegiatan adat setelah pergantian atap rumah adat (korke) didahului dengan perayaan ekaristi di gereja Santo Yohanes Pembaptis, Lewookin, Likotuden, pada pkl 08.00 Wita dan dipimpin Romo Paroki: Wilhelmus Ola Baga, Pr. Romo Wili (demikian biasa disapa) menegaskan pentingnya memberi diri secara penuh kepada Allah sebagai umat Allah dan kepada adat sebagai warga/masyarakat adat.
“Hari ini kita semua bersyukur kepada Tuhan karena telah selesai mengatap rumah adat. Kita percaya bahwa Tuhanlah yang memungkinkan kegiatan adat ini berlangsung sejak beberapa hari yang lalu, sampai pada saat puncak hari ini. Oleh karena itu, saya berharap agar kita sungguh-sungguh memberi diri di rumah adat dan juga di rumah Allah ini. Jangan setengah-setengah”, demikian Romo Wili yang sekitar setengah jam sebelum memimpin perayaan ekaristi, masih mendatangi korke untuk memantau keadaan terkini.
Betapa indah! Warga melihat rumah adat sebagai rumah nostalgia, rumah para leluhur yang telah meninggal, namun tidak pergi untuk selamanya, melainkan selalu hidup kembali, tidak hanya dalam ruang hati yang merindu, melainkan tinggal di rumah adat (korke), sehingga tetap berada dekat dengan keluarga dan sanak saudaranya. “Roh” para leluhur diyakini tetap hidup dan selalu mewariskan nilai-nilai kebaikan dan keluhuran yang mesti ditiru dan diterapkan oleh segenap anggota keluarga yang sekarang masih hidup di bumi ini.
Dalam kotbahnya, Romo Wili juga menegaskan, rumah adat patut diperlakukan sebagaimana mestinya. Nenek moyang dahulu sangat bijaksana. Mereka menempatkan rumah adat (korke), di tengah dan dikelilingi rumah-rumah suku. Posisi ini mau menjelaskan bahwa korke menjadi pusat yang mempersatukan, menguatkan, meneguhkan semua warga suku dalam suatu kehidupan yang harmonis dan damai.
“Rumah adat harus diperlakukan sebagai tempat yang sakral. Tidak boleh sembarang orang bisa masuk ke sana. Untuk itu, perlu dibuat pagar keliling. Posisi korke berada di tengah, mau menunjukkan bahwa sebagai warga adat di sini, kita harus bersatu dan saling mendukung, bukan saling menjatuhkan, agar tercipta kehidupan yang rukun dan damai”, demikian Romo Wili yang pernah melayani umat di Dekenat Lembata.
Rumah Adat dari Sudut Pandang Kaum Esensialis
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat dua nama yaitu esensi dan esensial. Esensi berarti “dasar”, “inti”, “hakikat”. Sedangkan esensial berarti “sangat prinsip”, “sangat berpengaruh”, “sangat perlu”. Dengan demikian, esensialisme mempertahankan sesuatu yang mendasar, yang fundamental. Hal yang mendasar itu merupakan unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Sesuatu yang mutlak itu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sesuatu yang mutlak itu bertahan dari waktu ke waktu, masa ke masa, sebagai tradisi dalam satu kebudayaan.
Jadi, kaum esensialis adalah orang-orang yang mempertahankan sesuatu yang mendasar, mutlak, yang diwariskan dari generasi terdahulu untuk diturunkan kepada generasi di bawahnya. Begitu pula masyarakat adat di Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, NTT, yang melestarikan adat, terkhusus aktivitas pergantian atap rumah adat (korke) ketika atap yang terbuat dari daun lontar atau alang-alang sudah lapuk oleh musim panas dan hujan.
Kaum esensialis juga berprinsip bahwa ada suatu ide atau konsep dasar terlebih dahulu, baru sesudah itu muncul bentuk yang nyata dari konsep itu. Istilah yang biasa dipakai: “esensi mendahului eksistensi”. Alur berpikir seperti ini sudah dirintis oleh para pemikir klasik seperti Plato (hidup sekitar tahun 428/427, meninggal sekitar tahun 348/347 Sebelum Masehi) sejak zaman Yunani Kuno. Dunia ide-ide hadir terlebih dahulu, baru kemudian materi (dunia nyata). Secara sederhana, ada ide atau pikiran tentang meja terlebih dahulu, sesudah itu baru dibuatkan meja yang nyata sesuai dengan ide tadi.
Dalam konteks masyarakat adat terkait rumah adat, ide atau pemikiran bahwa kakek moyang yang telah meninggal dunia, “roh”-nya masih selalu ada dan dekat dengan keluarga yang masih hidup. Oleh karena itu, didirikan rumah adat sebagai tempat hunian bagi “roh” mereka, sehingga tetap “hidup” berdampingan dengan segenap keluarga yang masih hidup. Ide atau gagasan tentang rumah bagi leluhur yang pada mulanya belum nyata atau hanya dalam pikiran, kini dinyatakan dengan mendirikan sebuah rumah adat dengan bahan-bahan asli dari alam seperti di zaman kakek moyang.
Dalam pandangan Aristoteles (384-322 Sebelum Masehi), tentang “substansi” dan “aksidensi”, budaya pergantian atap rumah adat (korke) masih cukup relevan. Masyarakat adat yang selalu melestarikan budayanya berupa pergantian atap rumah adat, sekali dalam lima atau enam tahun, merupakan substansi, sesuatu yang mendasar, pasti dan tidak berubah sejak dahulu, sebab dijalankan sampai kini.
Bahkan, jaringan keluarga yang jauh di perantauan, berlomba-lomba mengadakan waktu untuk mudik dan menghadiri acara besar yang melibatkan semua suku sakat (clan) dalam desa. Kegiatan ini pun bukan sekedar suatu aksidensi (kebetulan), yang sifatnya dapat berubah-ubah atau tidak pasti, sebab selalu dijalankan lewat komunikasi intensif dengan semua keluarga di mana pun berada.
Rumah Adat dari Sudut Pandang “Ketimuran”
Ada satu hal lagi yang menarik. Kita perlu melihat sejenak, bagaimana dunia Barat (orang-orang Barat) yang menganggap kebudayaannya sudah lebih tinggi atau lebih maju dan bagaimana mereka menilai kebudayaan-kebudayaan daerah di belahan bumi lain. Dari sana, kita bisa melihat satu konsep berpikir secara umum yang pernah, bahkan masih ada di dunia, dalam pembicaraan tentang kebudayaan.
Adalah Edward Said, seorang berdarah campuran Palestina dan Amerika Serikat, lahir tahun 1935. Said adalah seorang doktor lulusan Universitas Harvard, Inggris. Dia terkenal karena bukunya berjudul Orientalism (Orientalisme) yang terbit tahun 1975.
Orientaslisme (Bahasa Latin, dari kata “oriens”/”orientem”/”orientalem”, artinya: “Timur”) merupakan cara pandang dari orang-orang Barat, terhadap orang-orang di belahan dunia bagian timur, terutama terkait budayanya, budaya ketimuran. Said berpendapat bahwa konsep orientalisme, “orientalem” atau “ketimuran” ini dikonstruksi atau dibangun secara sengaja oleh para pemikir Barat dengan tujuan tertentu pula.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga maksud dari konsep orientalisme menurut Edward Said yang perlu kita pahami secara serius. Maksud-maksud tersebut sebagai berikut:
Pertama, orientalisme (cara pandang terhadap kebudayaan timur) adalah konsep yang dibangun secara melenceng oleh orang-orang Barat. Dalam rumusan lain, orientaslisme adalah konsep yang ingin memberi cap atau label tertentu kepada orang-orang timur, terutama tentang kebudayaannya.
Kedua, konsep orientalisme sebagai cap yang melenceng tersebut merupakan alat atau cara orang-orang Barat menjajah orang-orang Timur. Bangsa-bangsa di timur dianggap memiliki kebudayaan lebih rendah (tradisional) dibandingkan dengan kebudayaan bangsa-bangsa di Barat, sehingga dianggap patut dijajah oleh Barat. Apalagi semangat “gold”, “gospel” dan “glory” menjadi panji kebanggaan dalam upaya penemuan benua-benua baru kala itu.
Dari sejarah lokal, kita mengetahui bahwa efek terburuk dari konsep di atas telah mendorong segelintir misionaris membasmi dan melarang adanya rumah-rumah adat (korke) di tempat-tempat tertentu. Hal ini terjadi karena kepercayaan akan rumah adat, oleh para misionaris, dianggap tradisional, kolot dan rendah, sehingga patut dinobatkan untuk segera berkiblat ke Barat. Namun, syukur bahwa sejarah itu tidak terulang kembali sekarang, sehingga hanya menjadi kisah sedih yang tersimpan dalam museum masa lalu.
Ketiga, konsep orientalisme ini sangat kental dengan kekuasaan. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa penjajahan Belanda terhadap Indonesia, menunjukkan bahwa Belanda memiliki kekuasaan, termasuk kekuasaan budaya. Kekuasaan atas budaya memungkinkan penguasa berbuat apa saja terhadap budaya dari orang-orang yang dijajah.
Secara sederhana, dahulu, ketika Belanda melihat masyarakat adat melakukan serangkaian ritual adat di rumah adat (korke), hal ini dianggap sebagai penyembahan berhala atau kepercayaan pada animisme dan dinamisme, sehingga dilarang. Mengapa? Sebab, Belanda sudah mempunyai konsep tentang Allah, sehingga merasa diri lebih tinggi, lebih benar dari keyakinan orang-orang Timur setempat.
Datang ke Rumah Adat, sekaligus ke Rumah Allah
Kearifan lokal memang memiliki kekayaan tersendiri. Banyak nilai luhur terkandung di dalamnya. Ketika Barat dengan konsep orientalisme dan mulai menjajah bangsa-bangsa di belahan bumi bagian Timur, kearifan lokal seperti semua proses ritual dalam pergantian atap rumah adat (korke), semakin menyatakan dirinya. Kearifan lokal tidak terkikis atau hilang, melainkan tetap eksis secara mantap, meskipun digempur oleh kearifan global berupa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dianggap lebih tinggi levelnya.
Kearifan lokal tidak hilang karena para pewarisnya yakni masyarakat adat Lamaholot (seperti di Desa Kawalelo ini) adalah kaum esensialis sejati, yang tetap mempertahankan tradisinya. Akhirnya konsep orientalisme Barat tentang Allah dan gereja sebagai rumah Allah pun diterima dengan tulus sepuluh jari oleh masyarakat adat Lamaholot di Likotuden, Kawalelo khususnya dan di kawasan lain umumnya. Adat Lamaholot tidak disangkal, sekaligus tradisi Katolik tidak ditolak.
Sering muncul pandangan tidak elok dari pihak lain, ketika masyarakat adat menerima keduanya ini, yakni datang ke rumah adat atau korke dan rumah Allah atau gereja. Barangkali masyarakat adat dinilai sedang mempraktikkan iman bercabang dua, percaya setengah-setengah, setengah kolot setengah modern, setengah adat, setengah agama dan seterusnya. Apakah tidak ada pemaknaan lain yang lebih elok?
Sejatinya, rumah adat dan rumah Allah, bukanlah dua unsur terpisah, melainkan “dwitunggal”. Keduanya menyatu sebagai pemberi motivasi dan makna bagi hidup manusia. Satu di dalam dua unsur. Keduanya ada bersama atau koeksistensi, bukan untuk saling meniadakan, tetapi saling mendukung dan melengkapi.
Pesan kebudayaan yang bisa dipetik dari tulisan ini bahwa datang ke rumah adat dan ke rumah Allah sanggup membuat hidup seseorang menjadi lebih lengkap, seimbang, bersemangat atau merasa lebih mantap dan matang dalam budayanya. Sebab, menyelami kearifan lokal melalui pelbagai kegiatan di rumah adat bisa menghantar seseorang kembali ke masa lalu untuk semakin menghayati, menyatu dan “tertanam” dalam budayanya, semakin merasa dekat dengan leluhurnya yang sudah tiada dan mengharapkan restu (bensa) sebagai kekuatan untuk terus menjalankan hidup.
Begitu pula, datang ke rumah Allah (gereja), mendorong seseorang untuk merangkul dan menyerahkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan ke dalam tangan Allah untuk mendapatkan berkat-Nya, sehingga mampu menjalankan hidup dengan penuh iman, harapan dan cinta kasih. Seperti Edward Said, kita juga perlu melihat secara seimbang antara adat dari timur dan agama dari Barat, rumah adat (korke) dan rumah Allah (gereja) tanpa menggunakan konsep dominasi dan kolonisasi atau penjajahan karena menyandang kekuasaan.
Dengan demikian, menyelami kearifan lokal untuk berjumpa dan melebur rindu dengan leluhur di rumah adat, membuat hidup seseorang menjadi lebih berdaya-guna, sama seperti bertemu Tuhan di gereja saat perayaan ekaristi. Keduanya berada bersama, koeksistensi, saling mendukung, saling melengkapi untuk membuat hidup seseorang menjadi lebih hidup dan bermakna. Ini merupakan salah satu nilai pendidikan atau pembelajaran yang utama dari ranah kebudayaan.
******************