Oleh Agus Darmawan T*
Para seniman Indonesia dari berbagai disiplin
selalu tertarik untuk membuat karya seni antikorupsi.
Meski sebagaian lahir sebagai seni adikarya,
korupsi tetap saja berjaya.
ESENSI kesenian adalah menyarankan kepada setiap orang untuk berbuat baik. Kesenian juga berfungsi sebagai antena social. Itu sebabnya sekitar satu dasawara setelah kemerdekaan Indonesia, ketika masyarakat mulai resah dengan gejala korupsi, kesenianlah yang lebih dulu menangkap. Dari sini lahir film berjudul Korupsi karya sutradara Raden Arifien, produksi Tjendrawasih (1956).
Film hitam-putih yang dibintangi Bambang Hermanto, Dian Anggreni, Tuty S. bercerita tentang seseorang lelaki lurus hati bernama Muhamad. Namun istri dan ketiga anak gadisnya terseret kehidupan boros dan mewah. Muhamad terpuruk ketika ia berurusan dengan calon menantunya yang importir penyelundup. Bahkan si menantu ini berhasil memaksanya menerima suap dan menelan uang negara. Muhamad akhirnya hidup nista setelah dicokok sebagai koruptor.
Film di atas agaknya efektif berperan sebagai pengingat. Sedikit banyak film ini berhasil menghambat munculnya korupsi dalam skala besar pada kurun itu. Tapi tahun terus berjalan, dan orang Indonesia memasuki masa Orde Baru. Tak disangka masa ini ternyata mencetak cukup banyak pejabat yang pandai korupsi, meski semua konon berjalan sangat sistematis, namun serapat apa pun aib itu disembunyikan, kebusukan akan kuat tercium. Sampai akhirnya termanifestasi dalam film terkenal Si Mamad (1973).
Si Mamad, produksi PT Matari Film, disutradarai oleh Sjuman Djaja. Di situ diceritakan bahwa ketika istri Si Mamad akan melahirkan anaknya yang ketujuh, lelaki jujur ini bingung lantaran tak memiliki uang. Ia pun melakukan korupsi kecil-kecilan, seperti memalsukan pembelian bon kertas di kantor tempat ia bekerja. Perbuatan ini sangat menyiksa jiwanya. Sering timbul niatan untuk mengaku ke hadapan atasannya, yang diperankan oleh Aedy Moward. Namun niat itu selalu terhalang. Sementara atasannya, yang sebenarny juga koruptor besar, tahu perbuatan Si Mamad. Dan Si Mamad – diperankan Mang Udel alias Drs Purnomo – dibiarkan untuk melakukan perbuatannya. Sekaligus dibiarkan tertindih perasaan bersalahnya sampai ia sakit dan meninggal dunia. Film yang diinspirasi karangan Anton Chekov ini memperoleh beberapa Piala Citra 1974.
Film Si Mamad senafas dengan film antikorupsi Sjuman Djaja sebelumnya, Lewat Jam Malam (1971), produksi PT Allied Film of Indonesia. Film ini berbicara soal pencurian uang negara dengan melibatkan para koruptor yang diburu oleh para polisi (pada waktu itu) masih jujur. Tokoh-tokoh film diperankan Rachmad Hidayat, Rima Melati, Sukarno M Noor, Rahayu Effendi, dan Sjuman Djaja sendiri.
Sementara keberanian Sjuman Djaja mengkritik koruptor disulut oleh sejumlah puisi kritis Rendra pada kurun itu. Dalam sajak Pesan Pencopet Kepada Pacarnya Rendra memang membakarnya. “Sebagai kepala jawatan lelakimu normal / Suka disogok dan suka korupsi. Bila ia ganti kau tipu / itu sudah jamaknya / Maling menipu maling itu biasa…..” Kita tahu, sajak ini merupakan embrio dari drama korupsi birokrasi yang berjudul Sekda (Sekretaris Daerah), ciptaan Rendra beberapa tahun kemudian.
Orde Baru runtuh pada Mei 1998. Keruntuhan itu menyemburkan kekuatiran betapa keganasan korupsi yang bermain di bawah permukaan itu diprediksi akan terus berlangsung pada era Reformasi. Dan kanker korupsi akan mematikan apabila tidak segera dihadang. Dari sini gerakan reaktif kesenian antikorupsi berhamburan muncul. Ada yang didera perasaan pesimis. Tapi tidak sedikit yang optimis. Contoh yang paling optimis adalah ini.
Pada 28 Oktober 1998 di Solo berdiri Parsendi, atau Partai Seni dan Dagelan Indonesia. Dalam kongresnya yang luar biasa Parsendi memilih Sri “Milko” Mulyati sebagai Ketua Umum. Sri adalah pelawak yang peka social, terus terang, kampungan, buta huruf, sekaligus maha jujur sehingga jauh dari niatan korupsi. Ini selaras dengan jiwa Parsendi yang sangat antikorupsi. Menyadari bahwa Parsendi hidup di Indonesia, maka pada pemilu 1999 organisasi politik (Kumpul-kumpul untuk menggelitik) ini pun menjunjung semboyan penuh percaya diri:”Hanya ada kata bertuah: Optimis Kalah!”.
Bila Parsendi melumuri dirinya dengan tawa pedih dan senyum sinis, penyair Taufiq Ismail tampil dengan kedongkolan tak tertahnkan. Dalam puisi panjang Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998) ia pun berkata “Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu / Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang susah dicari tandingan / Di negeriku, komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separoh masuk kantong jas safari.”
Dalam seni rupa korupsi juga ramai menjadi tema. Banyak adikarya yang lahir dari isu membencikan ini. Lukisan Suraji Jakarta Berburu Tikus (2008), misalnya. Karya ini merupakan pemenang utama dalam kompetisi Jakarta Art Awards 2008 yang diikuti 3.456 lukisan. Dalam kanvas tampak masyarakat kota sedang riuh menangkap tikus-tikus raksasa (berdasi!) yang tubuhnya kuat bagai banteng. Ribuan tangan manusia yang dibantu hewan buas seperti serigala dan harimau tak juga mampu merungkusnya. Sementara di pojok sana tampak seekor macan putih yang tertawa gembira lantaran merasa berhasil menangkap tikus-tikus sangat kecil segede ibu jari saja. Lukisan ini dibeli oleh Gubernur Jakarta Fauzi Bowo.
Perupa Agapethus A. Kristiandana pada tahun 2000-an menciptakan adikarya seni patung yang menggambarkan sapi bertubuh sangat panjang, dengan belang kulit yang menggambarkan peta Indonesia. Ia seperti meramalkan bahwa pada saatnya Indonesia akan diperas bak sapi perah lewat skandal korupsi import daging sapi, seperti yang sekarang terjadi. Pada Maret 2013 Aris Budiono Sadjad berpameran khusus seni lukis bertema “Perang Suci melawan Korupsi”. Apa yang dikerjakan membarengi musik Ikang Fauzi, Iwan Fals, Franky sampai Slank, yang jelas-jelas memusuhi perbuatan busuk itu. Dan secara moral ikut mendorong lahirnya film antikorupsi Sebelum Pagi Terulang Kembali, yang didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014.
Tapi apakah para seniman dirugikan oleh secara langsung oleh perbuatan para koruptor itu? Seniman, sebagai rakyat, cenderung mengaku tidak. Lalu kita ingat apa yang dikatakan Jean Jaques Rousseau, filsuf Prancis abad 18. “Sesungguhnya rakyat tidak pernah dikorupsi. Rakyat hanya ditipu oleh para koruptor.” Bagi seniman, penipuan justru lebih menyakitkan.***
*Agus Dermawan T, lahir di Rogojampi, Jawa Timur. Menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Seni Rupa ‘Asri’, Yogyakarta. Telah menulis ribuan artikel budaya, seni, sosial, politik di berbagai media massa, seperti Kompas, Tempo, Gatra, Koran Tempo, Koran Sindo, Media Indonesia, Intisari, Femina.
Sumber Tulisan : Buku Sihir Rumah Ibu, Agus Dermawan T, Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.