Oleh Mikael Peruhe, OFM
Ema, Bapa, kaka-ari, keluarga besar Lamalera yang terkasih, Salam Paskah. Sukacita Kebangkitan Kristus menggerakan kita untuk berkumpul sebagai satu persekutuan persaudaraan di Lefo Geak. Dalam suasana kekeluargaan kita bersama berdoa untuk anggota keluarga besar Lamalera yang telah dipanggil Tuhan, baik mereka yang hidup dan bekerja di Jabodetabek maupun yang di Levo; khususnya kaka-ari yang meninggal di Laut dalam aktivitas lefa dan lainnya.
Kita juga bersyukur bersama-sama atas berkat dan perlindungan Tuhan bagi Levo, keluarga-keluarga kita dan pekerjaan kita selama ini. Kita bersyukur atas kasih Tuhan yang nyata dalam perjalanan hidup kita. Dan dengan keyakinan pada Tuhan yang Mahamurah agar berkenan memberkati seluruh usaha para nelayan kita selama Lefa Nuang agar dianugerahi rejeki dan keselamatan.
Hilibe…..Hilibe…Hilibe!
Kembalikan Kampung-ku Lamalera
Kembalikan Neme Fate
Kembalikan Tena Laja
Kembalikan ajarannya penuh kebajikan hidup
Kembalikan koteklema
Kembalikan…..
Bawah dia kembali Lamalera Ibu-ku
Kembalikan kepadaku Lamalera Bapa-ku
Seruan “Kembalikan Lamaleraku” oleh seorang putra Lamalera di Lefa Geak, Pater Bruno Dasion SVD, memperlihatkan sebuah kegelisahan hati tentang Rahim Ibu Kita Bersama, Levo Lamalera. Mungkin kaka, ari, yang hadir di sini juga menyimpan kegelisahan tertentu tentang eksistensi Levo kita di zaman yang berubah sedemikian pesatnya. Mungkin ada kegelisahan tentang ancaman terhadap hilangnya spiritualitas Lamafa, Tenalaja, Kotaklema, Naje, Tena, Kide Knuke, Prefo, Lefa Nuang dan Tuhan yang berkarya di laut kita. Mungkinkah Tuhan semakin jauh dari kita? Teriakan magis “baleo” sudah menjadi teriakan untuk menyemangati pemain Persebata setiap kali pertandingan di manapun. Mungkin gelisah tentang memudarnya nilai belarasa terhadap kide-knuke. Gelisah tentang tergerusnya nilai solidaritas antara nelayan dan laut, antara manusia dan alam, antara manusia pante dan gunung, prefo. Mungkin gelisah tentang lunturnya spirit dan etika kecukupan yang jauh sekali dari ketamak dan eksploitasi sumber alam; yang ada cukup untuk berbagi. Lamafa membatin Ketika mendorong peledang pagi hari ke laut: Go ki gute knato tite (levo) sesuai Alepte soro tite teti lodo. Karena itu, pergi lefa itu aktivitas sakral, bukan aktivitas berburu ikan Paus, tetapi kejujuran dan kerendahan hati untuk pergi ambil berkat Tuhan, knato teti Alepte untuk nara kayak di Levo.
Ema, Bapa, Kaka, Ari…. Kegelisahan merupakan pengalaman para murid Yesus juga. Gelisah karena kehilangan tumpuan hidup mereka pada Yesus yang adalah Guru dan Tuhan mereka; gelisah karena ketika kembali melaut mereka tidak mendapatkan hasil apa pun (Yoh 21:3). Setelah misteri kebangkitan Yesus, para murid Kembali lagi ke pekerjaan awal sebagai nelayan di tepi pantai danau Tiberias. Mereka pergi melaut dengan perasaan beragam: perasaan bingung, gelisah, hilang harapan dan tidak dapat memahami semua yang terjadi.
Seperti nelayan kita di Levo, para nelayan di danau Tiberias, dalam keseharian, mereka hidup di tepi ketidakpastian. Mereka bergantung sepenuhnya pada alam, pada gelombang, arus dan angin, pada misteri laut yang biru dan dalam. Mereka menggantungkan harapannya pada “knato” dari Tuhan. Mereka melaut setiap hari dengan “peledang harapan” karena yakin dalam batin bahwa harapan mereka tidak akan pernah dikecewakan. Itulah iman para nelayan tangguh, apalagi Lamafa di Levo.
Gambaran yang sama juga kita dapatkan dari Kisah Para Rasul. Ada pergumulan, ada perdebatan tentang adat istiadat dan iman akan Kristus, seperti juga kita di Levo saat ini. Pergumulan dan perbedaan pandangan itu mendorong para rasul menyatu hati dalam persekutuan untuk membicarakan bersama persoalan iman mereka dalam suasana persaudaraan: “Epu pulo mofe Tou, Boi Lema Moro Eha”. Ahhh …. Ini spirit kita, ini identitas kita di Levo, ini identitas Gereja kita: “Berjalan bersama sebagai satu persekutuan persaudaraan”. Gereja Awal menemukan dan memahami identitasnya seperti ini di tengah pergumulan, ketidakpastian, perdebatan, untuk menemukan kehendak Tuhan.
Pergumulan Gereja, pergumulan nelayan di Levo, pergumulan kita semua, hari ini mendapat jawaban peneguhan dalam Kisah Penampakan Yesus di tepi Danau Tiberias, di mana Yesus menunjukkan bahwa “bahkan ketika kita merasa lelah dan putus asa – seperti para nelayan di tepi danau Tiberias yang tidak mendapatkan apa-apa sepanjang malam – Yesus hadir untuk memulihkan, membesarkan hati kita dan menyediakan apa yang kita butuhkan (Deus Providebit), menjamin hidup kita dengan mengatakan “Marilah dan sarapanlah.” (21: 12).
Kepada Petrus, Yesus meminta untuk “menebarkan jala di sebelah kanan perahu,” dan para murid melakukan itu. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan pada kehendak Tuhan, meskipun tampak tidak masuk akal, namun membawa hasil yang melimpah. Asal kita percaya. Asal kita mendengarkan FirmanNya. Asal kita setia melaksanakan apa yang DIA kehendaki untuk kita lakukan dalam keseharian hidup kita.
Ema, Bapa, kaka, Ari, Lihatlah mereka itu: para Lamafa dan para Matros, para nelayan Lamalera dan para Ema Pnete Alep! Spiritualitas kesetiaan pada janji Tuhan ini sudah dihidupi oleh mereka bertahun-tahun. Itulah identitas iman mereka setiap hari. Meski hari itu melaut tanpa hasil, para nelayan Lamalera tetap kembali ke darat dengan semangat, dan berharap Kembali lagi ke laut esok harinya untuk menanti berkat itu datang. Mereka tidak pernah Lelah, seakan mereka tak pernah Lelah melaksanakan perintah Yesus: “tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka kamu akan mendapatnya”. Mendapat Knato, hadiah, anugerah dari Tuhan yang Mahamurah itu sebuah kepastian, sesuatu yang akan datang pada waktu yang tepat karena mereka yakin akan janji Yesus: “kamu akan mendapatkannya”. Itulah Logic of Gift yang dihidupi sehari-hari. Apakah keyakinan ini juga masih menjadi milik kita dalam perjuangan, pergumulan hidup sehari-hari di kampung metropolitan-Jakarta ini? Bekerja itu mengandung spiritualitas “hode knato teti Alepte”, sehingga kita itu akan selalu bersyukur dalam situasi apa pun dalam hidup kita.
Mari kita bawa kembali “Lamaleraku”, identitas hidup kita. Identitas kasih penuh pengharapan karena pengharapan yang digantungkan di tengah laut Sawu yang biru dan dalam tangan kasih Tuhan, tidak pernah mengecewakan kita, Spes non confundit! (Rm. 5:5).
Saya menutup renungan ini dengan mengutip pesan Urbi et Orbi dari Paus Fransiskus sehari sebelum dijemput “Saudari Maut Badani”, 20 April 2025. Pesan ini saya rasa cukup mewakili spiritualitas yang dihidupi di Levo beratus-ratus tahun di tengah gelombang laut Sawu dan di jalan-jalan setapak menuju kampung-kampung di pegunungan untuk du hope:
Paus Fransiskus mengatakan ini kepada kita: “Semua orang yang menaruh pengharapan mereka pada Allah, menempatkan tangan mereka yang lemah dalam tangan-Nya yang kuat dan perkasa; mereka membiarkan diri mereka dibangkitkan dan memulai sebuah perjalanan bersama dengan Yesus yang telah bangkit sebagai peziarah pengharapan”.
“Nasib sare pi musi lefa tung napi; me’ngaji le’ta di Alepte, soro pi musi napi hode tena pe’no teti mu lali. Nei se’nareng melang hena di lefa ale’p, lau fe’ sape rae uring”.
Tuhan memberkati Kita, Pace e Bene! 1 Mei 2025
———————–
* P. Mikael Peruhe, OFM, adalaha Imam Fransiskan – Bertugas di Jakarta
*Tulisan ini adalah Homili pada Perayaan Misa Syukur atas Berkat Tuhan untuk Levo Lamalera, I Mei 2025
Luar biasa Homili Pater….
Luar biasa Homili Pater, Tuhan berkati semua usaha kita…Amen
Sungguh luar biasa pesan dlm renungan atau tulisan Pater Mikel. Bahwa kita tidak akan kecewa bila hidup bergantung pada Tuhan.dan spirit ini sungguh2 dipegang oleh org2 kita baik yg di kampung atau di perantauan. Kita tetap bersatu dan tetap berdoa agar tidak jatuh atau hilang adat dan budaya yg sudah ada dari jaman dulu yg diwariskan oleh leluhur kita