Oleh Josef Bataona
“Develop an attitude of gratitude, and give thanks for everything that happens to you, knowing that every step forward is a step toward achieving something bigger and better than your current situation.” (Brian Tracy)
Pagi-pagi saya menerima pesan di WA dengan tautan artikel di The Weekend Australian Magazine, November 22, 2019. Saya membukanya, membaca sepintas, tapi naluri saya mendorong untuk membacanya kembali sambil mencernanya secara saksama. Aku dibuat merinding membaca tulisan itu, walau situasi yang diceritakan itu banyak ditemukan di pedesaan di Indonesia. Tetapi cerita yang dikedepankan sungguh memberikan pelajaran yang luar biasa. Sayapun memutuskan untuk mengangkat pelajaran dari tulisan tersebut di blog ini.
Tantangan Orang Kota
Namanya Hugh van Cuylenburg, besar dan sekolah di Melbourne. Dia sedang sibuk sebagai coach di Melbourne University Cricket Club mempersiapkan mereka untuk kejuaraan. Tapi cintanya pada seorang gadis keturunan Australia India mendorongnya untuk mengikuti pacarnya menjadi relawan untuk mengajar 6 bulan di Ladakh, sebuah desa kecil sekitar Himalaya. Penduduk desa itu sangat ramah. Mereka ditempatkan di rumah kepala sekolah, dan tidur di lantai seperti lainnya.
Sekolahnya sederhana, dengan ruang kelas hanya berisi satu meja dan kursi untuk guru, sementara 150 murid yang berusia antara 4 sd 16 tahun hanya duduk di lantai. Murid2nya sangat santun dan penuh perhatian di kelas, memiliki semangat tinggi setiap hari dan menebar kebahagiaan diantara mereka.
Kepala Sekolah menugaskan 3 anak usia 4 tahun untuk menunjukan TK. Sangat menyedihkan saat mereka menunjukan permainan enjot-enjotan yang tak layak dipakai. Tak disangkah anak2 itu mengacungkan jempol menunjukan alat main itu dengan penuh antusias dan bangga. Mereka memperlihatkan bagaimana bermain dengan alat itu dengan cara mereka sendiri, tidak seperti design aslinya. Misalnya mereka hanya bergelantungan disana selama mungkin.
Hugh Mengisahkan Sendiri Pengalamannya
Saya kagum dengan semua anak di sekolah itu, tapi ada seorang yang sungguh mencuri hatiku. Namanya Stanzin, usia 9 tahun dan mungkin orang terbaik yang pernah kutemui. Saat pertama kali saya masuk ke kelasnya, saya tidak sadar kalau kusen pintunya rendah sehingga kepalaku terbentur. Di hari berikutnya, Stanzin sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum dan menunjuk bagian atas kusen pintu. Dia mengikat kantong kain berisi pasir dan dedaunan untuk mengingatkan saya akan bahaya benturan.
Stanzin memperlihatkan kepedulian tulus tidak hanya kepada saya. Saat makan siang, bila dia menemukan seorang temannya sendirian, dia akan menghentikan apa yang sedang dilakukan dan menghampiri teman dan bertanya, apakah anda baik2 saja? Tidak peduli apa yang sedang diperbuat, Stanzi akan utamakan menolong yang lain. Komen saya ke Anjali (sang pacar): “This kid has got to be the most caring, selfless and truly happy person I’ve ever met.”
Suatu malam, setelah berkeliling kampung, saya temukan sesuatu yang sungguh mengubah hidupku. Saya melihat Stanzin masih dalam seragam sekolah siap2 untuk pergi tidur. Saya mendekatinya dan menyapa dia. Dia tidur di lantai tanah, seperti penduduk lainnya. Dia tersenyum lebar. Saya membalas senyumnya dan pamit untuk pulang ke kediamanku. Sepanjang jalan saya sendiri tidak tahan menyaksikan kenyataan itu sampai saya sendiri menangis.
Saya tidak bisa tidur semalaman saat membayangkan murid2ku di Australia yang mengalami depresi, cemas dan sakit mental. Mengapa mereka yang berada di negara maju dengan berbagai fasilitas serba ada justru mengalami itu?
Bukan hanya Stanzin, semua yang saya temui di desa terpencil ini telah menemukan rahasia kebahagiaan,. Tetapi apa RAHASIA kebahagiaan mereka?
Sir, dis, dis!
Stanzin datang ke sekolah setiap hari dengan membawa buku catatan dan pensil. Saya terus memperhatikan semua perilaku dan apa yang dia perbuat. Suatu saat istirahat makan siang, Stanzin menunjukan kepada saya sepatunya, sambal berujar “dis” maksudnya “this”. Tidak semua anak sekolah mempunyai sepatu. Tapi yang menarik juga adalah, sepatu Stanzin mungkin sudah diperoleh beberapa tahun lalu. Begitu dia tumbuh besar, ujung sepatu itu harus dipotong agar bisa muat walau jari2 kakinya menonjol keluar.
Bukan saja sepatu yang tidak dimiliki anak2. Bahkan sekolah menyediakan sekedar nasi putih untuk makan siang anak2. Reaksi mereka: “Sir, dis, dis” sambil menunjuk piring nasi, seakan berkata: “sir, how good is it that we get lunch at school?”
Hal lain yang saya perhatikan, penduduk ini melakukan meditasi. Antara jam 08:30-09:00 sebelum sekolah dimulai, murid2 berkumpul di halaman dimana mereka duduk diam dan fokus pada momen kekinian. Apakah mereka berdoa? Tidak, mereka melakukan meditasi, dan setiap murid akan datang awal karena mereka tidak ingin kehilangan momen tersebut.
Setelah tiga bulan, saya merasa paham apa rahasia kebahagiaan penduduk desa itu. Ada tiga prinsip yang mereka terapkan, dan itu yang membuat mereka tahan banting/ulet (resilient) dan BAHAGIA:
- Gratitude (the ability to pay attention to what you have instead of worrying about what you don’t have);
- Empathy (the ability to feel what another person is feeling) and
- Mindfulness (the ability to focus on the present moment).
Kehidupan penduduk desa itu sesungguhnya lebih berat dibandingkan dengan dunia lain, namun mereka menanggapinya dengan cara yang berbeda. Perjalanan ini merupakan titik balik dalam hidupku.
Positivity
Di tahun 2010 saya mengambil masterku di RMIT. Salah satu yang saya pelajari adalah GRATITUDE. Saat saya membaca bahan dari psikolog Amerika Martin Seligman, founder dari Positive Psychology, saya hampir terjungkal dari kursi. Beliau mengatakan bahwa “we can retrain our brains so we feel happier on a day-to-day basis.” Dia menyarankan Teknik sederhana: “write down three things that went well each day, every day, along with an explanation for why each good thing happened.”
Riset Seligman mengingatkan saya akan pengalaman di India, dimana Stanzin setiap hari memperlihatkan hal positif dalam hidupnya, kecuali satu hal lebih yang dilakukan Stanzin: dia mencatat momen2 itu. Ia akan berhenti dan menunjukkan apa saja yang patut disyukuri di momen itu: “dis!”
The Power of Story Telling
Suatu saat saya ngobrol dengan sahabat kuliahku di Fintona tentang pengalaman di India dia bereaksi: “you should come in one day and give a talk to my class.” Seminggu kemudian saya sudah hadir di kelasnya, tanpa persiapan apa yang mau saya bicarakan. Saya hanya ingin bercerita tentang bagaimana anak sekolah di India yang beda dengan anak2 di Fintona, dengan failitas yang lengkap. Melihat anak2 yang terdiam menyimak dengan mata telinga terbuka lebar, saya berkesimpulan ceritaku sungguh memukau mereka.
Walaupun sebelumnya saya tidak pernah melakukan hal seperti itu, saya menemukan bahwa saya menyukai sharing cerita positif didepan anak2. Dan itu merupakan langkah awal dari perjalanan panjang dalam menciptakan proyek yang saya sebut dengan Resilience Project. Berkat cerita dari mulut ke mulut, saya akhirnya harus berbicara di 10 kelas dalam seminggu. Semua uang yang terkumpul saya gunakan untuk membuat kurikulum dan model jurnal untuk anak dewasa. Di akhir 2014 Resilience Project sudah diadopsi di 500 sekolah di Australia. Dan awal tahun ini, program managerku melaporkan bahwa di 2019, kita akan mempunyai 110.000 anak yang terlibat dalam kurikulum atau presentasi.
Berlaku di berbagai segi kehidupan
Suatu Sabtu sore di Pebruari 2015, saya ngobrol dengan Brian Phelan yang bekerja di The Melbourne Storm Rugby Leage Club. Dia bertanya, apa yang saya kerjakan selain Cricket. Saya ceritakan tentang Resilience Project, yang langsung disambut Brian: “you should come to my work and speak.” Dia menginginkan saya bercerita kepada anggota clubnya, dan yang dimaksud adalah pemainnya.
Beberapa hari kemudian, di Storm’s Home ground at Aami park, saya hadir dan dalam lima menit, saya menyadari bahwa saya menganggap reme “the power of the message”; para pemain mendengarkan dengan penuh perhatian, kata demi kata. Belakangan Brian memberitahuku bahwa Pimpinan Club: Cameron Smith, Cooper Cronk dan Billy Slater meminta agar program ini diluncurkan ke seluruh Club. Semua mereka menjadi champion the resilience project dan menenun GEM (gratitude, empathy and mindfulness) tidak saja dalam kehidupan club tapi juga dalam kehidupan pribadi.
“Dis” Challenge
Tujuh bulan berikutnya, seminggu sekali saya luangkan bersama NRL Club. Mereka terpesona dengan cerita Stanzin dan sangat mengapresiasi apa saja yang baik dalam kehidupan ini. Saya lalu memberikan mereka “dis challenge”, yang sangat popular di sekolah. Sangat sederhana, kataku. Dalam 24 jam, kapanpun anda melihat sesuatu yang patut disyukuri, tidak peduli anda dimana atau dengan siapa, saya inginkan anda berhenti, tunjukan jarimu dan katakan “dis”. Semua setuju.
The resilience project mulai menarik perhatian public, karena itu banyak yang minta dibantu. Salah satunya adalah the Richmond Football Club. Saya tiba di tempat mereka dengan membawa copies “21-day wellbeing journal.” Setelah presentasi. Setiap peserta mengambil journal yang saya bawa. Saat Dustin Martin berdiri, dia mengambil 10 lembar journal. 210 hari kemudian saya menerima text message darinya: “finished the journals. Can you please send me some more? “Ini dengan Dustin Martin, Richmond Football Club. Setiap hari saya menulis semua pengalaman baikku yang patut saya syukuri. Saya hampir tidak percaya betapa ini mengubah hidupku, dan saya tidak ingin kehilangan catatan untuk hari berikutnya. Tolong kirimkan saya lembar jurnal lagi.” Awal tahun ini, saya berbicara bersama Dustin di sebuah conference, dan dihadapan pendengar, Dustin bercerita kalau dia sudah habiskan 1086 hari berturut-turut mengerjakan the resilience project journal.
Momen Mensyukuri
Kisah Stanzin juga memberikan dampak luar biasa kepada pemain di Collingwood Football Club. Suatu hari saya melihat Kapten Club Scott Pendlebury membuat posting foto di sosmednya dengan caption: “dis moment #gratitude.”
Saat saya bertemu, saya bertanya, itu maksudnya apa? Saya sungguh menyukai cerita tentang anak kecil yang anda kisahkan. Kita sering berpikir negatif tentang kehidupan ini. Kisahmu sungguh membantu saya untuk melihat sisi positifnya. Dan suatu waktu bila anda nonton pertandingan, perhatikan Adam Treloar. Dia biasanya menuliskan dengan tinta hitam di gelang tangannya: “dis” sambil berkata pada dirinya sendiri: “Adam, you are blessed”. Saat saya bertemu Adam, saya bertanya, apa makna tulisan itu, apa yang mebuatnya merasa terberkati? Ujarnya: “I live in australia, we get food, we get water, we get shelter. I remind myself of that whenever I get stressed. ‘dis’ means this life in this country, every day.”
Banyak sekali momen setiap hari yang layak kita syukuri. Belajar dari kisah Hugh, kitapun bisa mulai dengan “Resilience Project” untuk diri kita, menyiapkan buku catatan dan tuliskan setiap hari momen yang layak disyukuri. Kita akan kaget sendiri, betapa banyaknya berkat yang kita terima setiap hari.
Selanjutnya dalam diskusi jelang akhir tahun, bersama beberapa teman kami gulirkan #GEMprogram3 untuk membawanya dalam keseharian. Nantikan di postingan selanjutnya.
“Appreciation can make a day – even change a life. Your willingness to put it into words is all that is necessary.” (Margaret Cousins).
Sumber Tulisan: https://www.josefbataona.com