Oleh Odemus Bei Witono
Kelahiran di Pinggir Hutan
Angin dingin dari lereng Gunung Arjuno selalu menyapa Desa Wanasari. Desa kecil ini, hanya sepelemparan batu dari batas hutan, seolah luput dari hiruk pikuk pusat kekuasaan di timur Jawa. Balai bambu panggung yang sederhana, beratapkan ilalang kering, menjadi saksi bisu kelahiran seorang anak laki-laki.
Namanya Arya Samangko
Lahir di atas anyaman bambu yang melengkung nyaman, bukan di atas ranjang kayu berukir. Ayahnya, Ki Jagal, hanyalah seorang penjemur hasil bumi dan sesekali pembuat arang.
Ibunya, Nyai Wulan, adalah penenun kain kasar yang selalu tersenyum teduh. Mereka adalah definisi kesederhanaan yang sejati.
Pada era itu, kala Sri Maharaja Kertanegara bertahta, gejolak politik dan ambisi penyatuan Nusantara tengah bergolak hebat.
Perdagangan ramai, namun beban pajak untuk ekspedisi militer terasa berat hingga ke desa terpencil seperti Wanasari. Namun, semua itu seolah hanya gema jauh bagi Arya. Dunianya adalah hutan, sungai, dan ladang yang subur.
Arya tumbuh menjadi pemuda yang gesit dan memiliki mata setajam elang. Posturnya sedang, kulitnya gelap terbakar matahari, namun ia memiliki senyum yang tulus. Ia tidak pandai berbicara tentang ajaran Budhha-Siwa yang sedang gencar di pusat kota, atau strategi politik sang Raja. Keahliannya adalah membaca musim, memetik jamur terbaik, dan mengenali jejak kaki kijang di tanah basah.
Ketika usianya menginjak dua puluh tahun, nasib mempertemukannya dengan Ranti.
Ikatan Janur dan Keris Pusaka
Ranti bukanlah gadis Wanasari. Ia datang dari desa di balik bukit, mengungsi bersama pamannya setelah ladang mereka gagal panen. Ranti memiliki kecantikan yang bersahaja, tangan yang cekatan, dan hati yang tenang. Ia tidak banyak bicara, namun matanya selalu menceritakan kehangatan.
Arya jatuh cinta pada kesederhanaan Ranti. Ia melamar Ranti hanya dengan persembahan seekor ayam hutan gemuk dan janji akan selalu menyediakan air bersih di panci mereka.
> “Aku tak punya harta, Ranti. Hanya balai bambu ini dan sebilah pisau dapur yang sering tumpul,” kata Arya saat melamar.
> Ranti menjawab sambil tersenyum, “Hati yang tulus lebih tajam dari keris pusaka, Arya. Aku mau.”>
Mereka menikah dengan upacara adat yang sangat sederhana. Balai bambu tempat Arya dilahirkan kini menjadi rumah mereka berdua.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, sebuah benda aneh muncul. Suatu malam, saat Arya hendak membelah kayu bakar, ia menemukan sebilah keris tua tertancap di akar pohon beringin yang tumbuh di belakang rumah.
Keris itu berkarat, bilahnya menghitam, namun gagangnya terbuat dari kayu yang anehnya terasa hangat di tangan.
Ranti, yang melihat keris itu, mendadak pucat. “Simpanlah, Arya. Jangan pernah tunjukkan pada siapa pun. Aku merasa keris itu memiliki cerita panjang… dan mungkin berbahaya.”
Arya menuruti. Ia menyembunyikan keris itu di bawah lantai balai bambu mereka.
Beban di Pundak Orang Sederhana
Beberapa tahun berlalu. Arya Samangko dan Ranti hidup bahagia, dikaruniai seorang putri kecil bernama Sekar. Kehidupan mereka berputar pada irama ladang, hutan, dan senandung yang dinyanyikan Ranti saat menenun.
Namun, kedamaian Wanasari mulai terusik. Pajak dari pusat kota semakin mencekik. Utusan kerajaan, yang dikenal sebagai Patih Tirtayasa, datang ke Wanasari bukan hanya untuk menagih upeti, tapi juga untuk merekrut pemuda desa untuk ekspedisi militer ke luar Jawa.
Para pemuda yang direkrut dijanjikan kemuliaan, namun orang desa tahu betul, itu berarti pisah selamanya dari keluarga.
Desas-desus tentang kekejaman Patih Tirtayasa dalam menekan desa mulai menyebar. Ia mengambil hasil panen melebihi batas, dan tak segan mengancam penduduk.
Suatu sore, Patih Tirtayasa dan pengawalnya tiba di Wanasari. Matanya yang haus kekuasaan menatap setiap rumah. Ketika ia melihat balai bambu Arya Samangko yang bersih namun sederhana, dan Ranti yang sedang menenun, ia berhenti.
“Kau, pemuda gagah,” tunjuk Patih Tirtayasa kepada Arya. “Aku butuh kau untuk barisan laskar Raja. Bersiaplah besok pagi.”
Arya menunduk, gemetar, namun memberanikan diri, “Hamba mohon ampun, Patih. Hamba adalah satu-satunya pelindung bagi istri dan putri hamba. Hamba akan membayar upeti ganda, tapi jangan ambil hamba dari Wanasari.”
Patih Tirtayasa tertawa mengejek. “Uangmu tak ada artinya di mata Raja. Kecuali…”
Matanya menyapu sekeliling, dan terhenti pada seonggok gabah di sudut balai.
“…Kecuali kau berikan semua gabahmu, dan juga istrimu ikut ke pusat kota untuk menjadi pelayan. Kau akan bebas dari wajib militer.”
Darah Arya Samangko mendidih. Wajah Ranti memucat, dan Sekar, yang sedang bermain, mulai menangis.
Pilihan yang Menentukan
Di malam hari, Arya tidak bisa tidur. Ia menatap Ranti yang tidur meringkuk bersama Sekar. Pilihan di depannya adalah: tunduk pada tirani Patih Tirtayasa dan mengorbankan kehormatan Ranti, atau melawan dan mati sebagai pemberontak.
Tiba-tiba, ia teringat pada keris tua di bawah lantai. Arya menyalakan obor kecil dan membongkar lantai bambu itu. Ia mengambil keris tua yang selama ini ia lupakan. Begitu keris itu berada di tangannya, udara di balai bambu terasa dingin. Keris itu bergetar, dan karat yang melekat seolah luruh oleh hawa panas. Bilahnya yang hitam kini memancarkan kilau perak redup.
“Arya, apa yang kau lakukan?” bisik Ranti, terbangun. Arya menatap istrinya dengan tatapan yang penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh kehormatan kita, Ranti. Kita lahir dalam kesederhanaan, tapi bukan untuk diinjak-injak.”
Keesokan paginya, Patih Tirtayasa tiba dengan lima pengawal. Ia berdiri di depan balai bambu Arya, sombong.
“Keputusanmu, Samangko?” tuntutnya.
Arya keluar, berdiri tegak di atas tanah. Ia tidak membawa pisau dapur, melainkan keris tua yang kini tampak memancarkan aura berbeda.
“Aku menolak, Patih,” ucap Arya, suaranya mantap. “Kau boleh mengambil gabahku, tapi kehormatan istriku bukan untuk diperdagangkan.”
“Berani sekali kau, petani hutan!” teriak Patih Tirtayasa, menghunus pedangnya. “Pengawal, tangkap dia! Bakar balai bambu ini!”
Saat para pengawal bergerak, Arya mengangkat kerisnya. Dalam sekejap, keris itu seolah memancarkan cahaya biru. Arya yang sederhana, yang hanya tahu cara membelah kayu dan memancing ikan, bergerak dengan lincah yang tak terduga.
Keris itu bukan hanya senjata. Ia seolah menari sendiri, menangkis serangan pedang dengan presisi seorang prajurit terlatih. Dalam waktu singkat, tiga pengawal jatuh tersungkur, tidak mati, hanya terluka dan ketakutan.
Patih Tirtayasa, yang semula angkuh, kini terkejut dan marah. Ia menyerang Arya dengan beringas. Pedangnya beradu dengan keris Arya, menghasilkan percikan api.
“Keris apa itu!?” raung Patih Tirtayasa.
Arya tidak menjawab. Ia hanya terus bertahan, matanya lurus, hatinya hanya tertuju pada satu hal, yaitu melindungi keluarganya. Akhirnya, dengan sebuah gerakan memutar yang halus, ujung keris Arya merobek lengan Patih Tirtayasa.
Patih itu menjerit kesakitan. Ia mundur, menatap Arya dengan kebencian dan ketakutan.
“Ini belum selesai, Samangko! Aku akan kembali dengan pasukan yang lebih besar!” ancam Patih Tirtayasa sambil lari terbirit-birit, diikuti sisa pengawalnya.
Pahlawan Tanpa Mahkota
Arya berdiri terengah-engah. Penduduk Wanasari, yang menyaksikan dari jauh, kini mendekat dengan takjub.
“Arya… kau menyelamatkan kita!” seru Ki Jagal, ayahnya. Ranti memeluk suaminya dengan erat. “Keris itu…” bisiknya.
Arya Samangko, si anak balai bambu, kini memegang keris yang konon milik seorang perwira kuno dari masa lalu, yang disembunyikan di bawah beringin. Ia tidak menginginkan kekuasaan. Ia tidak ingin menjadi pemberontak. Ia hanya ingin kedamaian untuk keluarganya.
Berita tentang “Petani yang mengalahkan Patih dengan keris ajaib” menyebar cepat. Namun, Arya tidak menunggu kedatangan pasukan Raja.
Malam itu, di bawah rembulan, Arya, Ranti, dan Sekar meninggalkan balai bambu mereka. Arya meninggalkan keris itu kembali di bawah pohon beringin.
> “Keris itu milik sejarah, Ranti,” kata Arya. “Aku hanya butuh hati dan tangan ini untuk melindungimu. Kita harus pergi, menjadi sepasang pengembara, sebelum amarah Raja Kertanegara sampai ke sini.”>
Arya Samangko tidak pernah menjadi tokoh besar yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Singasari di era Raja Kertanegara. Ia tidak memiliki gelar bangsawan atau pasukan setia. Ia hanyalah seorang suami dan ayah sederhana yang memilih melindungi kehormatan keluarganya, melawan tirani kecil, dan kemudian menghilang ke dalam keheningan hutan.
Mereka berjalan menuju arah timur, menuju masa depan yang tak pasti. Meskipun meninggalkan rumahnya, Arya tidak merasa miskin. Karena di sisinya, ada Ranti, dan di pangkuannya, ada Sekar. Itulah kekayaan sejati, yang ia bawa pergi dari kesederhanaan balai bambu Wanasari.
Meninggalkan Jejak
Perjalanan Arya Samangko, Ranti, dan Sekar bukanlah perjalanan yang mudah. Mereka bergerak cepat, hanya membawa bekal seadanya dan hati yang penuh ketidakpastian. Mereka memilih jalur hutan, menghindari jalan utama yang pasti dipenuhi pengintai Patih Tirtayasa. Arya, yang sejak kecil bersahabat dengan rimba, memimpin jalan. Ia tahu di mana harus mencari air yang jernih, jamur yang aman dimakan, dan tempat bersembunyi yang tak terjamah manusia. Ranti, meskipun lelah, tidak pernah mengeluh. Ia menggendong Sekar di punggungnya, senandungnya yang teduh menjadi satu-satunya pengobat rindu akan Balai Bambu Wanasari.
> “Mereka akan melupakan kita, Arya,” kata Ranti suatu pagi, saat mereka sarapan umbi hutan.
> Arya menjawab sambil membelai rambut Sekar, “Semoga saja begitu, Ranti. Biar Balai Bambu kita kembali sunyi, dan keris itu kembali beristirahat dalam damai.”>
Namun, Arya tahu betul: kemarahan seorang Patih yang terhina tidak akan padam semudah itu. Patih Tirtayasa telah dipecundangi oleh seorang petani, dan itu adalah aib yang hanya bisa dicuci dengan darah.
Pertemuan di Tepian Sungai
Setelah dua minggu berjalan, mereka tiba di sebuah lembah tersembunyi, di tepian sungai yang airnya mengalir deras dari pegunungan. Di sana, Arya memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia membangun pondok darurat, jauh di atas pohon besar, untuk keamanan mereka.
Saat Arya sedang mencari ikan, ia dikejutkan oleh suara berisik dari balik semak. Bukan suara binatang, melainkan langkah kaki beberapa orang. Arya dengan sigap menyembunyikan diri.
Yang datang adalah sekelompok kecil pengelana yang terlihat sama lelahnya dengan mereka. Mereka mengenakan pakaian lusuh, membawa senjata sederhana, dan yang paling mencolok: mereka semua memiliki tatapan mata yang sama, tatapan orang yang melarikan diri dari ketidakadilan.
Salah seorang dari mereka, seorang pria paruh baya dengan bekas luka melintang di pipi, melihat Arya yang berdiri di balik pohon. Pria itu mengangkat tangannya sebagai tanda damai.
“Kami bukan prajurit, Tuan,” katanya dengan suara serak. “Kami para petani dan pembuat tembikar dari desa di selatan yang juga dibebani pajak mencekik. Kami lari sebelum anak-anak kami dijadikan budak.”
Nama pria itu adalah Ki Randu. Ia adalah kepala kelompok kecil yang terdiri dari tiga keluarga pengungsi. Setelah bercerita, Ki Randu mengenali nama Arya.
>“Arya Samangko? Petani dari Wanasari yang mengalahkan Patih Tirtayasa dengan keris pusaka?” tanya Ki Randu, matanya membesar karena kagum. “Ceritamu sudah menjadi desas-desus di jalanan, Tuan. Mereka memanggilmu ‘Petani Sakti dari Arjuno’.>
Arya tersenyum pahit. “Aku hanya petani biasa, Ki. Keris itu sudah kutinggalkan. Aku hanya ingin damai.”
Ki Randu menatap Arya dengan penuh hormat. “Mungkin kau tidak ingin menjadi pahlawan, Tuan. Tapi perbuatanmu memberi kami semua harapan. Kau menunjukkan bahwa bahkan seorang petani pun bisa melawan. Kami ingin ikut bersamamu.”
Benih-Benih Komunitas Baru
Sejak saat itu, tiga keluarga pengungsi bergabung dengan Arya. Lembah itu menjadi tempat persembunyian mereka, yang mereka sebut ‘Pedukuhan Bayangan’. Arya menjadi semacam pemimpin informal, bukan karena ia yang terkuat, tetapi karena ia adalah satu-satunya yang berani melawan dan selamat.
Mereka mulai menggarap lahan kecil secara sembunyi-sembunyi, menanam ubi, jagung, dan buah-buahan hutan. Kehidupan mereka kembali pada ritme kesederhanaan, namun dengan tingkat kewaspadaan yang jauh lebih tinggi. Mereka hidup dalam bayang-bayang, selalu siap untuk bergerak jika bahaya datang.
Arya mengajari para pria cara membaca jejak, memasang jebakan, dan menggunakan alam sebagai perisai. Ranti dan wanita lain mengajari cara menganyam keranjang dari rotan dan mengawetkan makanan. Mereka adalah komunitas kecil yang dibangun di atas dasar perlawanan diam-diam dan keinginan untuk hidup bebas.
Bayangan Masa Lalu
Tiga tahun berlalu. Sekar kini berusia tujuh tahun, seorang gadis kecil yang gesit dan ceria. Kedamaian Pedukuhan Bayangan terasa nyata, namun Arya tidak pernah lengah.
Suatu petang, Ki Randu yang bertugas mengintai di perbatasan hutan, kembali dengan wajah pucat.
“Prajurit, Arya! Banyak! Mereka menuju ke arah kita,” bisik Ki Randu terengah-engah. “Mereka dipimpin oleh Patih Tirtayasa sendiri! Ia membawa pasukan lengkap dan sepertinya tahu kita bersembunyi di sini.”
Ranti memeluk Sekar dengan erat. “Mereka menemukan kita…”
Arya mengepalkan tangannya. Dendam Tirtayasa ternyata lebih panjang dari yang ia duga. Patih itu tidak datang untuk menagih pajak, tetapi untuk menghancurkan simbol perlawanan yang telah diciptakan Arya secara tidak sengaja.
Arya tahu bahwa dengan kekuatan mereka yang kecil, melawan adalah bunuh diri. Ia harus mengulur waktu agar para wanita dan anak-anak bisa melarikan diri lebih dalam ke hutan.
“Semua bersiap! Ikuti jalur evakuasi ke hulu sungai,” perintah Arya. “Aku akan ke sana sesudah kalian. Aku akan memastikan mereka tidak menyentuh Pedukuhan Bayangan kita.”
Ranti menahan tangannya. “Jangan mati sia-sia, Arya. Kau janji untuk selalu menyediakan air bersih di panci kita.”
Arya tersenyum, senyum tulus yang terakhir. Ia mencium kening Ranti dan Sekar. “Janjiku adalah untuk melindungimu. Dan aku akan menepatinya.”
Arya Samangko mengambil pisau berburunya yang tumpul, satu-satunya senjatanya, dan berjalan menuju pintu masuk lembah. Ia, sang petani yang tidak memiliki ambisi, kini berdiri sendirian di hadapan pasukan kekuasaan, siap untuk menjadi pemantik api perlawanan bagi semua orang sederhana yang telah ia lindungi.
Pertarungan Penjaga Lembah
Arya Samangko berdiri di antara pepohonan besar yang menjadi gerbang Pedukuhan Bayangan. Pisau berburu di tangannya terasa dingin, jauh berbeda dengan kehangatan Keris Pusaka yang pernah ia genggam.
Namun, keberanian di hatinya jauh lebih tajam dari bilah senjata apa pun. Ia tidak berperang demi nama besar Kertanegara, tetapi demi sumpah yang ia ucapkan kepada Ranti.
Tak lama kemudian, Patih Tirtayasa muncul, menunggang kuda hitam, diikuti oleh sekitar dua puluh prajurit bersenjata lengkap. Wajah Patih itu kini dipenuhi bekas luka yang ditinggalkan Keris Arya tiga tahun lalu, menambah kebencian dan keangkuhan di matanya.
“Samangko! Tikus hutan!” teriak Patih Tirtayasa, suaranya menggelegar di lembah. “Kau pikir bisa bersembunyi selamanya? Kekalahan di Wanasari adalah aib yang harus kubayar dengan nyawamu!”
“Aku hanya ingin kedamaian, Patih,” jawab Arya, suaranya tenang namun mengandung kekuatan. “Tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya menumpahkan darah di sini.”
Patih Tirtayasa tertawa keras. “Kedamaian? Kedamaian adalah milik Raja! Kau adalah pemberontak! Tangkap dia! Tapi jangan bunuh, aku ingin dia mati perlahan di depanku!”
Para prajurit segera menyerbu. Arya tidak bodoh. Ia tahu melawan mereka secara terbuka adalah bunuh diri. Ia adalah ahli rimba, dan ia akan menggunakan rimba sebagai sekutunya.
Arya segera melompat ke dalam semak belukar yang lebat, bergerak cepat seperti kijang. Ia memimpin para prajurit untuk mengejar, menjauhi jalur evakuasi yang diambil Ranti dan yang lain.
Arya berlari melingkar, menarik perhatian pasukan Patih Tirtayasa ke daerah yang paling sulit dan berbahaya.
Ia bukan prajurit, tapi ia mengenal setiap akar, batu, dan dahan di sana.
Pertempuran pun dimulai.
Arya menggunakan jebakan-jebakan sederhana yang ia siapkan sebelumnya, yakni tali jerat tersembunyi, lubang yang ditutupi daun, dan ranting-ranting berduri yang ia arahkan ke ketinggian pinggang. Dalam kekacauan pengejaran, tiga prajurit tersandung dan terluka oleh perangkap Arya.
Patih Tirtayasa, yang marah melihat pasukannya dipermainkan oleh seorang petani, menghunus pedangnya dan menyerbu sendiri.
Pertarungan Dua Dunia
Pertarungan antara Arya dan Patih Tirtayasa adalah pertempuran dua dunia. Tirtayasa bertarung dengan teknik militer yang diajarkan di barak, mengandalkan kekuatan dan pedang yang berat. Arya bertarung dengan insting hutan, mengandalkan kecepatan, kelincahan, dan pengetahuan akan medan.
Arya menghindari setiap tebasan pedang Patih Tirtayasa. Ia menggunakan pohon sebagai perisai, tanah yang licin sebagai senjata. Arya hanya memiliki pisau berburu; ia tahu ia harus mencari peluang.
“Di mana kerismu, petani rendahan?!” cemooh Patih Tirtayasa, saat pedangnya menggores bahu Arya.
Arya tidak menjawab. Darah mulai menetes dari lukanya, tapi ia tidak gentar.
Dengan memanfaatkan Patih Tirtayasa yang terlalu fokus menyerang, Arya tiba-tiba melompat ke dahan pohon di atasnya. Saat Patih mendongak, Arya menjatuhkan sarang lebah hutan yang besar tepat di atas kepala Tirtayasa.
Patih Tirtayasa menjerit kesakitan dan kaget. Pasukan yang tersisa panik berusaha menolong Patih mereka. Inilah kesempatan yang ditunggu Arya. Ia melompat turun, menendang Patih yang sedang kesakitan, dan berlari secepat mungkin, menghilang ke dalam hutan lebat.
Arya Samangko berhasil. Ia telah menahan pasukan itu, melukai pemimpin mereka, dan memberikan waktu yang cukup bagi komunitasnya untuk melarikan diri. Namun, ia tahu ia tidak akan bisa lari jauh dengan luka di bahunya dan tanpa bekal.
Pengorbanan di Hulu Sungai
Arya berlari menuju hulu sungai, ke arah yang berlawanan dari jalur evakuasi Ranti. Ia sengaja membuat jejak yang jelas dan mencolok. Ia berlari melewati air dangkal, mematahkan ranting-ranting, dan bahkan meninggalkan sedikit kain dari bajunya. Tujuannya adalah menjadi umpan.
Tidak lama kemudian, ia mendengar derap kaki di belakangnya. Patih Tirtayasa, meskipun wajahnya bengkak digigit lebah, kembali memimpin pengejaran dengan amarah yang membabi buta.
“Jangan biarkan dia lepas! Ikuti jejak darahnya!” raung Patih Tirtayasa.
Arya tiba di sebuah tebing terjal di hulu sungai, di mana sungai itu jatuh membentuk air terjun kecil. Ia tidak punya tempat lagi untuk lari.
Saat para prajurit mengepungnya, Arya berbalik. Ia melempar pisau berburunya ke arah Patih Tirtayasa. Pisau itu meleset tipis, hanya mengenai helm Patih.
“Selesai sudah, Samangko,” kata Patih Tirtayasa dengan napas terengah-engah. “Tamatlah riwayat Petani Sakti dari Arjuno.”
Arya hanya tersenyum, senyum seorang ayah yang berhasil melindungi keluarganya. Ia mengambil napas dalam-dalam. Sebelum para prajurit bisa menangkapnya, Arya Samangko menjatuhkan dirinya dari tebing, menghilang ditelan gemuruh air terjun yang dingin.
Patih Tirtayasa dan pasukannya mencari tubuh Arya hingga malam tiba, tapi sia-sia. Mereka hanya menemukan genangan darah di tebing, dan sungai yang deras seolah menelan jasad sang petani. Puas karena berpikir Arya telah mati, Patih Tirtayasa akhirnya mundur, membawa aib, lebah, dan dendam yang kini berlumuran darah.
Senandung Baru di Lembah Tersembunyi di Bawah Perlindungan Batu
Ranti dan Sekar, bersama Ki Randu dan yang lainnya, berhasil melarikan diri mengikuti jalur evakuasi yang telah mereka rencanakan. Mereka bergerak ke daerah pegunungan yang lebih tinggi, tempat di mana goa-goa batu menjadi tempat persembunyian alami.
Mereka menunggu selama tiga hari tiga malam, air mata Ranti tak berhenti mengalir. Ia tahu pengorbanan suaminya. Ia tahu mengapa Arya tidak pernah datang.
Ketika Ki Randu kembali dari pengintaian dengan kabar bahwa Patih Tirtayasa telah mundur, membawa kesan kemenangan, Ranti akhirnya memeluk Sekar dan menangis tersedu-sedu. Arya Samangko telah hilang, dimakan hutan yang ia cintai.
Warisan Senandung Balai Bambu
Namun, Arya telah meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga dari Keris Pusaka. Ia meninggalkan benih keberanian dan harapan.
Di lembah tersembunyi yang baru, yang mereka sebut ‘Lembah Cahaya’, Ranti dan Ki Randu membangun kembali kehidupan. Ki Randu, yang telah menyaksikan langsung pengorbanan Arya, kini mengambil alih peran kepemimpinan.
Ranti menjadi tiang penyangga moral komunitas. Ia menenun kain, bercocok tanam, dan membesarkan Sekar. Setiap malam, saat Sekar tertidur, Ranti akan menyanyikan lagu-lagu lama dari Balai Bambu Wanasari.
> Ia menyanyikan lagu tentang seorang pria sederhana yang berani melawan raksasa, tentang seorang suami yang menolak kehormatan istrinya diinjak-injak, dan tentang keris yang tak perlu dibawa pergi karena hati yang tulus adalah pelindung sejati.>
Sekar tumbuh menjadi gadis yang kuat dan cerdas, mewarisi mata tajam Arya dan ketenangan Ranti. Ia tidak pernah tahu ayahnya sebagai “Petani Sakti dari Arjuno” yang legendaris, tetapi sebagai “Ayah Penjaga”, yang senyum tulusnya kini hanya bisa ia lihat dalam kenangan ibunya.
Mereka terus hidup dalam bayangan, jauh dari hiruk pikuk politik Sri Maharaja Kertanegara yang sebentar lagi akan mencapai klimaksnya. Mereka adalah rakyat jelata yang memilih melawan tirani kecil dan menang, dengan harga yang sangat mahal.
Kisah Arya Samangko, si anak Balai Bambu, tidak pernah tercatat dalam lontar kerajaan Singasari. Ia hanya hidup dalam senandung malam di Lembah Cahaya, sebagai pengingat abadi bahwa kehormatan dan cinta keluarga adalah kekuatan yang tak tertandingi, bahkan oleh kekuasaan Raja sekalipun.
Epilog: Gema Sang Raja dan Senandung Si Petani
Saat Arya Samangko tenggelam di hulu sungai, menjadi Pahlawan Tanpa Mahkota yang disangka mati, di pusat Kerajaan Singasari, Raja Kertanegara sedang mencapai puncak tertinggi ambisinya. Sang Raja semakin gencar mengukuhkan cita-cita Cakrawala Mandala Dwipantara—penyatuan Nusantara.
Beban pajak yang menimpa Arya Samangko dan rakyat jelata lainnya adalah konsekuensi langsung dari ekspedisi militer besar-besaran, terutama Ekspedisi Pamalayu ke Swarnabhumi (Sumatera) yang menyedot banyak sumber daya, termasuk pasukan dan dana.
Ironisnya, saat Arya berjuang melawan tirani kecil Patih Tirtayasa di pinggir hutan, Kertanegara sedang sibuk memprovokasi musuh yang jauh lebih besar. Pada tahun 1289 Masehi, Raja Kertanegara dengan berani menolak dan menghina utusan Kubilai Khan, Kaisar Mongol, yang menuntut Singasari tunduk. Penolakan ini memastikan balasan yang mengerikan akan datang dari utara.
Pembalikan Takdir
Kertanegara, yang terlalu fokus pada ancaman eksternal dan ambisi penyatuan, melupakan ancaman internal.
Pada tahun 1292 Masehi, saat sebagian besar pasukan terbaik Singasari berada di luar Jawa dan pertahanan ibu kota melemah, terjadilah pemberontakan yang mematikan. Pemberontakan ini dipimpin oleh Jayakatwang, Raja bawahan di Kediri yang merupakan keturunan Raja Kediri lama yang dikalahkan Ken Arok. Jayakatwang juga merupakan ipar sekaligus besan Kertanegara.
Jayakatwang menyerang dari dua arah atas saran Arya Wiraraja, mantan pejabat Singasari yang sakit hati. Kertanegara jatuh dalam tipuan, mengirim menantunya, Raden Wijaya, untuk mengatasi serangan palsu.Ketika istana Singasari lengah, serangan utama Jayakatwang datang.
Akhir Sang Maharaja
Menurut catatan sejarah (terutama Pararaton), pada malam tragis itu, saat pasukan Jayakatwang menyerbu istana, Raja Kertanegara sedang berada di dalam, bukan dalam pesta pora, melainkan tengah melakukan ritual keagamaan Tantrayana yang sering disalahartikan sebagai “pesta minuman keras”.
Kertanegara, sang Raja besar yang bermimpi menyatukan Nusantara, gugur dalam pertempuran yang tidak seimbang di dalam istananya sendiri. Bersamaan dengan wafatnya Raja Kertanegara, Kerajaan Singasari pun runtuh, hanya berselang beberapa tahun setelah Arya Samangko, si petani sederhana, dipaksa lari dari rumahnya sendiri oleh tirani perwira rendahan sang Raja.
Peninggalan yang Abadi
Sementara nama besar Raja Kertanegara tercatat sebagai raja terakhir Singasari yang gugur sebelum balasan Mongol datang, kisah Arya Samangko tidak pernah ada di lontar istana.
Namun, semangatnya hidup:
* Pengorbanan Arya Samangko di hutan membuktikan bahwa tirani kekuasaan, sekecil apa pun itu, tidak boleh diterima, sebuah pelajaran yang ironisnya tidak dipedulikan oleh Kertanegara terhadap pejabatnya sendiri (Patih Tirtayasa) yang menindas rakyat.
* Menantu Kertanegara, Raden Wijaya, berhasil lolos dari serangan Jayakatwang. Dengan bantuan Arya Wiraraja (yang membantu Jayakatwang namun kemudian berbalik arah) dan memanfaatkan datangnya pasukan Mongol yang marah, Raden Wijaya berhasil menghancurkan Jayakatwang. Pada tahun 1293, Raden Wijaya mendirikan kerajaan baru: Majapahit, yang kelak akan mewujudkan ambisi penyatuan Nusantara Kertanegara.
Maka, ketika para pedagang yang melewati hutan bercerita tentang kebesaran dan kehancuran Singasari, mereka mungkin juga membawa bisikan tentang seorang petani pemberani yang menolak menyerahkan kehormatan istrinya dan melawan seorang Patih yang kejam.
Kisah Arya Samangko adalah pengingat bahwa di balik ambisi Raja-raja besar, ada jutaan kisah rakyat jelata yang berjuang hanya untuk sepotong kedamaian di bawah balai bambu mereka.
———————–





