Pengantar : Untuk semakin mengenal tradisi semana santa, sejarah dan kebudayaan wilayah Larantuka dan sekitarnya, berandanegeri.com menurunkan beberapa tulisan sejak hari Rabu 26 Februari 2020 hingga menjelang Paskah 12 April 2020. Tulisan akan dikemas sebagai esey budaya. Ini merupakan artikel Kedelapan. Semoga berguna.
Penulis : Benjamin Tukan
Lain Portugis, lain Belanda. Berita jatuhnya Benteng Malaka ke tangan Belanda tahun 1641 seakan membawa kecemasan bahwa sebentar lagi kepulauan Solor pun bakal dikuasai oleh Belanda. Apa yang akan diperbuat Belanda di kepulauan Solor? Tak ada yang dapat memastikan. Semua serba spekulasi.
Namun, kedatangan para pengungsi dari Malaka kemudian dari Makasar akibat kekalahan perang Portugis sepertinya mulai memberi kekuatiran di tengah masyarakat.
Mendahului kedatangan pengaruh politik Belanda di kepulauan Solor, dari segi ekonomi, pelayaran-pelayaran perdagangan nusantara kala itu perlahan mulai dikuasai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. VOC yang menjadi kampiun perdagangan saat itu, sangat berambisi menguasai sentra-sentra perdagangan.
Hingga kedatangan pengaruh politik Belanda, tidak ada pengetahuan sedikit pun tentang kompeni ini. Namun kenyataan yang terjadi, kekuasaan Portugis mulai terdesak. Blokade di jalur perdagagan yang dilakukan VOC, mulai menuai protes dan perang pun tak terhindarkan terjadi di hampir seluruh nusantara.
Sebagaimana yang terjadi di kepulauan Solor, pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor dan tiga bulan kemudian tepatnya 18 April 1613 benteng Solor pun jatuh ke tangan Belanda.
Rupanya prospek perekonomian di kepuluaan Solor terlalu diabaikan oleh Belanda. Belanda pun anggan menghabiskan waktu menghadapi pertikaian yang sering terjadi di masyarakat lokal.
Hanya tiga tahun Belanda menduduki benteng, tahun 1616 Belanda meninggalkan benteng. Politik ekonomi VOC lebih mefokuskan daerah Jawa, dengan pola pertanian skala besar. Apa yang terjadi ? Daerah-daerah yang jauh dari Jawa-Sumatera mulai tidak diperhatikan oleh Belanda.
Tapi lagi-lagi, kedatangan Belanda tidak hanya semata-mata mengumpulkan hasil-hasil bumi untuk didagangkan, tapi jauh lebih mendesak yakni mengamankan jalur perdagangan. Konsekuensinya begitu serius karena penaklukan wilayah yang otonom harus dilakukan, sekalipun korban peperangan adalah kelanjutannya.
Lagi-lagi Belanda tetap menginginkan konsolidasi teritori di seluruh nusantara. Di kepulauan Solor, Belanda bolak balik hanya membuat Portugis tidak leluasa menguasai wilayah ini. Upaya penguasaan wilayah terutama di kepulauan Solor oleh Belanda baru mulai serius pada tahun 1851.
Kali ini Belanda memang serius. Di bulan Desember 1851, kapal Belanda Merapie melabuhkan jangkarnya di pelabuhan Larantuka. Saat itu Belanda mengumumkan pada upacara penyambutan di Larantuka bahwa agama tetap dipertahankan. Dari 1851 hingga 1859 Belanda melakukan serangkaian perundingan dengan Portugis dan 20 April 1859, seluruh kepulauan Solor menjadi milik Belanda.
***
Kendati sebelumnya politik Belanda, menempatkan kepulauan di luar Jawa sebagai Buitengewesten (wilayah di luar, wilayah luaran), atau juga buitenbezittingen (milik-milik di luar sana). Namun perubahan baru tengah dihadapi masyarakat baik dari segi politik maupun dalam wilayah keagamaan.
Dari segi politik, Belanda mulai memperkenalkan struktur pemerintahan baru yang semuanya berpusat pada Gubernur Jendral yang ada di Batavia. Pada 1915 Belanda membagi wilayah pemerintahan yang terdiri dari Residen, afdeling, onderafdeling, dan beberapa district (distrik) atau gemeente di bawahnya. Pembagian wilayah yang demikian juga berdampak pada semakin melemahnya kekuatan masyarakat lokal.
Daerah Flores menjadi satu afdeling dan berpusat di Ende. Sementara Afdeling Flores tergabung dalam satu residen Timor yang berpusat di Kupang. Residentie Timor tergabung ke dalam propinsi Grote Oost, Timur Besar dengan ibukotanya Makasar.
Keresidenan Timor dan daerah takluknya dipimpin oleh seorang residen, sedangkan afdeeling di pimpin oleh seorang asisten residen. Asisten residen ini membawahi Kontrolir atau Controleur dan Geraghebber sebagai pemimpin Onder afdeeling. Asisten residen, kontrolir dan gezaghebber adalah pamong praja Kolonial Belanda.
Para kepala onder afdeeling yakni kontrolir dibantu oleh pamong praja bumi putra ber pangkat Bestuurs assistant.Kepala distrik atau kepala hamente mendapat nama yang berbeda di tiap wilayah.
Pembagian dari segi kelompok etnik dengan bahasa dan budaya sendiri yang dilakukan Belanda kurang lebih menyesuaikan dengan wilayah kerajaan yang ada saat itu. Dengan menempatkan penguasan sipil (zelfbestuurder) di setiap onder afdeeling tentu semakin mengurangi kekuasaan raja yang sebelumnnya sangat otonom.
Belum lagi dalam perkembangan kemudian raja harus menandatangi hak dan kewajibannya untuk tunduk pada pemerintahan Belanda. Namun, pola kekuasan pemerintah Belanda ketika itu masih menerapkan pola sentralisme dan semua harus tunduk pada Batavia.
Aksi-aksi militer Belanda dan penertiban atas pemerintah lokal yang sebelumnnya otonom telah pula membawa goncangan di masyarakat. Ada perkembangan yang cukup baik dengan kebijakan politik etis dengan mulai dibangunnya sarana jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota yang lain dalam wilayah ini yang mulai dibangun 1909 . Begitupun jalan lintas Flores dari Reo ke Larantuka mulai dibangun pada 31 Agustus 1915 dan selesai 31 Agustus 1925, dimana berdampak bagi penduduk untuk membangun pemukiman di sekitar wilayah yang berdekatan dengan jalan.
***
“Anda Boleh Berganti Bendera, Namun Anda Tidak Boleh Pernah Berganti Agama”.
Pernyataan diatas, adalah pernyataan Imam Portugis, Gregorio Maria Barreta kepada umatnya di Larantuka ketika masa peralihan itu berlangsung.
Ini tentu berhubungan sekali dengan perjanjian Portugis dan Belanda yang mengharuskan agar pemerintah Belanda harus mengakui keberadaan agama katolik di wilayah ini.
Di wilayah keagamaan khususnya perkembangan misonaris yang datang, justru terlihat ada perhatian serius di masa ini akan perkembangan gereja lokal. Para misonaris diberi kebebasan untuk menangani pendidikan dan jumlah pelayanan umat pun semakin baik karena misonaris yang datang lebih banyak dari sebelummnya.
Sebagai pusat misi tempat subur tumbuh kembangnya benih iman Katolik kala itu, kedatangan Belanda mau tidak mau juga menjadi perhatian misonaris dan gereja saat itu. Dengan dukungan pemerintahan gubernur Belanda, tahapan misi kedua di Larantuka mulai ditata lagi. Namun kali ini, misi yang dibawah lebih bernuasa sistemastis dengan pandangan yang lebih visoner ke depan.
Kendati melewati serangkaian perdebatan di Parlemen Belanda yang akhirnya pada 23 Agustus 1860 disepakati rumusan “kebebasan agama diberikan secara timbal balik kepada para penduduk di wilayah-wilayah yang diserahkan perjanjian ini”, namun Belanda tetap harus memenuhi kewajibannya.
Pada 12 September 1859 sepucuk surat dari Larantuka kepada Mgr Petrus Maria Vrancken Pr, Vikaris Apostolik Batavia untuk mengirim imam ke Larantuka. Uskup Vrancken kemudian mengirimkan Pater Johanes Petrus Nicolaus Sanders, imam diosesan, asal Leiden Belanda dan telah menjadi misonaris di Hindia Belanda sejak 1847 ke Larantuka pada 1860.
Pater Johanes Petrus Nicolaus Sanders merupakan tokoh penting ketika itu karena mulai dengan suatu tradisi yang baru namun tak selamanya bisa cepat diterima oleh umat. Perbedaan sikap yang seringkali ditunjukan raja dan umat terhadap pastor memang akhirnya dapat dimengerti mengingat begitu lamanya umat ditinggalkan pastor.
Bagaimanapun, selama ketidak hadiran pastor di wilayah ini, umat sudah merasa nyaman dengan apa yang dilakukan, terutama yang berhubungan dengan perayaan-perayaan kegerejaan.
***
Suatu perubahan besar baik politik, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan agama sedang terjadi di Larantuka saat itu. Suatu era baru mulai diperkenalkan yang pengaruhnya hingga saat ini. Barangkali pembicaraan tentang Larantuka kemudian berhubungan dengan suatu integrasi baru yang menamakan diri Flores Timur termasuk Lembata, perlu dilihat dalam konteks ini.
Di luar itu masih terdapat begitu banyak sejarah lokal yang juga berlangsung di masa-masa ini, yang belum banyak terungkap. Sejarah kerajaan Islam di daerah ini pun belum banyak terungkap.
Kita perlu belajar dari sejarah yang menjadikan kita seperti hari ini. (*)