untuk Y.B. Mangunwijaya
Oleh J o k o P I n u r b o
Air danau semakin meninggi.
Entah udah berapa desa tenggelam di sini.
I
Setelah sembahyang dan meghitung cahaya lampu
di kejauhan, pada tengah malam ia memutuskan pergi
ke seberang. Di sana anak-anak sudah tak sabar menunggu
dan ingin segera mendapat oleh-olehnya: buku tulis, pinsil,
dan kisah-kisah petualangan yang biasa dia dongengkan
dengan jenaka di gedung sekolah darurat yang tentu
tidak tertib kurikulumnya.
II
“Hati-hati, Pak Guru, hujan tampaknya segera turun,”
Kata orang-orang kampung yang membantu
mendorong perahunya.
“Tenanglah,”timpalnya sambal tersenyum,
“saya sudah terlatih untuk kalah.”
Meskipun agak gentar sebenarnya, ia meluncur juga
bersama sarung dan capingnya.
Air danau makin meninggi.
Entah sudah berapa rumah tenggelam disini.
Sebelum sampai di seberang, ia memutuskan mundur
ke tengah. Seluruh kawasan telah dijaga apparat
dan cukup sulit mendapatkan tempat mendarat.
Sambil menunggu situasi ia tiduran saja di atas perahu
dan, kalua bisa, bermimpi. Menjelang subuh,
perahu mendarat di tujuan. Mereka menyambut girang:
“Pak Guru sudah datang!”
III
Pak Guru memang sudah datang. Sayang ia
tak juga bangun dan tak akan bangun lagi.
Tapi anak-anak, yang ingin segera mendapat oleh-olehnya,
tak akan mengerti batas antara tidur dan mati.
IV
Beberapa aparat memeriksa tubuhnya yang masih hangat
dan menemukan sesobek surat: “Pak petugas, tolong sampaikan
pinsil dan buku tulis ini kepada anak-anakku
yang pintar dan lucu. Saya mungkin tak sempat lagi bertemu.”
Ada di antara mereka yang berkata:
“kandas juga ia akhirnya.”
V
Memang ia kandas, dan tenggelam, ke lembah maria.
Seperti hidup yang karam ke dalam doa.
VI
Barangkali ia sendiri sebuah perahu. Yang dimainkan
anak-anak piatu. Yang berani mengarungi mimpi
dan menyusup ke belantara waktu.
Sumber: buku Celana, Pacar Kecilku, di Bawah Kibaran Sarung, Joko Pinurbo, Gramedia