Oleh Fitzerald Kennedy Sitorus
Agar dapat dengan tepat memahami metakritik yang dilakukan oleh Hegel terhadap Kant, maka tulisan yang sangat singkat ini disusun dengan struktur demikian: Pada bagian I, saya akan menggariskan filsafat transendental Kant, bagian II berisi metakritik Hegel terhadap Kant, bagian III tentang „penduniaan“ atau detransendentalisasi rasio oleh Hegel serta Dialektika Tuan-Budak yang merupakan momen dialektis dari mana kesadaran-diri muncul secara historis (III.). Bagian terakhir (IV) berisi tanggapan kritis atas kritik Hegel atas Kant serta pengaruh filsafat Hegel.
I.Filsafat Transendental Kant
Kant sering disalahpahami. Salah paham itu biasanya menilai Kant sebagai
„penghancur segala sesuatu“, termasuk metafisika (Kant adalah der Alleszermalmer, kata Moses
Mendelssohn), atau bahwa filsafat teoretis Kant adalah sebuah epistemologi
(teori pengetahuan) karena Kant hendak menjelaskan proses terjadinya
pengetahuan. Kant juga sering dikatakan hendak mendamaikan pertentangan antara
rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa
rasio adalah sumber pengetahuan, sebaliknya, empirisme mengatakan bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman empiris.
Sesungguhnya, identifikasi-identifikasi demikian keliru. Intensi Kant bukanlah untuk menghancurkan metafisika, melainkan justru untuk membangun-ulang metafisika di atas dasar yang sama sekali baru, dengan maksud agar metafisika dapat menjadi ilmiah, sama seperti ilmu-ilmu alam. Kant juga tidak hendak menjelaskan terjadinya pengetahuan, melainkan hendak menjelaskan syarat-syarat yang memungkinkan terjadinya pengetahuan. Distingsi ini perlu dipahami dengan cermat. Penjelasan tentang terjadinya pengetahuan itu termasuk dalam bidang epistemologi (teori pengetahuan). Tapi penjelasan tentang syarat-syarat yang memungkinkan terjadinya pengetahuan, itu masuk dalam wilayah filsafat transendental. Inilah yang diteliti oleh Kant. Jadi, pertanyaan Kant bukanlah pertanyaan empiris-epistemologis: bagaimana terjadinya pengetahuan? (wie ensteht die Erfahrung), melainkan transendental: bagaimana pengetahuan itu mungkin, lebih tepat lagi: apa yang terdapat di dalam pengalaman itu? (wie ist Erfahrung möglich? genauer: was in ihr liegt? (dalam Prolegomena, A 87, § 21). Kant menegaskan: „Kata transendental bagi saya tidak menyangkut hubungan pengetahuan kita dengan benda-benda, melainkan hanya menyangkut kemampuan pengetahuan kita“ (Prolegomena, A 71). Dan kalau kemudian rasionalisme dan empirisme terdamaikan (tersintesakan) dalam filsafat Kant, itu adalah konsekuensi dari proyek filsafat transendentalnya, dan bukan merupakan intensi Kant sendiri.
Pertanyaan yang menjadi titik-tolak seluruh filsafat Kant berbunyi: „Wie ist Metaphysik als Wissenschaft möglich? Bagaimana metafisika sebagai ilmu pengetahuan itu mungkin? (Pengantar Kritik der reinen Vernunft/Kritik Akal Budi Murni, B 23). Mengapa Kant mengajukan pertanyaan ini? Jawabnya, karena Kant melihat bahwa sejak zaman Yunani Kuno metafisika tidak mengalami kemajuan sama sekali. Para filsuf selalu saling menyangkal dan membatalkan pendapat filsuf sebelumnya. Metafisika menjadi „medan pertarungan tanpa akhir“, katanya (Prakata, KdrV, A VIII). Perkembangan sebaliknya terjadi pada ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu ini maju secara konstan dan progresif. Sekali sebuah teori ditemukan maka teori itu dapat menjadi pijakan untuk penemuan berikutnya. Tidak ada teori yang saling menyangkal dalam ilmu alam. Nah, Kant, yang sangat mengagumi Newton, ingin agar metafisika juga dapat menjadi ilmiah sebagaimana ilmu-ilmu alam.
Tapi bagaimana menjawab pertanyaan mengenai: „Bagaimana metafisika sebagai ilmu pengetahuan itu mungkin?“ Tentu, pertanyaan ini tidak bisa diteliti secara langsung. Strategi penelitian yang dilakukan Kant adalah dengan mereformulasi pertanyaan tersebut, demikian: Pertanyaan mengenai kemungkinan metafisika sebagai ilmu pengetahuan hanya bisa dijawab dengan lebih dulu menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan ilmu pengetahuan: bagaimana ilmu pengetahuan itu mungkin? Dan pertanyaan mengenai kemungkinan ilmu pengetahuan hanya bisa dijawab dengan lebih dulu menjawab pertanyaan: bagaimana “pengetahuan yang bersifat umum dan niscaya“ itu mungkin, karena yang disebut ilmu pengetahuan adalah proposisi-proposisi yang bersifat umum dan niscaya. Dan pertanyaan mengenai kemungkinan pengetahuan yang bersifat umum dan niscaya hanya bisa dijawab dengan meneliti: bagaimana „putusan-putusan sintesis apriori“ itu mungkin, karena ilmu pengetahuan terdiri dari putusan-putusan sintesis apriori. Contoh putusan sintesis apriori itu: „semua kejadian pasti ada penyebabnya“ atau „semua benda jatuh dari atas ke bawah“ atau „air akan mendidih kalau dipanasi hingga 100 derajat celcius“. Oleh karena itu Kant memulai penelitiannya dengan meneliti pertanyaan mengenai: „bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin?“ (B 19).
Kant mengidentifikasi ada tiga jenis putusan:
1.Putusan analitis: putusan yang tidak menambahkan informasi apapun pada subyek putusan. Misalnya: Bujangan adalah orang yang belum menikah. Putusan ini tidak menghasilkan pengetahuan baru, tidak memperluas pengetahuan, dan karena itu tidak dapat menjadi prinsip pengetahuan. Putusan ini khas putusan rasionalisme (mis: Descartes, Leibniz, Wolff). 2. Putusan sintetis: putusan yang menambahkan sesuatu pada subyek berdasarkan pengalaman (putusan sintetis aposteriori). Misalnya: ruangan ini dingin. Dalam konsep „ruang“ tidak terkandung konsep „dingin“. Konsep dingin diatributkan sebagai predikat kepada konsep ruang berdasarkan pengalaman. Putusan ini khas empirisme (Hume, Locke). Tapi karena pengalaman bersifat partikular dan kontingen, sementara ilmu bersifat universal dan niscaya (misalnya putusan di atas) maka putusan ini tidak dapat menjadi dasar ilmu pengetahuan.
Putusan yang menjadi dasar ilmu pengetahuan itu disebut Kant 3. Putusan sintetis apriori. Ini adalah jenis putusan yang bersifat sintetis (artinya: predikat menambahkan sesuatu pada subyek), tapi bersifat apriori (penambahan itu tidak diperoleh dari pengalaman) serta niscaya dan universal. Keniscayaan dan universalitas putusan ini tidak mungkin diperoleh dari pengalaman karena pengalaman selalu bersifat partikular dan kontingen. Putusan “semua kejadian pasti ada penyebabnya“ bersifat sintetis karena predikat „penyebab“ tidak secara konseptual terkandung dalam konsep „kejadian“, melainkan itu ditambahkan, tapi bukan secara aposteriori (karena kita menghasilkan keputusan tersebut tanpa harus meneliti semua kejadian yang pernah ada di muka bumi ini), melainkan secara apriori (mendahului pengalaman). Dan putusan itu juga universal karena berlaku di mana-mana dan kapan pun (lihat kata „semua“). (KdrV, B 11/A 7 dst).
Fakta keberlakuan putusan sintetis apriori (sebagaimana terlihat dalam pernyataan-pernyataan ilmu-ilmu alam) membuktikan bahwa ada struktur-struktur apriori dalam diri subyek yang memungkinkan pengetahuan tersebut. Seperti dijelaskan di atas, putusan tersebut tidak mungkin didasarkan atas pengalaman. Struktur apriori yang memungkinkan pengetahuan inilah yang diteliti Kant dalam filsafat transendentalnya. „Tugas utama Akal Budi Murni terkandung dalam pertanyaan ini: bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin?“ (KdrV, B 19).
Secara singkat, Kant kemudian memperlihatkan bahwa struktur-struktur apriori yang memungkinkan pengetahuan (putusan sintetis apriori) itu adalah 1. Ruang dan Waktu, 2. 12 kategori-kategori transendental dan 3. Saya transendental (das transzendentales Ich). Melalui sintesis antara struktur-struktur apriori (struktur pikiran) dan keterberian obyek-obyek secara aposteriori (empiris) inilah pengetahuan menjadi mungkin. Berdasarkan hal inilah maka sering dikatakan bahwa Kant telah mendamaikan empirisme dan rasionalisme. (Lebih jauh mengenai hal ini lihat buku saya: Das transzendentale Selbstbewusstsein bei Kant, Hamburg: Dr. Kovac, 2008, hal 63-106).
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa locus penelitian Kant bukanlah pada obyek pengetahuan, melainkan pada struktur pikiran kita yang memungkinkan kita mengetahui obyek tersebut. Tapi, bagaimana struktur pikiran bisa diteliti? Ya, tidak ada jalan lain kecuali dengan melihat bagaimana pikiran bekerja untuk menghasilkan pengetahuan mengenai obyek itu. Jadi, Kant „mempreteli“ proses terjadinya pengetahuan itu untuk melihat cara kerja dan instrumen pikiran kita untuk menghasilkan pengetahuan itu. Jadi, fokus Kant adalah untuk meneliti struktur pikiran yang menghasilkan pengetahuan mengenai obyek itu, tapi untuk meneliti itu ia harus meneliti bagaimana pikiran bekerja dalam menghasilkan pengetahuan tersebut. Struktur pikiran akan tercermin dan dapat diihat dari cara kerjanya dalam menghasilkan pengetahuan. Karena itu, logika argumentasi Kant selalu demikian: „harus ada kategori ini atau itu, sebab kalau tidak, pengetahuan (mengenai obyek tersebut) tidak mungkin.“
Nah, karena kategori-kategori itu menjadi syarat kemungkinan pengetahuan, maka kategori itu sifatnya transendental. Artinya: dia harus dianggap ada, agar pengetahuan menjadi mungkin; tanpa kategori-kategori itu pengetahuan tidak mungkin. Kategori-kategori itu juga tidak mungkin dijadikan obyek pengetahuan sebab justru merekalah yang memungkinkan pengetahuan; syarat-syarat kemungkinan pengetahuan tidak mungkin dijadikan obyek pengetahuan. Pengetahuan yang kita peroleh mengenai kategori-kategori tersebut (yakni bahwa mereka merupakan syarat kemungkinan pengetahuan) dinamai Kant pengetahuan transendental.
Secara singkat, Kant memperlihatkan bahwa semua pengetahuan bertolak dari keterberian obyek-obyek empiris kepada subyek penahu, yang kemudian diresapi oleh si subyek melalui kategori-kategori apriori keindrawian (yakni Ruang dan Waktu) dan selanjutnya diproses oleh instrumen-instrumen pikiran (yakni, 12 kategori transendental) dan semua pengalaman itu disintesakan oleh Kesadaran Diri Transendental (transzendentales Selbstbewusstsein). Kant mengatakan: Gedanken ohne Inhalt sind leer, Anschauungen ohne Begriffe sind blind; pikiran tanpa isi adalah kosong, intuisi tanpa konsep adalah buta.(KdrV, B 75/A 51). Obyek empiris itu adalah isi atau materi pengetahuan, sementara pikiran manusia memberi bentuk (konsep) kepada materi itu; pengetahuan adalah sintesa antara materi dan bentuk/pikiran. Para filsuf dalam metafisika tradisional selalu bertengkar mengenai konsep-konsep metafisika karena mereka hanya memiliki pikiran tanpa isi/materi pengetahuan.
Pengetahuan transendental tentang struktur pikiran itulah yang dimaksud oleh Kant dengan metafisika. „Metafisika“, katanya „adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum akal budi murni manusia“ (Reflexion 3952) atau „sistem prinsip-prinsip semua pengetahuan apriori (AA XVIII, hal. 323). „Metafisika bukanlah sebuah filsafat mengenai obyek-obyek, karena hal ini hanya dapat terberi melalui indra, melainkan filsafat mengenai subyek, yakni hukum-hukum pikiran-nya“ (Reflexion 3716). Metafisika pada Kant bukanlah filsafat mengenai hal-hal yang melampaui yang empiris/fisika karena hal itu tidak mungkin, melainkan filsafat mengenai apa yang memungkinkan (pengetahuan mengenai) yang physics itu. Dan apa yang memungkinkan pengetahuan tentang yang physics itu pasti tidak lagi berada di dalam yang physics, ia pasti terletak di seberang (meta) yang physics itu, yakni struktur pikiran manusia itu sendiri. Jadi metafisika pada Kant adalah filsafat pengenai struktur pikiran manusia yang transendental itu.
II. Metakritik Hegel
Metakritik adalah kritik yang ditujukan bukan kepada apa yang dikatakan pihak lain, melainkan kepada pengandaian-pengandaian atau asumsi yang mendasari apa yang dikatakan itu. Kritik Hegel kepada Kant disebut metakritik karena Hegel mengkritik pengandaian-pengandaan filsafat transendental Kant di atas.
Dalam metakritiknya, Hegel menuduh Kant jatuh dalam sebuah „sikap alamiah“ (eine natürliche Vorstellung (Phänomenologie des Geistes, hal. 68) yang mengatakan bahwa sebelum kita mengetahui maka kita harus lebih dulu memeriksa alat yang kita gunakan untuk mengetahui itu sehingga kita tahu batas-batas dan kemampuan alat tersebut. Alat yang dimaksud Hegel adalah pikiran itu sendiri, yang strukturnya diteliti oleh Kant. Sepintas ini sikap yang masuk akal, tapi nanti Hegel akan memperlihatkan bahwa ini adalah sikap yang absurd. Dalam pandangan Hegel, Kant memahami bahwa pikiran kita itu seperti alat yang kita gunakan untuk menangkap obyek. Kant meneliti alat itu: strukturnya, cara kerjanya dan batas-batas kemampuannya. Hasilnya adalah bahwa pengetahuan hanya terbatas pada obyek-obyek indrawi (dan karena itu metafisika tradisional yang berbicara mengenai obyek-obyek supra-indrawi adalah tidak mungkin). Penelitian Kant juga memperlihatkan, karena pikiran kita sudah selalu langsung bekerja untuk mem-frame obyek yang kita persepsi maka, sebagai konsekuensinya, kita tidak lagi mengetahui obyek pada dirinya sendiri (das Ding an sich atau noumena), yang kita ketahui hanyalah obyek yang terberi kepada kita (das Ding für uns atau fenomena) melalui pikiran tersebut. Kita dapat mengandaikan pikiran kita itu ibarat kaca mata biru yang telah selalu kita gunakan dalam melihat sesuatu. Karena kita telah selalu mengenakan kaca mata biru itu, maka kita melihat semua obyek sesuai dengan kaca mata itu, yakni berwarna biru. Padahal bisa saja obyek itu dalam kenyataannya tidak berwarna biru.
Justru di sinilah absurditas Kant menurut Hegel. Penelitian Kant mengenai syarat-syarat pengetahuan (dalam dua jilid tebal buku Kritik Akal Budi Murni) itu sudah merupakan pengetahuan, yakni pengetahuan mengenai syarat-syarat pengetahuan. Karena itu, kalau Kant konsisten, kata Hegel mengejek, Kant juga harus meneliti syarat-syarat dari syarat-syarat pengetahuan, begitu seterusnya regressus in infinitum. Sikap absurd Kant itu, kata Hegel, sama seperti orang yang tidak mau terjun ke dalam air sebelum tahu caranya berenang. Padahal berenang harus dipelajari dengan terjun langsung ke dalam air.
Hegel juga menolak asumsi Kant yang melihat hubungan antara pikiran dan obyek pengetahuan sama seperti hubungan antara alat/instrumen yang digunakan untuk menangkap sesuatu. Kalau pikiran adalah alat yang kita gunakan untuk menangkap sesuatu, maka, demikian Hegel, obyek yang kita ketahui/tangkap bukan lagi obyek sebagaimana adanya, melainkan obyek yang telah terkontaminasi oleh alat yang kita pakai untuk menangkap obyek itu. Itu berarti, kita hanya akan selalu menangkap obyek yang telah terdistorsi, padahal pengetahuan bertujuan untuk memahami obyek apa adanya. Lalu bagaimana kita dapat menghilangkan pengaruh alat itu kepada obyek pengetahuan agar kita memperoleh pengetahuan yang apa adanya mengenai obyek? Ini semakin menambah absurditas filsafat Kant di mata Hegel.
Hegel juga menolak setiap pengetahuan transendental (Ruang dan Waktu, ke-12 kategori transendental, dan kesadaran diri transendental) dalam filsafat Kant. Transendentalitas konsep-konsep ini tidak memuaskannya. Mengapa? Karena keberadaan konsep-konsep itu hanya berupa pengandaian; apakah mereka sungguh-sungguh ada, kita tidak pernah tahu. Sistem filsafat idealisme absolut Hegel menuntut bahwa semua bagian dari realitas harus dapat diketahui. Hegel juga mengkritik Kant yang memahami subyek dan kesadaran diri secara ahistoris, seakan-akan tidak tertanam pada dunia historis-empiris tertentu. Tidak ada subyek yang ahistoris, demikian Hegel.
III. Detransendentalisasi Rasio
Lalu bagaimana alternatif yang diajukan Hegel? Hegel tidak lebih dulu meneliti syarat-syarat pengetahuan, sebagaimana dilakukan Kant. Hegel langsung terjun ke dalam air, dan tanpa mengandaikan apapun. Bagaimana caranya? Ia melakukan apa yang diistilahkan Habermas dengan detransendentalisasi kesadaran diri atau rasio. Kesadaran diri yang bersifat transendental itu, yang mengawang-awang itu, ditarik Hegel turun ke bumi, ke realitas empiris-historis, dan kemudian ia dipahami dalam perkembangan historisnya. Itulah yang dimaksud dengan detransendentalisasi.
Filsafat, kata Hegel, tidak boleh mengandaikan apapun. Bila filsafat bertolak dari pengandaian tertentu, maka filsafat demikian tidak sungguh-sungguh filosofis lagi, sebab hal itu berarti, masih ada bagian dari realitas yang tidak sungguh-sungguh dipahami dan dijelaskan, yakni pengandaian itu sendiri. Dalam Ilmu Logika (Wissenschaft der Logik)-nya kita kemudian dapat melihat kritik sistematis Hegel terhadap setiap filsuf yang membangun filsafatnya dengan bertolak dari pengandaian tertentu. Misalnya Descartes, Kant, Spinoza atau Leibniz. Bagaimanakah sosok filsafat yang sungguh-sungguh tanpa pengandaian itu? Dengan apakah ia dimulai? Jawaban atas pertanyaan ini dipaparkan Hegel dalam bukunya Fenomenologi Roh (Phänomenologie des Geistes) di mana ia menggambarkan perkembangan Roh atau kesadaran mulai dari momen yang paling universal dan dasariah hingga momen yang paripurna, yakni Roh Absolut.
Apakah momen yang paling dasariah, paling unversal dan tanpa pengandaian itu? Hegel menyebutnya kepastian-indrawi (die sinnliche Gewißheit). Ini adalah pengetahuan yang kita peroleh begitu saja dengan mata telanjang; pokoknya, apa yang tampak kepada kita secara indrawi. Bentuk konseptual dari kepastian indrawi ini adalah: Ini (das Diese), karena segala hal bisa kita tunjuk dengan Ini. Pengetahuan bertolak dari sini. Kemudian, secara fenomenologis-dialektis, dari Iniitu muncullah konsep-konsep lain yang lebih spesifik dan kaya, antara lain persepsi (die Wahrnehmung), penampakan (die Wahrnehmung), pikiran (die Verstand), kesadaran-diri (das Selbstbewusstsein), roh (der Geist), agama (die Religion), seni (die Kunst), hingga pengetahuan absolut (das absolute Wissen). Tidak mungkin memaparkan keseluruhan proses tersebut dalam ruang yang sangat terbatas ini. Kiranya cukup dikatakan bahwa karakter utama filsafat Hegel, terutama dalam kontra-distingsinya kepada Kant adalah bahwa Hegel selalu memahami segala sesuatu dalam perkembangan historisnya. Tidak ada konsep yang muncul begitu saja, setiap konsep adalah hasil perkembangan historis-dialektis dari konsep sebelumnya.
Tesis utama filsafat Hegel adalah bahwa keseluruhan kenyataan ini adalah manifestasi-diri dari Roh. Tapi bagaimana filsafat memahami Roh dan manifestasi diri-Nya itu, itu hanya dapat dilakukan bila kita memahami keseluruhan proses itu dalam perkembangan historisnya. Dengan demikian, pada Hegel, tidak ada lagi yang transenden, melainkan yang metafisis. Kalau Kant mengatakan bahwa pengetahuan metafisika itu tidak mungkin, Hegel justru mengukuhkan metafisika. Namun, pada Hegel, yang metafisis itu hanya dapat dipahami dalam perkembangan historisnya. Tuhan hanya dapat dikenali berdasarkan manifestasi historisnya dalam dunia yang empiris. Subyek atau kesadaran diri, agama, kimia, fisika, biologi, moralitas, negara, mekanika, seni dan lainnya itu (semua itu dibahas Hegel dalam filsafatnya) hanya dapat dipahami secara tepat bila ia diletakkan dalam sejarah yang historis.
Sejarah, pada Hegel, merupakan sejarah Roh. Roh memanifestasikan dirinya di dalam dan melalui sejarah. Dan sistem filsafat Hegel yang disebut Idealisme Absolut itu tidak lain dari deskripsi fenomenologis-dialektis atas momen-momen dialektis manifestasi diri Roh itu. Tentu kita dapat bertanya: mengapa Roh harus memanifestasikan dirinya? Jawaban Hegel: karena itu sudah merupakan hakikat-Nya. Roh hanya merupakan Roh kalau ia memanifestasikan diri-Nya. Artinya: Roh yang non-material dan non-empiris itu bukanlah Roh yang tetap abstrak dan mengawang-awang; ia mesti menjadi yang empiris dan material. Dan hanya dengan demikianlah ia dapat menjadi Roh. Sama halnya: Tuhan bukanlah sebuah entitas yang sama sekali terasing dari dunia ini, yang berada di luar dunia ini, yang sama sekali metafisis. Tuhan tidak beroposisi kepada dunia ini. Tuhan mesti hadir di dunia ini, membuat dirinya menjadi dunia ini, menjadi manusia. “Tanpa dunia, Tuhan bukanlah Tuhan,” tulis Hegel dalam Filsafat Agama-nya (lihat Fitzerald Kennedy Sitorus, „Tanpa Dunia, Tuhan Bukanlah Tuhan“. Tentang Struktur Konseptual Tuhan dan Momen-Momen Kesadaran Religius menurut Hegel, dalam: Tuhan, Manusia dan Kebenaran, Festchrift untuk 65 Tahun Prof. Dr. J. Sudarminta, SJ., Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2016, hal. 39-81.) Mengapa? Sebab kalau ada yang bukan-Tuhan di dunia, artinya: kalau ada yang bukan hasil manifestasi-diri Tuhan, maka secara logis sesuatu itu masih beroposisi dengan Tuhan, dan itu berarti, sesuatu itu masih membatasi Tuhan, dan dengan demikian, Tuhan menjadi terbatas, dan itu berarti Tuhan tidak sungguh-sungguh absolut dan tidak-terbatas. Oleh karena itu, demikian Hegel, segala sesuatu harus dipahami identik dengan (tapi juga sekaligus berbeda dari) Tuhan/Roh. Itulah tesis utama filsafat Hegel.
III. Dialektika Tuan-Budak.
Salah satu tema yang sangat menarik dan penting dalam Fenomenologi Roh adalah penjelasan Hegel mengenai munculnya kesadaran-diri melalui proses historis-konfliktual, yakni dalam “Dialektika Tuan-Budak” (Herrschaft – Knechtschaft). Hegel membahas ini dalam tema: Kebenaran Kepastian Mengenai Diri Sendiri dalam FR. Di sini kita melihat konsepsi yang sangat berbeda antara Kant dan Hegel mengenai kesadaran diri. Kant menjelaskan kesadaran diri secara ahistoris. Hegel menjelaskannya secara historis, yakni melalui pertemuan diri dengan yang lain (other). Kesadaran terbentuk berdasarkan pertemuan dengan yang lain. Yang lain itu menjadi obyek “keinginan” (Begierde, desire) saya. Tujuan tertinggi dari keinginan atau kesadaran diri adalah pengakuan (Anerkennung, recognition). Artinya “ kesadaran diri mencapai tujuan dan kepuasannya hanya di dalam kesadaran diri yang lain”. Yang lain menjadi medium bagi pencapaian tujuannya. Konflik tidak terelakkan: ada pihak yang berani mempertaruhkan kehidupan, menghadapi kematian, dia menjadi Tuan. Sementara pihak sebaliknya menjadi Budak. Relasi konfliktual Tuan-Budak tercipta. Budak bekerja melayani Tuan, mensuplai segala kebutuhannya. Tuan menjadi simbol bagi segala bentuk penikmatan kehidupan dan konsumsi, sementara Budak menjadi simbol bagi segala kerja keras, produksi dan transformasi alam.
Relasi ini menghasilkan situasi khas dialektika Hegel: “dunia yang terbalik” (die verkehrte Welt). Budak mencapai kemajuan, merealisasikan dirinya, mentransformasi alam, menghasilkan produksi, menemukan ilmu dan pengetahuan. Ini akar filsafat pekerjaan Hegel yang diteruskan oleh Marx dan Feuerbach. Melalui kerja Budak menemukan dirinya. Dalam filsafat pekerjaan Hegel, kita kemudian dapat mengatakan: Takut akan Tuan adalah sumber pengetahuan dan kemajuan. Sebaliknya, Tuan mandek, tidak berkembang, bahkan tergantung sepenuhnya pada hasil kerja Budak. Tanpa Budak, Tuan tidak ada apa-apanya. Ia mati. Karena Tuan tergantung pada hasil kerja dan manifestasi diri dari Budak, maka Budak menjadi tuan dari Tuan, sementara Tuan menjadi budak dari Budak. Hegel mengatakan: menjadi Tuan berarti memperbudak diri sendiri, menjadi Budak berarti mempertuan diri sendiri. Demikianlah Budak memperoleh kesadaran diri sebagai subyek yang bebas melalui realisasi-diri yang dilakukannya dalam pekerjaan.
DTB ini sangat terkenal dan mengandung sisi hermeneutis yang sangat kaya. Para komentator mengatakan paradigma Tuan-Budak ini menjadi simbol segala dinamika sejarah baik pada level individu maupun masyarakat. DTB ini telah ditafsirkan dari berbagai perspektif: marxis dan non-marxis, historis, sosiologis, psikologis, ontoteologis. Contoh interpretasi psikologis: dalam diri manusia selalu ada dorongan (desire) untuk menikmati (Tuan) dan juga dorongan untuk merealisasikan diri (Budak). Masyarakat bergerak maju karena ada elemen Tuan (konsumsi) dan Budak (produksi). Tanpa DTB ini, filsafat Marx pasti akan sangat berbeda (filsafat tentang pekerjaan). Tema DTB bahkan telah mengalihkan kembali tradisi filsafat Prancis abad XX dari tradisi subyektivitas Cartesian yang ahistoris ke pemahaman baru mengenai subyek yang historis. Konsepsi yang baru mengenai subyek yang historis itu membuat Hegel disambut di Prancis dan hal ini mempengaruhi perkembangan filsafat Prancis abad XX. Penemuan-kembali Hegel di Prancis itu terjadi melalui filsuf Alexander Kojeve (dan para muridnya) Jean-Paul Sartre, Jacques Lacan dan Merleau-Ponty. Para filsuf ini memahami kesadaran-diri sebagai hasil pertemuan dengan yang lain (Being for others). Konsepsi Lacan mengenai desiring subject (yang kemudian diteruskan oleh muridnya, Slavoj Žižek) dalam konstruksi psikoanalisisnya juga didasarkan atas DTB ini. Filsuf Habermas dan Axel Honneth menafsirkan DTB ini dalam tema mutual-recognition (saling mengakui) sebagai syarat komunikasi. Honneth mengembangkan filsafat sosialnya mengenai Teori Pengakuan (Recognition) dari DTB ini. Filsuf Prancis Jean Hyppolite mengatakan bahwa DTB adalah sebuah kategori kehidupan historis karena segala dinamika peradaban manusia bisa dikembalikan kepada motif-motif yang terkandung dalam dialektika ini.
IV. Kritik dan Kesimpulan
Apakah kritik Hegel terhadap Kant itu dapat diterima? Duduk perkara filsafat Kant adalah usaha untuk menjadikan metafisika sebagai ilmu, dan untuk itu ia mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana putusan sintesis apriori itu mungkin. Penelitian tersebut membawa dia pada apa yang disebut dengan pengetahuan transendental, yakni pengetahuan mengenai konsep-konsep yang harus diterima sebagai syarat-syarat kemungkinan pengetahuan, sebab tanpa konsep-konsep tersebut pengetahuan menjadi tidak mungkin. Hegel mengkritik bahwa penelitian mengenai syarat-syarat pengetahuan itu sudah merupakan pengetahuan tersendiri. Itu benar. Tapi Hegel tidak melihat atau lupa bahwa Kant tidak menyebut itu pengetahuan yang jenisnya sama dengan pengetahuan yang kita peroleh melalui hasil kerja instrumen/alat itu. Keseluruhan hasil penelitian itu adalah memang pengetahuan, tapi pengetahuan transendental (transzendentale Erkenntnis), dan bukan pengetahuan empiris, sebagaimana dimaksudkan oleh Hegel, yakni pengetahuan mengenai obyek-obyek empiris di hadapan kita. Jadi, menurut saya, kritik Hegel tersebut sesungguhnya tidak tepat.
Lantas, apakah detransendentalisasi kesadaran-diri yang dilakukan oleh Hegel itu keliru? Sama sekali tidak! Melalui metakritiknya, Hegel justru telah membuka wilayah berfilsafat yang baru, yakni bahwa pemahaman yang tepat atas sesuatu mestilah dengan melihat sesuatu itu dalam perkembangan historisnya. Historisitas adalah terminologi kunci pada Hegel; Filsafat adalah zaman yang ditangkap dalam pikiran, katanya dan dengan prinsip inilah ia menjalankan pengaruh mendalam atas perkembangan filsafat selanjutnya. Para Hegelian Muda/Kiri, seperti Karl Marx dan Ludwig Feuerbach, juga para filsuf Teori Kritis, Soren A. Kierkegaard, dan lain-lain berusaha meradikalkan dimensi historis dalam filsafat Hegel ini dan sekaligus menolak dimensi metafisisnya. Karena itu Habermas selalu menekankan bahwa „secara filosofis kita sesungguhnya masih sezaman dengan para Hegelian Muda“ (dalam Nachmetaphysisches Denken. Philosophische Aufsätze, hal. 277).
Dalam etika, historisitas dalam pemikiran Hegel itu tampak antara lain dalam komunitarisme, yakni paham moral yang mengatakan bahwa setiap komunitas memiliki paham tersendiri mengenai apa yang baik dan buruk. Ini bertolak belakang dengan etika deontologis Kant yang menentukan pengertian baik dan buruk secara apriori, yakni bahwa yang baik adalah yang sesuai dengan hukum moral. Hegel mengkritik bahwa etika Kant ini kosong karena semata-mata formal. Bagi Hegel, setiap masyarakat memiliki pandangan tersendiri mengenai apa yang baik dan buruk. Moralitas sebuah masyarakat, katanya, juga tidak bisa dipaksa maju. Ia akan berkembang secara evolusioner. Sejarah sendiri menurut Hegel berkembang menuju rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. Kemajuan tersebut terjadi secara dialektis, yakni melalui peristiwa-peristiwa negatif (perang, bencana alam, kelaparan, konflik) yang kemudian mendorong sejarah untuk bergerak maju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya — karena itu dalam konsep dialektikanya Hegel mengatakan bahwa „yang negatif itu positif“, karena justru melalui hal-hal yang negatif itulah kita mencapai kemajuan.
Tapi Hegel tidak mengatakan kapan sejarah akan berhenti dan dalam bentuk sistem sosial-politik yang seperti apa. Karena itu, dilihat dari kaca mata Hegel, Francis Fukuyama keliru ketika ia mengatakan bahwa, setelah bubarnya sistem komunis Uni Soviet, demokrasi yang berorientasi liberal dan ekonomi pasar menandai akhir sejarah. Estetika (Marxis) yang melihat seni sebagai artikulasi kesadaran historis juga bertolak dari Hegel. Ini bertolak belakang dengan pandangan Kant yang mengatakan bahwa seni harus otonom dari dimensi-dimensi di luar seni (lihat tulisan saya, “Estetika Hegel“ dalam Teks-Teks Kunci Filsafat Seni, Yogyakarta, 2005, hal. 11-39).
Fitzerald Kennedy Sitorus, Dosen Filsafat Universitas Pelita Harapan, Tangerang
*Tulisan ini dibawakan untuk kuliah “Philosophy Underground” di Teater Utan Kayu, Jakarta, 30 Agustus 2019