OLEH IGNAS KLEDEN
Demokrasi merupakan perkembangan terpenting selama abad ke-20, begitu pendapat Amartya Sen, peraih hadiah Nobel untuk ekonomi tahun 1998. Hampir semua negara modern menyebut diri mereka demokratis meskipun sistem politik yang diterapkan adalah sistem sosialis. Bahkan, negara-negara yang tidak menganut demokrasi merasa diharuskan memberi penjelasan publik, mengapa mereka tak memilih demokrasi.
Jumlah negara-negara di dunia yang menganut demokrasi meningkat pesat. Menurut laporan Freedom House 2013, terdapat 122 negara di dunia sekarang yang menerapkan demokrasi, atau sebanyak 61 persen dari penduduk dunia. Ini merupakan peningkatan luar biasa karena pada tahun 1980 hanya 31 persen penduduk dunia yang menganut demokrasi sebagai sistem politik mereka.
Di lain pihak, cukup banyak studi yang menunjukkan gejala melemahnya demokrasi. Terlihat keadaan yang disebut faltering democracy atau terhuyung-huyungnya demokrasi pada berbagai kurun waktu.
Sebagai contoh, untuk masa sekarang demokrasi menghadapi tantangan dari atas dan dari bawah. Dari atas ada kekuatan besar yang menimpa dalam wujud globalisasi dengan akibat banyak lembaga negara dan lembaga demokrasi kelimpungan. Dalam bidang hukum, berbagai undang-undang negara seakan harus takluk berhadapan dengan keputusan, undang-undang, dan konvensi internasional. Dalam bidang keuangan tak begitu jelas lagi apakah keuangan suatu negara masih diatur bank sentral negara bersangkutan atau sudah tunduk kepada bursa efek. Dalam pendidikan, khususnya di Indonesia, terlihat keraguan apakah pendidikan nasional harus mencapai cita-cita suatu bangsa mengenai pembentukan warga, pengembangan bakat tiap individu, dan pembentukan watak yang cukup kuat dalam menghadapi perubahan zaman, ataukah pendidikan nasional harus mengejar standar internasional yang ditetapkan oleh bangsa dan negara lain. Berkembang mitos baru sekolah yang mencapai standar internasional akan menghasilkan lulusan dengan kualitas yang dengan sendirinya bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan kemajuan suatu negara.
Dari bawah, demokrasi menghadapi sikap semakin asertif dari rakyat yang memberikan suara mereka dalam pemilihan umum. Akibatnya, negara terpaksa menerima tambahan tugas dan cukup banyak dari antaranya tak dapat dilaksanakan-seperti memberantas kemiskinan atau membasmi terorisme-dan kemudian memberikan lebih banyak janji yang juga tak dapat dipenuhinya.
Dipersoalkan apakah jabatan-jabatan dalam pemerintahan menjadi mata pencaharian dan sumber nafkah, ataukah jabatan-jabatan itu merupakan institusi politik yang mempunyai tugas politik untuk melayani dan memperbaiki taraf hidup rakyat.
Dua editor senior majalah The Economist, John Micklethwait dan Adrian Wooldridge, menerbitkan buku mereka pada tahun 2014, The Fourth Revolution: The Global Race to Reinvent the State. Judul revolusi keempat lebih memancing minat pembaca, tetapi titik berat buku itu terletak pada subjudulnya, yaitu perlombaan untuk menemukan kembali negara pada tiap zaman.
Sebelum membicarakan revolusi keempat, tiga revolusi sebelumnya dipatok berdasarkan tiga filsafat politik yang pernah muncul di Inggris. Revolusi pertama muncul pada abad ke-16-17 dan ditandai filsafat politik Thomas Hobbes tentang perlunya negara sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan penuh. Leviathan sebagai makhluk mitologis yang besar, kuat, dan ditakuti dimunculkan untuk meredakan perang di antara individu, yang dalam membela kepentingannya masing-masing bertindak sebagai serigala menghadapi serigala lain.
Eropa abad ke-16-17 merupakan benua yang hancur-lebur oleh perang saudara dan perang antar-agama. Inilah masanya Louis XIV memegang kekuasaan mutlak di Perancis. Ini juga masa berkecamuknya Perang Tiga Puluh Tahun yang menumpahkan banyak darah di antara berbagai negara yang bertempur satu sama lain atas nama agama. Keadaan agak mereda dengan penandatanganan Perdamaian Westphalia pada 1648 yang memperkenalkan prinsip baru dalam politik dan agama. Prinsip cuius regio, eius religio menetapkan agama mengikuti siapa menguasai suatu daerah.
Revolusi kedua muncul pada abad ke-18-19 ketika negara menjadi kuat dan terlalu kuat, aristokrasi lama masih berkuasa, sementara revolusi industri berkembang bersama kaum borjuasi yang memimpinnya.
John Stuart Mill menerbitkan bukunya, On Liberty (1859), yang membela kebebasan individual sebagai ideal tertinggi dalam demokrasi. Dari ayahnya, James Mill, dia mewarisi tiga kata-kunci sebagai mantra baru filsafatnya, yaitu kebebasan (liberty), kemampuan berpikir (reason), dan usaha (effort).
Mill percaya tuan-tuan tanah besar dalam tradisi Inggris merupakan ancaman terhadap tiga hal tersebut. Bagaimana mungkin industri akan maju apabila para tuan tanah yang tak bekerja memetik hasil dari yang ditanam orang lain? Bagaimana ilmu pengetahuan akan berkembang apabila rakyat diajar berpikir oleh kaum agama yang tak tahu bagaimana ilmu pengetahuan berkembang? Demokrasi harus menjadi sistem politik zaman baru karena dua alasan. Di satu pihak demokrasi dapat mencegah tirani, agar dalam kebebasan penuh tiap individu dapat mengembangkan bakat-bakatnya dalam mendorong kemajuan masyarakat. Di lain pihak, kemajuan masyarakat akan digenjot kekuatan kembar, yaitu liberalisme ekonomi dan liberalisme politik.
Ideal kebebasan ini mendapat soko gurunya dalam kalangan intelektual Viktorian yang menolak struktur kekuasaan lama. Sastrawan Charles Dickens menulis novel yang melukiskan secara karikatural sistem hukum Inggris sebagai mesin pembunuh waktu yang rumit, tetapi sia-sia. Dia menamakan kantor pemerintah the office of circumlocution, yaitu divisi pemerintahan yang menghalangi kemajuan dengan banyak bicara.
Dapat dipahami mengapa filsafat John Stuart Mill mengutamakan hak-hak individual dan bukannya hak-hak sosial. Tugas negara adalah melindungi hak-hak individual ini dari intervensi negara dan tekanan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Negara yang ideal adalah negara minimal atau minimal state.
Pembalikan besar
Gagasan negara minimal ini mendapat pembalikan besar dalam abad ke-20 di bawah pengaruh pasangan Sidney Webb dan Beatrice Webb. Keduanya memperkenalkan gagasan Negara Kesejahteraan atau Welfare State yang kemudian dipraktikkan di hampir semua negara Eropa dan Amerika Serikat, dan menjadi revolusi ketiga.
Tulisan yang amat berpengaruh tentang Negara Kesejahteraan adalah 10 jilid studi Beatrice Webb tentang pemerintahan lokal, yang terbit antara 1906 dan 1929. Di situ tercantum dalil utama filsafatnya bahwa negara merupakan pengejawantahan akal universal atau the embodiment of universal reason. Negara bertugas melakukan perencanaan dan bukannya membiarkan khaos, memberlakukan meritokrasi dan bukannya melindungi privilese berdasarkan keturunan, mendorong ilmu pengetahuan dan bukannya bekerja berdasarkan prasangka. Negara minimal yang diajarkan John Stuart Mill tidak akan kuat melaksanakan semua tugas itu sehingga pemerintahan perlu diperbesar dan diperluas.
Beberapa prinsip filsafat liberal diubah maknanya. Dalam filsafat liberal kebebasan adalah bebas dari kontrol eksternal, sedangkan dalam Negara Kesejahteraan kebebasan berarti bebas dari kemiskinan dan kekurangan. Kesamaan dalam filsafat liberal berarti kesamaan di depan hukum, sedangkan dalam Negara Kesejahteraan kesamaan berarti adanya kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk berusaha dan maju.
Dalam praktiknya, kesamaan dalam Negara Kesejahteraan berarti adanya sekolah bagi setiap anak dan terbukanya universitas bagi orang-orang miskin berbakat. Negara berkewajiban menyiapkan suatu minimum nasional untuk pendidikan dan kesejahteraan. Untuk menjaga dan mengawal pandangan-pandangan sosialis, pasangan Webb membentuk Kelompok Fabian (Fabian Society) di Inggris dan mendirikan London School of Economics (LSE) untuk mendidik perencana sosial dari seluruh penjuru dunia. Dalam gerakan ini keduanya dibantu para cendekiawan, seperti sastrawan Bernard Shaw dan Harold Laski seorang intelektual serikat buruh dan guru besar di LSE.
Di Inggris sendiri filsafat yang mengunggulkan peran negara tidak saja disambut kelompok sosialis, tetapi juga ekonom liberal seperti John Maynard Keynes. Bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) merupakan kritik yang paling mematikan terhadap pasar bebas, khususnya terhadap dalil bahwa pasar dalam kapitalisme merupakan mekanisme yang dapat mengoreksi dirinya sendiri. Uniknya, kritik terhadap kapitalisme ini tidak lahir dari rasa permusuhan dengan kapitalisme, tetapi dari kecintaannya pada sistem itu agar bisa awet karena dapat memperbaiki dirinya terus-menerus.
Menurut Keynes, tidak ada kecenderungan alamiah dalam ekonomi pada full employment sebagaimana diajukan para ekonom klasik. Ekonomi kapitalis justru dapat hancur oleh tingkat pengangguran yang terlalu tinggi yang mengakibatkan menurunnya permintaan dalam pasar dan menimbulkan keresahan sosial. Dalam hal ini negara dapat menggunakan government spending untuk meningkatkan permintaan dengan membayar orang yang tak bekerja dan menciptakan lapangan kerja. Dalam pada itu negara tak boleh mengonsumsi lebih dari 25 persen produk domestik bruto.
Di Amerika Serikat, Presiden Theodore Roosevelt (1901-1909) mendirikan badan-badan regulasi untuk mematahkan monopoli dan memperkuat konsumen. Namun, dia tetap yakin kapitalisme merupakan sistem terbaik untuk menciptakan kemakmuran, selama para raksasa bisnis tidak menghancurkan kompetisi, karena kompetisilah dan bukan bisnis per se yang menciptakan kemakmuran untuk orang banyak. Dalam keadaan sulit, dia menghendaki negara menolong warga yang miskin melalui safety net yang juga difungsikan untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Peran pers
Dengan kedudukan negara demikian kuat dalam Negara Kesejahteraan, tetap saja ada kebutuhan untuk mendorong dan mengawasi perubahan yang terjadi pada negara. Perubahan ini diharuskan oleh menyusutnya sumber daya alam yang terserap industri, bentuk-bentuk kompetisi baru di antara negara-bangsa, dan terbukanya kemungkinan baru untuk melakukan berbagai usaha dengan metode lebih baik. Keharusan bagi negara dan pemerintahan memperbaiki dirinya dalam menghadapi perubahan-perubahan obyektif pada tiap zaman dinamakan revolusi keempat.
Dalam tiap tahapan teori revolusi yang diilustrasikan dalam sejarah politik Inggris, tampak jelas setiap filsafat tentang negara mau tak mau sekaligus harus membahas juga kedudukan manusia di dalam negara dan hubungan antara individu dengan negara, dan individu dengan lembaga-lembaga sosial. Teori demokrasi selalu memuat pemikiran tentang hak-hak dan kewajiban individu terhadap negara dan terhadap individu lainnya, dan sekaligus hak-hak dan kewajiban negara terhadap masing-masing individu sebagai warganya. Ada dua hal yang amat menonjol dalam hubungan ini.
Pertama, selalu terlihat munculnya silih berganti pemikiran yang lebih mengutamakan negara atau individu. Negara dibutuhkan bila individu menjadi sumber konflik akibat obsesi tiap orang dengan kepentingan dirinya. Sebaliknya, individu dibela apabila negara dianggap membahayakan kebebasan setiap orang dalam menentukan kemajuan dirinya.
Kedua, persoalan pada akhirnya bukanlah kuatnya kedudukan negara atau stabilnya kedudukan individu, tetapi apakah dalam kedua sistem itu tidak tercipta keadaan di mana sekelompok orang tersingkir sama sekali dari kemungkinan hidup layak dan bermartabat. Apa yang sering dikritik sebagai gagalnya demokrasi substansial, akibat terpakunya perhatian pada prosedur demokrasi, dalam praktik dapat dijawab memadai bukan saja oleh teori demokrasi, melainkan juga oleh teori tentang negara yang diterapkan secara demokratis.
Peringatan bagi negara dan bagi individu untuk memperbaiki perilakunya terus-menerus merupakan tugas khusus bagi pers dalam revolusi keempat. Pers tidak hanya berbicara tentang sistem politik dan ekonomi, tetapi terutama menjaga sensitivitas para pemimpin negara dan kesadaran setiap individu dalam masyarakat bahwa kemajuan politik dan ekonomi secara kualitatif hanya mungkin dilakukan apabila setiap pertumbuhan ekonomi dan perbaikan struktur politik menjadi kondisi bagi kemajuan manusia dan masyarakatnya. Karena kemakmuran adalah realisasi kesejahteraan, dan kesejahteraan adalah penjelmaan martabat manusia dalam sejarah.
Sumber : Kompas 2016