Pengantar : Untuk semakin mengenal tradisi semana santa, sejarah dan kebudayaan wilayah Larantuka dan sekitarnya, berandanegeri.com akan menurunkan beberapa tulisan sejak hari Rabu 26 Februari 2020 ini hingga menjelang Paskah 12 April 2020. Tulisan akan dikemas sebagai esey budaya. Artikel Rabu 26 Februari 2020 berjudul : “Rabu Abu-Awal Prapaskah, Saatnya Bersiap-siap Pergi ke Larantuka”. Semoga berguna.
Penulis: Benjamin Tukan
“Di hadapan saya terlihat laut biru. Serta berbagai pulau, yaitu Pulau Adonara dan Solor, tempat orang Portugis meninggalkan berbagai benteng, gereja, dan senjata berat. Di belakang saya terdapat permadani hijau yang terdampar hingga ke pucuk gunung Ile Mandiri, ke arah selatan , suatu kawasan yang setengah hancur, tempat beberapa remaja serta botol plastik beristirahat, menempati pantai yang menurut lagenda pernah ditemukan patung Bunda Maria Rosari dan terukir kata “Mater Dolorosa” di atas pasir“.
Sepenggal kalimat diatas adalah tulisan Jurnalis Lepas asal Portugis Joaquim Magalhaes de Castro dalam bukunya Lautan Rempah Peninggalan Portugis di Nusantara”, tentang pengalamannya saat pertama kali menginjakan kakinya di Larantuka.
***
Terletak di ujung Timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), kota Larantuka terbilang relatif kecil hanya memanjang dari timur ke barat kira-kira 10 km. Sisi utara kota ini langsung merebah di lereng gunung Ile Mandiri dan sisi selatannya langsung bertemu dengan pinggir pantai Selat Larantuka.
Di depan kota ini, dalam jaraknya yang sangat dekat berjejer dua pulau yakni Pulau Solor dan Pulau Adonara yang menjadikan laut di depannya bagai sebuah danau yang indah. Tersembunyi di balik kedua pulau ini, dalam jarak tempuh pelayaran dengan kapal motor selama 30 menit segera dapat terlihat sebuah pulau yang cukup besar dan kaya yakni pulau Lembata. Gugusan pulau ini termasuk Alor dan Pantar di timur Lembata, sering dinamakan kepulauan Solor.
Sebagai daerah yang terletak di pulau Flores bagian timur, Larantuka berada dalam rumpun budaya Lamaholot, umumnya dianut masyarakat penghuni kepulauan Solor. Kendati batasan selalu tidak tegas membedakan, penduduk Lamaholot sering diasosiasikan dengan penduduk yang mendiami Flores Timur daratan, Pulau Solor, Adonara, Lembata dan sebagian Alor-Pantar.
Sebutan Lamaholot untuk wilayah ini memang cukup beralasan. Dalam bahasa setempat Lamaholot berasal dari kata Lama yang berarti bagian atau kampung, atau piring (lamak) dan holo berarti sambung, diartikan sebagai gugusan pulau atau kampung yang bersambung. Suatu masyarakat dimana antar kampung juga pulau yang berbeda mempunyai jalinan kekarabatan.
Sebagaimana kehidupan setiap kampung yang otonom dalam kebudayaan ini, dapat saja terjadi perbedaan aturan dan budaya, namun tetap saja memiliki satu kesamaan dalam pandangan tentang alam kodrati dan sesama masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat Lamaholot juga telah lama mengenal kehidupan masyarakat dalam bentuk organisasi yang khas. Hal ini dapat dilihat di hampir setiap kampung memiliki struktur kesukuan yakni yakni Koten, Kelen, Hurit dan Maran yang memiliki peran masing-masing dalam menjaga keharmonisan kehidupan kampung.
Sebenarnya wilayah yang disebut kepulauan Solor atau juga tanah Lamaholot, dari sisi bahasa bukanlah satu bahasa. Dari segi bahasa, umumnya penduduk di wilayah ini menggunakan bahasa Lamaholot, tapi juga dibeberapa tempat seperti Larantuka, menggunakan bahasa Melayu, bahasa Kedang untuk wilayah Kedang, bahasa krowin untuk wilayah yang berbatasan dengan kabupaten Sikka dan bahasa Bajo untuk beberapa wilayah di pesisir Pantai.
Larantuka terletak pada 8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat bujur timur beriklim sub tropis dengan musim kemarau yang panjang rata-rata 8-9 bulan, Musim hujan hanya terdapat pada bulan Desember-hingga Maret. Namun perubahan iklim saat ini yang tidak menentu, seringkali membuat kota ini mengalami curah hujan yang ekstrim baru pada bulan januari dan Februari bahkan Maret.
Pada musim kemarau, suhu udara di Larantuka terbilang cukup panas. Suhu udara yang panas ini menyebabkan siang hari berada di kota ini selalu disinari matahari yang menyengat. Pemandangan lahan tandus pada punggung gunung ile Mandiri juga perbukitan-perbukitan kecil yang ada di pulau Solor dan Adonara, menjadikan suasana terasa begitu gersang.
Kota Larantuka memang berada di dalam teluk dan siapa pun yang pernah ke sana akan terkesima menyaksikan indahnya panorama teluk. Sebagai daerah berteluk, tempat ini pun sejak abad 16 sudah menjadi perhatian dari berbagai orang yang melintasi pelayaran nusantara dari barat ke timur dan dari timur ke barat. Amukan gelombang laut di perairan Flores bagian utara dan Laut Sawu bagian selatan Flores, mau tidak mau menjadikan Larantuka tempat alternatif untuk berteduh sekaligus mengisi perbekalan untuk perjalanan selanjutnya.
Bagai bersambut gayung, wilayah teluk yang banyak terdapat di kepulauan Solor menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi dari perompak-perompak laut yang selalu hadir di tengah ramainya perdagangan nusantara tempo itu. Kerasnya persaingan dalam perdagangan, menjadikan Larantuka bagai kota yang siap untuk memberi ketenangan, menyusun strategi untuk melanjutkan atau bertahan dari gejolak persaingan yang ada.
Sebagai daerah berteluk, selain Larantuka sebagai pelabuhan yang cukup ramai, di kepulauan Solor terdapat juga pelabuhan-pelabuhan kecil diantaranya, Balauring, Hadakewa, Lewoleba, Waiteba, Labala, Wulandoni, Lamalera, Mingar, Loang (Semuanya di Lembata), Mananga, dan Lamakera (pulau Solor), Waiwerang, Lamahala, Terong, Sagu, Waiwuring (di pulau Adonara) ; Konga, Paihaka, Pantai Oa, Pantai Konga, Pantai Wotan, Pantai Kelambu dan Rako di Wilayah Flores Timur daratan.
Seiring perkembangan yang terjadi, persingahan demi persinggahan dan juga lintasan perahu layar yang keluar masuk teluk, menyebabkan Larantuka menjadi pelabuhan yang ramai di bandingkan pelabuhan di sekitarnya. Dari perkembangan demi perkembangan Larantuka yang sebelumnya bernama Lewonama (tempat orang berkumpul) berubah nama menjadi Larantuka (Laran = jalan, tukan = tengah) yang dapat diartikan sebagai tempat persinggahan atau jalan tengah. (*)