Tokoh Pemuda Papua Methodius Kossay mengatakan pasca insiden rasialisme di Surabaya dan aksi masyarakat Papua di depan Istana Presiden beberapa waktu lalu membawa akibat sampingan bahwa banyak orang Papua tiba-tiba menjadi “artis”.
Pemuda asal Lembah Balim-Jayawijaya ini menjelaskan, sekarang ini dimana pun orang Papua berada selalu saja ada yang minta untuk difoto.
Demikian pula, kata alumni Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Jogja ini, fenoemena yang sama terjadi juga pada sebagian orang Papua yang tiba-tiba muncul menjadi narasumber di televsi, media dan diskusi.
“ Sejak kasus rasis di Surabaya dan aksi di depan Istana Presiden, orang Papua tiba-tiba menjadi artis. Dimana-mana bila ketemu orang Papua mereka diajak foto. Orang Papua pun banyak yang tiba-tiba tampil jadi narasumber media dan diskusi,” katanya dalam diskusi bertajuk “Damai Papua Untuk Keutuhan NKRI“di Aula Gedung IAST Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (17/09/2019).
Diskusi yang diselenggarakan Rumah Perdamaian UKK-CGGS Universitas Indonesia ini menampilkan pembicara antara lain, Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya, Pengajar Ketahanan Kajian Ketahanan Nasional UI Dr. Margaretha Hanita, M.Si dan Tokoh Pemuda Papua Methodius Kossay.
Menurut Kossay yang juga aktivis HAM bidang pendidikan ini, dengan mengajak foto bersama menjadikan pelajar dan mahasiswa Papua merasa tertekan karena ruang geraknya dibatasi.
“Ini semakin memperburuk kondisi kejiwaan terutama pelajar dan mahasiswa Papua karena ruang gerak mereka menjadi sangat terbatas. Banyak mahasiswa dan pelajar dari Papua menjadi kuatir dengan situasi ini. Mereka tertekan karena merasa diawasi kemana pun mereka pergi,” katanya.
Dia mencontohkan, kejadian di Semarang baru-baru ini, dimana usai sebuah acara para pelajar asal Papua dikumpulkan dan diajarkan untuk mengungkapkan sesuatu kemudian dikamerakan.
“sudah tentu kejadian ini menyebabkan kondisi anak menjadi takut. Anak kemudian menyampaikan kepada orangtuanya di Papua, dan wajar saja kalau orangtua mengajak anaknya untuk kembali ke Papua. Hal demikian, terjadi juga pada mahasiswa Papua yang melakukan eksodus kembali ke Papua.” ujarnya.
Dia juga mengomentari para tokoh Papua yang sering muncul di media mengatasnamakan orang Papua. Padahal, menurut dia, hal yang perlu dilakukan saat ini adalah bicara langsung dengan masyarakat atau dengan para pihak yang selama ini menjadi korban.
Selama ini, kata dia, banyak orang Papua yang dianggap tokoh tidak pernah duduk bersama mahasiswa, hanya saat ada masalah baru mereka bicara.
“Jangan bicara dengan orang yang bicara baik saja. Banyak tokoh, hanya ada masalah baru bicara. Padahal Kita butuh mendengar dari orang yang bekerja di lapangan, bukan orang yang bicara di layar kaca, bicara yang enak-enak,” katanya.
Dia menegaskan, selama ini tidak ada kunjungan pemerintah ke mahasiswa, maka pantas kalau mahasiswa tidak menerima kunjungan para tokoh dan pemerintah.
Menurut dia, sebagai usulan konkret, ke depannya baik tokoh Papua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah di mana saja berada untuk melibatkan mahasiswa dan pelajar Papua dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan memperlakukan mahasiswa dan pelajar sebagai warganya.
“Melibatkan orang Papua bukan hanya saat terjadinya sebuah kasus. Itu sudah terlambat. Hal yang diperlukan adalah mengobati luka batin. Kita ini bicara banyak program, tapi luka batin tidak diobati maka susah,” ungkapnya.
Diakuinya, saat ini dibutuhkan adanya saling percaya. Namun untuk menuai suatu kepercayaan itu tidak mudah, harus menggunakan berbagai cara tanpa kekerasan. Kalau tidak, masalah Papua tidak akan selesai.
Dalam hal membangun kepercayaan itu, ia juga berharap agar para mahasiswa dan aktivis yang sekarang ditahan di Mako Brimob bisa dibebaskan.
Langkah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan Papua adalah dengan dialog.“Dialog dilakukan secara menyeluruh, bermartabat, saling menghormati, tanpa kekerasan dan berkelanjutan, untuk menyelesaikan akar permasalahan di Papua dan dicarikan solusi yang tepat,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama Lenis Kogoya mengatakan, melalui Otsus, pemerintah benar-benar ingin membangun wilayah Papua untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Dalam hal ini, pemerintah telah memberikan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam UU Otsus Papua, masyarakat Papua telah diberi kewenangan yang besar, seperti Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati harus orang Papua,” jelasnya.
Ia menambahkan, implementasi UU Otsus Papua harus dimaksimalkan dan perlu adanya kontrol dari pemerintah pusat.
“Jika Otsus Papua pelaksanaanya baik, maka kesejahteraan masyarakat Papua akan meningkat dan bisa menyelesaikan masalah Papua dalam kerangka NKRI,” katanya.
Sementara itu, Dr Margaretha Hanita, M.Si mengatakan, Otsus Papua telah mengakomodir pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi dari 3 kelompok mayoritas Papua, yaitu kelompok adat, agama, dan perempuan.
“Untuk menyelesaikan masalah di Papua dapat dilakukan melalui pendekatan adat. Hal ini dikarenakan di Papua, adat sangat dijunjung tinggi dan dihargai, mengingat masyarakat masih kuat memegang norma adat dan cenderung lebih tunduk pada Hukum Adat dibandingkan dengan Hukum Positif. Eksistensi adat dan agama di Papua sangat kuat,” jelasnya. (Ben)