Oleh Frans Laba Bataona
I
“Kalau pada ilmu, penekanan diarahkan kepada data obyektifnya esai menekankan manusia dengan dunianya dalam hubungannya dengan keterjadian yang nyata yang menggejala (fenomenologis), maka pada puisi penekanannya diarahkan kepada nilai yang ditemukan oleh manusia dalam dunia/ kehidupannya”. Demikian dikatakan oleh Arief Budiman dalam tulisannya “Esei tentang Esei”( HORISON, Juli 1966,No.1, Tahun I halaman 14-15).
Jika benar bahwa penekanan sebuah puisi diarahkan kepada nilai yang ditemukan manusia dalam dunia/kehidupannya, maka nilai yang dimaksudkan itu terletak dalam pengalaman manusia sebagai pribadi dan sebagai makluk social. Pengalaman tesebut bukanlah suatu “barang jadi”, atau suatu nilai mati yang selesai pada garis batas “Ahaa erleibnis”. Pengalaman yang sudah ada dijadikan titik tumpuh untuk mencapai horizon yang semakin lama semakin luas. Demikian thema perhatian manusia juga bertambah luas dengan bertambah banyaknya obyek yang menampakkan diri dalam area pngamatannya. Lingkup pengamatan obyek-obyek itu tergantung dari “Hukum Perspektivitas” dengan manusia sebagai titik tumpuh. Kita ambil misal saja seorang penyair mengamati sebuah obyek menurut perspektivitasnya sendiri. Seluruh kenyataan dan obyek yang tercakup dalam daerah pengamatannya diorganisir sedemikian rupa sehingga tanggapan-tanggapan inderawi itu “ditarik dari kejauhannya” (entfernen oleh Heidegger) dan diabsorbir dalam bentuk kata-kata, lalu dilahirkan dalam konsep-konsep puisi. Dari sebuah puisi dapat kita melihat cara berpikir, penentuan sikap, dan cara penerapan ide-ide,menurut cara penyair itu sendiri. Maka jelaslah bagi kita bahwa dalam menimba nilai-nilai kehidupan setiap manusia dipengaruhi oleh Hukum Perspektivitas. Hukum tersebut mempengaruhi dan menentukan juga fakta keberadaan serta cara berada yang mencakup cara berpikir,kelakuan, kebudayaan etc.
II
Dalam Hukum Perspektivitas di atas manusia menjadi titik tumpu untuk menerangkan dunianya dan dunia tersebut menentukan pula cara berada dan cara berpikir manusia. Baru kalau manusia tidak memposisikan dirinya dengan dunia tetapi berintegrasi dengannya, maka manusia mencapai dimensi duniawi dan dunia mencapai dimensi manusiawi. Demikian manusia yang mendunia, manusia itu mencapai milik diri, dan baru di tangan manusia, dunia itu sungguh-sngguh dunia yang tidak anonim. Jadi jelas di sini ada pengaruh timbal balik antara manusia dengan dunianya.
Manusia dalam pengalamannya dan pengalaman yang sadar itu mengalami diri sebagai pusat berada dalam suatu pengaruh timbal balik dengan dunia sekitarnya. Karena pengaruh timbal balik dan sitem interlasi ini terbentuklah suatu keseimbangan harmonis, suatu kesatuan total yang teratur dengan manusia sebagai intinya. Manusia dan dunia sejauh memiliki otonomi dan interelasi, sejauh itu pula menjadi pusat dan intisari dari dunianya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa di luar “aku” ada “aku-aku” lain yang memandang dunia dari perspektivitas beradanya sendiri. Dengan demikian setiap hukum metafisik yang berlaku untuk manusia berlaku juga untuk setiap makluk duniawi menurut cara berada mereka sendiri.
Berdasarkan itu dapat dieksplisitkan bahwa ada keserupaan inti dalam setiap makluk duniawi pada setiap taraf yang berlaku untuk manusia sejauh dia berada menurut dimensi paling esensial juga berlaku untuk setiap makhluk duniawi.
Jadi pada dasarnya manusia merupakan inti sari,merupakan pepadatan dari unsur-unsur dunia dan manusia lainnya. Dia adalah dewa kecil untuk dunia tetapi tidak dilihat sebagai individu yang mengawasi dunia dari seberang melainkan dia adalah dunia itu sendiri. Manusia adalah mikrokosmos di mana semua unsur makrokosmos diabsorbir. Diabsorbir tentu sqja tak bisa diartikan dengan tertelan habis dan mati arti,tetapi membangun suatu perpadatan atau pembentukan dari dalam. Oleh karena keserupaan inti dalam manusia dan makluk-makluk lainnya, maka seluruh unsur duniawi secara total dapatlah diabsorbir dan diterangkan lewat pribadi manusia. Proses pengabstraksian ini berdasarkan suatu prinsip umum yang disebut “Principium Homologiae” (Homolog artinya serupa).
Berangkat dari kedua hukum yang sudah kita lihat di atas dapatlah kita mencoba mendekati atau mengamati salah satu sajaknya Sapardi Djoko Damono berikut ini :
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkriatal di kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap aku membuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di sela kata-ktaku
Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba mnenyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
Siapa Aku
(Sonet X. 1968)
III
Kalau kita menggunakan Hukum Perspektivitas sebagai jalan untuk mengamati sajak tersebut maka kita harus berangkat dari pertanyaan “Siapa Aku” (baris terakhir puisi tersebut}. Bertanya tentang diri sudah mengandalkan pertanyaan tentang yang lain, karena manusia tidak melayang seorang diri dalam sebuah ruangan hampa udara.
“Siapa meledak dalam diriku”, “Siapa mengaduh dalam bayang-bayang sepiku” menunjukkan dimensi otonomi yang refleksif dan sadar akan dirinya. Sadar akan ada berarti ada sebagai manusia dengan segala dimensinya. Menurut interpretasi saya kata “meledak” dan “mengaduh”, merupakan suatu pemberontakan, suatu sikap sebagai seorang pribadi yang memiliki “sense of relationship”. Sebagai manusia yang memiliki ‘ sense of relationship” tentu saja manusia tidak akan merasa betah kalau dia tetap tertutup dalam dirinya sendiri. Ia membentak dirinya untuk segera kembali menyeberang ke daerah kutub relasi timbal balik dengan yang lain. Dengan demikian terbukalah kemungkinan baru, suatu horizon baru di luaar manusia pribadi yaitu medan relasi subyek-obyek. “Cadar”, “binatang perburuan”, “kata-kata”,”obyek yang dipandang”…Semuanya itu mengandaikan ada subyek yang menyibak,berburu dasn mengucapkan dan yang memandang.. Justru dalam dimensi itulah subyek sungguh-sungguh menjadi subyek karena oyek, dan obyek sungguh-sungguh berarti obyek sejauh ada subyek.
Semakin banyak relasi, semakin horizon itu diperluas,semakin itu pula pengalaman tenatang pribadi tidak diperkerdil. Pengalamannya tentang “warna ungu”,”detak waktu”, tentang “bunga layu”, dan pengalamn tentang “Kristal waktu”, “awan lalu”, “langit biru”, semuanya merupakan penghayatan ruang dan waktu sebagai manusia, makluk yang menyejarah.
Sesuai dengan “Hukum Perspektivitas” pertanyaaan tentang “Siapa Aku” diperkembangkan dalam horison yang semakin lama semakin luas, malahan tampaknya semakin jauh dari diri. (“Siapa menggores di langit biru”). Tetapi kata “Siapa” itu mengandaikan seorang pribadi, dan pribadi yang paling intim dan paling dekat ialah diri pribadi itu dendiri. Dengan demikian walaupun “langit biru” diandaikan debagai horizon paling luar dan paling jauh, tetapi toh sejauh dipandang sebagai paling luar dan paling jauh sudah menunjukkan horizon yang paling dekat dan paling dalam. Itulah dlri pribadi sendiri atau Aku yang tetap menjadi pusat pengamatan dan sentrum pemberi arti.
IV
Dalam banyak cara berpikir orang Timur terdapat tendensi harmonisasi, yaitu harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara manusia dan tata susunan alam seluruhnya. Ilmu filsafat mengenal harmonisasi dalam seluruh tata susunan kosmos melalui “Principium Homologiae “ atau prinsip keserupaan yang terealisir secara penuh dalam manusia. Melalui Principium Homologiae dapat kita cari penerapan secara lain dalam mendekati puisi tersebut.
Kalau tadi untuk penerapan Hukum Perspektivitas kita telah berangkat dari manusia sebagai horizon terdalam, menuju ke horizon yang paling luar (“langit biru”). Tetapi untuk penerapan Principium Homologiae, kita akan menempuh arah yang persis terbalik dengan apa yang sudah kita lakukan diatas atau katakana saja sesuai dengan struktur puisi tersebut.
Kalau kita melihat struktur tersebut di atas, tampak suatu garis yang makin lama makin menuju perpadatan dan memuncak ke arah dimensi paling sentral, ialah “Aku”. Pada baris-baris pertama kita melihat seolah-olah hanya merupakan gejala hukum alam belaka, yang mau tidak mau haruslah terjadi demikian tanpa manipulasi manusia. (“Langit biru”, “Kristal kabut”, ”bunga layu”, dan “warna ungu”).
Pada baris-baris berikutnya kita melihat adanya campur tangan manusia dalam “berdialog” dan memberi arti pada dunianya “membuka pintu”,”memandang”, “terucap di sela kata-kataku”. Pada pemuncakan terakhir penyair telah memberi tekanan pada pribadi refleksif yang menyadari pribadinya sendiri sebagai yang “mengaduh di bayang-bayang sepi’ dan “meledak dalam diri”.
Sebagai kunci pembuka persoalan, ia melontarkan pertanyaan yang paling representatip ialah “Siapa Aku” di sini tercakup semua jawaban secara serupa dalam “Aku” sebgai inti keserupaan yang paling konkret. Dengan demikian sebagai penutup pengamatan kita tentang puisi tersebut kita dapat merujuk pendapat Heidegger yang mengatakan bahwa manusia harus keluar dari dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri. Jadi manusia dengan bertanya tentang nilai-nilai di dalam dirinya, dia harus juga menyelidiki nilai-nilai di luar dirinya dan barulah sesudah melewati konfrontasi langsung dengan yang lain di luar dirinya, manusia menemukan nilai dalam dirinya sendiri secara konkret.
*******
Frans Laba Bataona, Pengajar Bahasa Indonesia, Penikmat Sastra dan Komponis