OLEH IGNAS KLEDEN
Dalam periodisasi politik Indonesia, 2018 adalah lustrum keempat reformasi, yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dan pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Berbagai refleksi telah dilakukan tentang cita-cita reformasi dan realisasinya, yang banyak di antaranya bersifat kritis dan bahkan skeptis.
Masih terdapat ketidakpuasan tentang demokrasi yang belum terwujud dengan benar, dan baru terbatas pada formalisme prosedural, tanpa isi substantif yang menjamin kebebasan serta keadilan bagi semua warga negara. Ekonomi belum berhasil menciptakan kesejahteraan yang lebih merata, sementara golongan miskin masih tetap banyak. Hukum belum didukung oleh penegakan hukum yang dapat memaksa semua orang tunduk pada hukum yang sama, tanpa membedakan yang kaya dan miskin, yang punya jabatan tinggi atau rendah, rakyat jelata atau mereka yang mempunyai koneksi dengan orang-orang kuat dalam politik dan bisnis.
Pendidikan makin hari makin ketinggalan, dibandingkan dengan kemajuan pendidikan negara-negara tetangga, sekalipun makin bertambah banyak lulusan universitas yang menyandang S-2 atau S-3. Sementara itu, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan tidak meningkat secara wajar, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum mendapat perhatian apa pun, antara lain karena biaya untuk penelitian semakin dibatasi. Secara umum, boleh dikata sedikit sekali atau hampir tidak ada pemikiran dan kajian positif tentang bagaimana semestinya suatu reformasi yang berhasil dan apa pula syarat-syarat keberhasilannya.
Sudah jelas reformasi bukan sekadar pergantian rezim, bukan pula suksesi pemegang kekuasaan, melainkan perubahan dalam institusi kemasyarakatan, yang mendorong atau menghambat kemajuan-kemajuan masyarakat itu, siapa pun yang menjadi pemimpin nasional. Situasi institusi kemasyarakatan ini juga bakal menentukan apakah suatu bangsa akan maju, mundur, atau gagal mewujudkan tujuan bernegara. Para ilmuwan sosial sudah mencoba mengajukan banyak teori tentang apa yang menyebabkan suatu bangsa maju atau mundur dan tidak berkembang.
Apakah geografi, iklim, dan kebudayaan suatu bangsa merupakan faktor yang menentukan? Teori ini sudah ditolak oleh berbagai kenyataan yang kasatmata. Korea Utara dan Korea Selatan sama geografinya, sama iklimnya, dan sama pula kebudayaannya, tetapi tingkat kesejahteraannya berbeda bagaikan langit dan bumi. Harapan hidup di Korea Utara lebih pendek 10 tahun daripada penduduk Korea Selatan, dan standar hidup penduduk Korea Utara rata-rata hanya 1/10 dari standar hidup rata-rata penduduk Korea Selatan.
Demikian pun ketika selepas Perang Dunia II Jerman terbagi dua menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, pembagian ini tidak mengubah geografi, iklim, dan kebudayaan dua bagian Jerman itu. Di bagian Barat orang membaca sastra Goethe dan Schiller, dan di Timur orang membaca sastra yang sama. Di Barat dimainkan opera Mozart dan simfoni Beethoven, dan di Timur tidak kurang mutu opera dan simfoni yang sama, tetapi tingkat kesejahteraan amat berbeda.
Di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko terdapat kota Nogales, yang juga terbagi dua oleh pagar pemisah menjadi bagian Amerika yang dinamakan Nogales Arizona di sebelah utara dan bagian Meksiko yang dinamakan Nogales Sonora di sebelah selatan.
Pembagian ini juga tak mengubah sesuatu apa dalam geografi, iklim, dan kebudayaan dua bagian kota itu yang sama-sama mewarisi kebudayaan Kerajaan Aztek. Namun, pendapatan rata-rata satu keluarga di Nogales Sonora 10.000 dollar AS per tahun, sedangkan pendapatan rata-rata satu keluarga di Nogales Arizona adalah 30.000 dollar AS per tahun. Pendidikan universitas di Nogales Arizona merupakan hal biasa, sedangkan di Nogales Sonora sebagian besar orang muda tidak mendapat pendidikan yang mencukupi.
Untuk memperbaiki teori-teori tentang geografi, iklim, dan kebudayaan, diperkenalkan suatu teori lain yang dinamakan ignorance hypothesis. Secara singkat, teori ini mengatakan, suatu negeri tidak maju dan tidak menjadi lebih sejahtera karena para pemimpin politiknya tidak tahu cara yang tepat menyejahterakan rakyatnya. Kalau para pemimpin politik ini diberi informasi dan pengetahuan yang benar, mereka akan sanggup membawa bangsanya ke kemakmuran dan kesejahteraan.
Dalam kenyataan, pengetahuan yang lebih tepat dan lebih baik tidak membuat suatu negara lebih makmur. Contoh mutakhir adalah krisis global dalam ekonomi keuangan akhir 1990-an. Dana Moneter Internasional (IMF) adalah institusi internasional yang tugasnya menjaga stabilitas keuangan global.
Menghadapi krisis keuangan 1990-an akhir, IMF memberikan nasihat kepada banyak negara tentang bagaimana mengatasi krisis itu. Akan tetapi, semua negara yang mengikuti nasihat IMF tetap terkena krisis keuangan, sedangkan China yang mengabaikan nasihat IMF berhasil baik mengatasi krisis itu.
Institusi ekonomi dan institusi politik
Dua ahli ekonomi, Prof Daron Acemoglu dari MIT dan Prof James A Robison dari Universitas Harvard, menulis bersama buku berjudul Why Nations Fail: the Origins of Power, Prosperity and Poverty (terbit 2012), berdasarkan penelitian mereka selama 15 tahun dengan studi yang luas mengenai sejarah politik dan sejarah ekonomi selama 400-500 tahun terakhir dalam milenium yang lalu di lima benua.
Hasil penelitian mereka ialah keyakinan bahwa maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kesanggupannya membangun institusi ekonomi dan institusi politik. Dua institusi ini dapat bersifat ekstraktif dan menyebabkan suatu bangsa tidak maju dan tidak sejahtera, atau dapat bersifat inklusif yang memungkinkan suatu bangsa berkembang dengan tenaga, kemampuan, dan kecerdasan yang ada pada bangsa itu sendiri dan bukan karena suatu kekuatan dari luar.
Perlu dikatakan bahwa faktor kekayaan alam tidak diperhitungkan dalam teori ini, karena dalam sejarah dunia terbukti bahwa kekayaan alam tidak membuat bangsa dan negara yang memilikinya kaya dan sejahtera, tetapi mengundang kolonialisme bangsa asing, yang menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam itu untuk diri mereka sendiri, dan membuat bangsa yang terjajah miskin, terpuruk, dan merana.
Pelajaran yang diberikan oleh sejarah ekonomi ialah kekayaan alam adalah input yang tidak bisa dibanggakan meskipun harus disyukuri, tetapi yang menentukan nasib suatu bangsa ialah output yang dihasilkannya dengan memanfaatkan input yang ada. Kekayaan alam adalah pemberian alam, tetapi kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh apa yang dilakukan dan dicapai oleh bangsa itu dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia untuk menciptakan kemajuan dan kesejahteraan.
Semboyan untuk pendekatan mereka bukan culture matters yang populer di kalangan pengusaha, melainkan institutions matter. Didalilkan bahwa bakat orang akan merespons sistem pendidikan yang ada, sedangkan sistem pendidikan merespons apa yang dibutuhkan masyarakat.
Dalam kerangka itu institusi ekonomi yang inklusif adalah pihak yang memberikan insentif ekonomi bagi anggota suatu masyarakat. Insentif ekonomi itu akan mendorong orang menemukan bakat-bakatnya yang terbaik, mengembangkan bakat itu di sekolah menjadi kepandaian dan keterampilan, kemudian menerapkan keterampilannya untuk menciptakan pekerjaan atau mendirikan perusahaannya sendiri.
Proyek yang dikerjakannya mempersyaratkan dia harus sanggup membuat pembiayaan proyeknya suatu yang mungkin terwujud, dengan bantuan kredit bank setempat, sambil memanfaatkan pasar tenaga kerja yang memberi suplai tenaga kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan.
Insentif lainnya ialah keberanian seseorang mengembangkan usaha karena kepercayaan bahwa hak milik pribadinya tak dirampas orang lain, karena kepemilikan pribadi dijamin oleh UU. Kalau seseorang menulis buku yang laris dan kemudian buku itu bisa dicetak gelap oleh penerbit lain dan dijual tanpa membayar royalti kepada penulisnya, maka di sini institusi ekonominya masih bersifat ekstraktif yang justru menciptakan disinsentif untuk usaha yang produktif.
Institusi ekonomi yang inklusif juga mendorong inovasi teknologi meski inovasi ini dapat menimbulkan resistensi dari institusi ekonomi lama, tetapi amat dibutuhkan untuk membuat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Singkatnya, institusi ekonomi inklusif akan mendorong terjaminnya hak milik pribadi, menciptakan syarat-syarat yang sama untuk berusaha (a level playing field), memberi motivasi untuk melakukan investasi dalam teknologi baru, dan bersifat kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, institusi ekonomi yang ekstraktif memungkinkan beberapa orang mengambil keuntungan dari sumber daya orang banyak, dan gagal melindungi hak milik pribadi dan tak memberi insentif untuk kegiatan ekonomi dan kegiatan lain yang produktif.
Di pihak lain, institusi ekonomi tergantung pada institusi politik, yang dapat bersifat inklusif atau ekstraktif. Institusi politik ekstraktif akan memusatkan kekuasaan di tangan beberapa orang, yang merasa mendapat insentif dengan mempertahankan institusi ekonomi yang ekstraktif demi kepentingan diri mereka sendiri dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memperkuat kekuasaan politik mereka.
Institusi politik ekstraktif juga tak berhasil menciptakan suatu pusat kekuasaan yang cukup kuat untuk memaksakan penerapan hukum dan menjaga ketertiban umum. Sebaliknya, institusi politik yang inklusif dapat menciptakan suatu pusat kekuasaan yang cukup kuat sebagai sumber otoritas hukum dan ketertiban umum. Dalam institusi politik inklusif kekuasaan akan dibagi kepada berbagai pihak yang merasa mendapat insentif untuk mendorong dan mempertahankan institusi ekonomi inklusif, yang dijamin oleh adanya hak milik pribadi.
Kedua institusi itu saling berhubungan erat. Institusi ekonomi yang inklusif menciptakan insentif ekonomi, yang mendorong orang mengembangkan bakat dan keterampilan, menabung, berinvestasi, dan terus berusaha melakukan inovasi teknologi.
Di pihak lain institusi politik menentukan apakah orang hidup dalam institusi ekonomi yang ekstraktif atau inklusif. Institusi politik menentukan kemampuan warga negara untuk mengawasi politisi yang mereka pilih dan bagaimana politisi ini bekerja dan berperilaku. Apakah politisi menjadi agen bagi kepentingan warga negara atau agen bagi kepentingan mereka sendiri?.
Pertanyaan yang menarik ialah apakah dalam institusi politik yang ekstraktif dapat tercapai pertumbuhan ekonomi. Jawabannya adalah: dapat, dan ini ada logikanya. Mereka yang memegang kekuasaan berkepentingan bahwa ekonomi harus bertumbuh, agar hasil pertumbuhan itu dapat mereka ekstraksikan untuk diri mereka sendiri. Meski demikian, dalam institusi ekonomi yang ekstraktif, pertumbuhan ekonomi tidak dapat berkelanjutan karena tidak ada inovasi teknologi. Inovasi teknologi tidak selalu didukung karena inovasi itu bisa membuka kemungkinan baru yang dapat membahayakan kekuasaan politik atau privilese orang-orang yang menguasai status quo.
Menurut rumusan sosiolog Joseph Schumpeter, inovasi teknologi akan mengakibatkan creative destruction karena kreativitas baru dalam teknologi dapat menjadi kekuatan destruktif terhadap institusi lama. Destruksi kreatif ini dapat terjadi karena teknologi baru membuat kekuasaan lama menjadi tidak relevan atas orang- orang yang mereka kuasai karena sebagian besar pekerjaan diambil alih teknologi baru dengan biaya lebih murah. Kemungkinan kedua, destruksi kreatif diakibatkan oleh keadaan politik yang semakin terbuka, misalnya karena majunya perdagangan dengan luar negeri.
Ada banyak contoh tentang negara yang maju ekonominya dengan institusi politik yang ekstraktif, tetapi kemajuannya kemudian terhenti dan tidak dapat bangkit kembali. Uni Soviet adalah contoh yang baik. Setelah Stalin melakukan konsolidasi kekuasaannya sejak 1927, dan melakukan dorongan besar dalam industrialisasi, maka sejak 1928 hingga 1960 terjadi pertumbuhan ekonomi Uni Soviet dengan tingkat tertinggi dalam sejarah hingga saat itu, yaitu 6 persen per tahun.
Namun, tingkat tinggi pertumbuhan itu tidak terjadi karena inovasi teknologi, tetapi karena realokasi sumber daya dan tenaga kerja dari pertanian ke industri. Kepemilikan pribadi dihapus dan diberlakukan kolektivisasi pertanian yang menghilangkan insentif ekonomi untuk usaha pertanian.
Produktivitas modal dan tenaga kerja terpusat pada sektor industri berat di bawah komando negara, dan pendekatan dari atas ke bawah ini dalam institusi politik yang ekstraktif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun tanpa inovasi teknologi dalam bidang pertanian. Namun, setelah sumber daya pertanian yang direalokasikan itu berkurang dan bahkan habis, maka pertumbuhan ekonomi terhenti, dan terjadi kelaparan yang menyebabkan enam juta orang mati kelaparan.
Para pemimpin Partai Komunis seharusnya secara bertahap membuat institusi ekonomi Uni Soviet inklusif dan dengan itu menyelamatkan perkembangan ekonominya dan mendorong kembali insentif di kalangan petani. Hal ini terlambat sekali dilakukan sehingga ketika Mikhail Gorbachev mulai membuat reformasi institusi ekonomi tahun 1987, kekuatan rezim Partai Komunis runtuh dan hancur berkeping-keping.
Hal yang mirip sama pernah dialami Argentina. Sebelum 1914, negara ini mengalami lima dasawarsa pertumbuhan ekonomi, dan menjadi contoh klasik tentang pertumbuhan ekonomi dalam institusi politik yang ekstraktif. Ekonomi Argentina dikuasai oleh suatu elite kecil yang mempunyai investasi besar dalam pertanian. Pertumbuhan ekonomi didorong oleh ekspor daging, kulit, dan gandum dengan booming harga komoditas-komoditas tersebut. Namun, tak ada inovasi teknologi.
Pada tahun-tahun sekitar Perang Dunia I ketidakstabilan politik meningkat, sementara pemberontakan bersenjata memaksa para elite untuk memperluas ruang bagi sistem politik. Akan tetapi, pergantian sikap ini telah menggiring negeri itu ke mobilisasi kekuatan-kekuatan yang tak dapat dikontrol oleh pemerintahnya, sampai terjadi kudeta pertama pada 1930.
Sejak saat itu hingga 1980 demokrasi dan diktator militer silih berganti berulang kali yang berpuncak pada 1970-an. Tidak ada lagi pusat kekuasaan yang cukup kuat untuk menjaga ketertiban dan penerapan hukum. Kita tahu saat ini negeri ini adalah salah satu yang menderita utang luar negeri yang terbesar.
Kendala oligarki politik
Presiden Jokowi pernah risau dan mengeluh mengapa ekonomi Indonesia tidak meningkat pertumbuhannya. Ibarat kondisi tubuh manusia, “kadar kolesterol dalam kondisi baik, jantung baik, paru-paru bagus, darah tinggi tidak ada, tetapi mengapa tidak bisa berlari cepat? Masalahnya harus dicari.” (Kompas, 6/1/ 2018). Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, berlari cepat berarti mendorong pertumbuhan di atas 5,05 persen dan kalau dapat lebih tinggi dari target yang ditetapkan untuk 2017, yaitu 5,2 persen.
Ada beberapa hal yang bisa dicatat mengenai pernyataan Presiden. Dalam urusan berlari cepat, bukan hanya kondisi kesehatan badan yang menentukan, melainkan juga keteraturan dan disiplin yang ketat dalam latihan berlari. Lagi pula, berdasarkan contoh-contoh dalam sejarah ekonomi, hal utama dalam ekonomi bukan saja berlari cepat, melainkan berlari dengan kecepatan yang ajek seperti dalam ultramaraton yang diselenggarakan harian Kompas di Pulau Sumbawa pada bulan April lalu sejauh 320 kilometer dengan batas waktu 72 jam.
Keteraturan dan disiplin berlari adalah analogi untuk hubungan yang saling mendukung antara institusi politik yang inklusif dan institusi ekonomi yang inklusif. Sudah diketahui bahwa dalam institusi politik yang ekstraktif ekonomi tetap dapat bertumbuh, tetapi tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang karena pelaku ekonomi tidak diberi insentif ekonomi dan karena inovasi teknologi tidak diberi tempat.
Kalau harus dicari masalahnya seperti diinginkan Presiden, maka perlu dilihat apakah institusi ekonomi yang semakin inklusif dalam ekonomi Indonesia didukung atau masih terhalang oleh institusi politik yang masih ekstraktif, karena pemegang hak-hak istimewa dalam ekonomi dan politik tidak menginginkan berkurangnya hak-hak istimewa mereka, dan karena itu tetap mempertahankan konsentrasi kekuasaan pada beberapa tangan yang membentuk oligarki.
Adanya oligarki itu menghalangi munculnya insentif ekonomi pada kalangan yang lebih luas, yang menjadi kekuatan bagi ekonomi untuk terus berlari hingga ke tujuan yang jauh di mata, tetapi dekat di hati bangsa. Dengan singkat, dibutuhkan reformasi dalam arti sebenarnya, yaitu membangun institusi ekonomi dan institusi politik yang sama-sama inklusif, karena pertumbuhan ekonomi sangat tergantung kepada watak institusi politik.
Ignas Kleden, Chairman Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Sumber: Kompas, 15 Mei 2018