Oleh Ansel Deri
PRESIDEN Joko Widodo melukiskan sejumlah hal tentang sosok Kiai Haji Salahuddin Wahid alias Gus Sholah (77). Di mata Jokowi, Gus Sholah ialah cendekiawan Muslim. Adik kandung Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Gus Sholah, putra pahlawan nasional KH Wahid Hasyim, adalah tokoh panutan semua umat beragama. Tak hanya Islam tetapi juga Katolik, Protestan, Hindu, Budha maupun Konghucu di Indonesia.
Jokowi, mantan Walikota Solo menyebut Gus Sholah akan selalu dikenang sebagai tokoh yang gigih menjaga dan merawat persatuan bangsa. Keislaman dan keindonesiaan ialah narasi yang melekat dalam hati dan pikiran Gus Sholah, cucu Hadratus Syaikh (Maha Guru) Hasyim Asyari, kemudian beralih ke hati Jokowi. Narasi tentang kasih, persahabatan, persaudaraan, dan kerjasama ini selalu disampaikan Kepala Negara kepada warga negara sesama anak bangsa dari beragam latar suku, agama, ras, dan antargolongan yang dipimpinnya.
Jauh sebelumnya, terutama saat memimpin Kota Surakarta hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selalu diserukan narasi-narasi teduh di atas. Seruan Jokowi itu ditujukan bagi warga negara yang menyebar mulai dari Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam hingga Merauke di Papua; dari Miangas di Sulawesi Utara hingga Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang merindukan kedamaian.
Gus Sholah adalah segelintir dari kiai, guru bangsa, tokoh umat beragama (tak hanya umat Islam) di Indonesia. Sosok dan rekam jejaknya hadir penuh kharisma, kerendah-hatian, keiklasan, persaudaraan bagi sesama anak bangsa. Berbagai gambaran itu menjadi inspirasi bagi semua orang sekaligus meruntuhkan sekat-sekat primordial atas nama pertumbuhan dan perkembangan sosial kemasyarakatan. Sebagai seorang kiai, Gus Sholah telah menunaikan tugas dan perannya seperti juga para gembala selaku pelayan Sabda dalam kehidupan menggereja, berbangsa, dan bernegara. Mengapa?
Imbauan Hierarki
Mencermati jejak pengabdian selama ia masih berziarah di dunia, Gus Sholah tak sekadar seorang kiai panutan yang mengurus umat Islam melalui karya sosial kemasyarakatan. Ia juga menyampaikan atau mengajar tata hubungan manusia (umat) dengan Tuhannya (hablum minallah) dalam urusan ibadah (ubudiyah) tetap terpelihara dengan baik.
Berikut relasi yang mengurus manusia dengan makluk lainnya (hablum minannas) dalam rupa amaliyah sosial. Hal yang juga diumpai dari peran strategis para gembala atau pemimpin Gereja dan kaum klerus dalam konteks keagamaan maupun kehidupan sosial para domba, umat Allah, selaku warga negara.
Kerja keras Gus Sholah bagi umat Islam mewujud melalui Pesantren Tebuireng, taman pendidikan jumbo warisan sang ayah di Jombang yang sudah mendidik ribuan santri. Lulusan pesantren ini belakangan menjadi pemimpin bangsa dan negara. Kehadiran para pemimpin di semua level kepemimpinan yang lahir dari rahim pesantren di tengah dunia tak hanya dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Lebih dari itu, sungguh dirasakan pula umat beragama lain dalam kehidupan.
Sebagai kiai dan ulama besar Indonesia, Gus Sholah juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan universal tentang bagaimana umat Islam menjaga relasi yang harmonis dengan Tuhan dan menjaga relasi yang akrab dengan sesama umat ciptaan-Nya. Pesan bagi umat Islam menjaga relasi dengan Tuhan dan sesama ini tentu tak hanya menjadi pedoman bagi umat Islam sendiri namun juga umat beragama lain. Sesuatu yang juga ditemui dari ajaran dan nasehat pimpinan Gereja Katolik secara hierarki.
Menurut Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) RD Guido Suprapto Pr dalam Kerasulan Politik: Panggilan dan Perutusan Umat Katolik (2013), Gereja Katolik dalam diri kaum awamnya dipanggil dan diutus terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan politik.
Panggilan dan perutusan yang paling relevan saat ini adalah mendorong pembangunan politik dan tata dunia yang baik, beradab, dan bermoral. Menjadikan politik yang melayani masyarakat dengan hati, kejujuran dan tanpa pamrih. Bidang sosial politik dapat menjadi tempat merasul bagi kaum awam yakni membangun tatanan dan kiprah politik yang bermoral demi terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune).
Komitmen Agama
Tentang komitmen institusi agama (Islam) para kiai sekelas Gus Sholah atau pemimpin agama-agama lain di Indonesia, kita bisa menyimak kembali catatan Tasirun Sulaiman merujuk pemikiran KH Hasyim Muzadi dalam KH A Hasyim Muzadi: Sang Peace Maker (2017), terkait Islam sebagai agama dengan populasi pengikut paling besar di Indonesia dan dunia.
Entitas Islam, demikian kiai Hasyim Muzadi, sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta) mengakui eksistensi pluralitas keberagaman, karena Islam memandang pluralitas keberagaman itu sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah kepada manusia, fakta sosial, rekayasa (social engineering), dan kemajuan umat manusia. Pluralitas sebagai sunnatullah diabadikan dalam Al-Qu’ran, antara lain dalam surat Ar-Rum ayat 22 dan Al-Hujurat ayat 13. Ayat-ayat itu menempatkan kemajemukan sebagai syarat determinan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.
Dalam diri Gus Dur pun tak jauh berbeda. Perhatian dan komitmen memperjuangkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat yang notabene warga negara tak diragukan. Mereka mengabdi umat hingga ajal menjemput; yang juga ditemui dalam sosok kiai seperti Gus Sholah dan Ahmad Muzadi hingga para pemimpin agama-agama di luar Islam seperti para klerus, gembala di lingkup Gereja. Gus Dur, misalnya, ia punya kelebihan, bertutur dengan cerdas, cerdik bahkan kocak yang selalu membuat setiap orang merasa terhibur.
Tokoh pers Jakob Oetama dalam Gus Dur Menjawab Kegelisaan Rakyat (2007) mengungkapkan bagaimana Gus Dur mengangkat persoalan-persoalan yang menggerakkan perhatian banyak orang karena memang aktual dipermasalahkan dan dirasakan. Pandangan dan pendapat Gus Dur cenderung mencerminkan sikap dasarnya, seperti Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia yang Pancasila, Indonesia yang beragama, Indonesia yang berperikemanusiaan, yang berkeadilan sosial serta demokratis.
Bagi saya, baik Gus Dur, Gus Sholah, kiai Muzadi, para pemimpin agama lain ibarat obor di tengah kelam. Gus Sholah, juga tak lebih seperti seorang “gembala” dalam terminologi Gereja. Selama hidup ia (Gus Sholah) bertaruh hati, tenaga, dan pikiran “menggembalakan” seluruh umat atau kawanan domba-Nya agar berjalan dengan panduan nilai-nilai agama dan kemanusiaan universal untuk kemaslahatan bersama.
Gus Sholah juga ambil bagian dalam karya kemanusiaan universal agar dunia diliputi damai dan suka-cita melalui –salah satunya– Tebuireng, pesantren warisan sang kakek, Hasyim Asyari. Namun Gus Sholah tak lagi memendam rindu memenuhi panggilan Sang Sabda, Minggu, (2/2 2020) malam. Detak jantungnya berhenti di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Ia kembali ke Tebuireng via bandara Halim Perdanakusuma setelah berpulang. Selamat jalan, Gus Sholah. Selamat jalan, kiai berhati gembala. Teladan, semangat, dan cintamu kepada sesama adalah warisan berharga yang tak akan mati dalam sanubari setiap anak bangsa.
Ansel Deri, Staf Viktor Laiskodat di DPR RI, 2014-2017
Sumber: Victory News, Kamis, 13 Februari 2020