I g n a s K l e d e n
Untuk waktu kurang-lebih dua abad lamanya, hubungan antara nasionalisme dan demokrasi dianggap sebagai sesuatu yang given atau alamiah. Negara-bangsa dianggap sebagai kerangka tempat perangkat-perangkat demokrasi bisa dibangun untuk mewujudkan nilai-nilai dalam kenyataan politik dan kehidupan sehari-hari.
Pengandaian ini dianut sedemikian luasnya selama dua abad sebelum ini, dan ini dapat dilihat sekurang-kurangnya dari dua kenyataan. Pertama, negara-negara modern entah berbentuk kerajaan, republik kesatuan, atau federasi – semuanya, tanpa kecuali menetapkan demokrasi sebagai tujuan politiknya, baik sebagai tujuan sungguhan maupun sebagai dalih. Kedua, gerakan kemerdekaan yang dikobarkan oleh negara-negara bekas jajahan selalu mencantumkan demokrasi sebagai landasan dan tujuan perjuangannya, karena dalam hubungan yang tidak setara antara bangsa penjajah dan negeri terjajah dianggap demokrasi mustahil diwujudkan.
Karena itu, bukan tanpa alasan kalau pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi, Amartya Sen, mengatakan dengan yakin bahwa demokrasi adalah penemuan umat manusia yang terbesar dan terpenting pada abad ke-20. Setiap negara dan setiap bangsa – terlepas dari praktek politik yang sebenarnya -akan selalu mengaku demokratis. Sementara itu, negara-negara yang sengaja menolak demokrasi sebagai sistem politiknya harus menjelaskan kepada dunia alasan penolakan mereka.
Dalam prakteknya, hubungan antara kemerdekaan nasional dan demokrasi diwujudkan melalui beberapa cara. Negara muncul pertama-tama sebagai negara pengatur atau administrative state, yang terbentuk melalui hukum positif, yang sekaligus mengatur pemisahan negara dan masyaerakat, serta sejauh mana negara dapat mengintervensi urusan-urusan kemasyarakatan. Sektor publik dalam negara diatur berdasarkan ketentuan hukum dan konsensus politik, sementara hak-hak privat diwujudkan dalam ekonomi pasar, tempat para peserta pasar mengambil keputusan secara bebas dan individual, baik perorangan maupun dalam kelompoknya. Pengaturan oleh negara ditandai oleh dua hak khusus yang tidak ada pada lembaga kemasyarakatan lainnya, yaitu monopoli untuk menggunakan kekerasan dan wewenang untuk menarik pajak.
Seperti kita tahu, wewenang negara untuk mengatur ini diterapkan di dalam dan dibatasi oleh wilayah geografis yang menjadi daerah kekuasaannya. Kedaulatan suatu negara modern selalu bersifat teritorial, sehingga suatu negara menjadi negara karena menjadi territorial state. Di sini hukum bukan lagi mengatur pemisahan negara dari masyarakat, melainkan menetapkan pemisahan urusan-urusan domestik dari hubungan-hubungan internasional. Wilayah adalah pengertian yang prosais dan empiris. Sedangkan kalua gagasan itu diterjemahkan menjadi puitis dan simbolis, kita akan menemukan tanah air. Patriotisme adalah etos yang dituntut oleh tanah air.
Selanjutnya, negara menjadi tempat orang mewujudkan hak menentukan nasib sendiri yang menjadi inti demokrasi. Untuk mewujudkan maksud tersebut, penduduk suatu negara harus diubah identitasnya menjadi warga negara. Konsep “rakyat” diintroduksikan sebagai suatu simbol untuk menggalang dan mengikat solidaritas sipil antara warga, yang diwujudkan melalui saling penghormatan, kesediaan membayar pajak, dan redistribusi pendapatan. Sementara itu, gagasan “bangsa” adalah imaji yang diciptakan untuk membentuk suatu sistem kekerabatan baru yang tidak berdasarkan hubungan darah atau perkawinan, tetapi berdasarkan keyakinan abstrak bahwa sekelompok orang saling terikat satu sama lain, sekalipun mereka tak pernah berjumpa selama hidupnya dan tak pernah kenal satu sama lain. Bung Karno, dengan mengutip Otto Bauer, mendefinisikan bangsa sebagai kesatuan watak (Charaktergemeinschaft) yang lahir dari kesamaan nasib (Schicksalgemeinschaft). Nasionalisme adalah etos yang dituntut oleh kesetiakawanan sebagai anggota bangsa, sedangkan negara lahir sebagai suatu negara-bangsa atau nation-state.
Pada tahap terakhir, bersatunya sejumlah orang dalam negara-bangsa ini disempurnakan oleh legitimasi kekuasaan politik pada tingkat atas. Sementara itu, di tingkat bawah terjadi transformasi identitas penduduk suatu negara. Dalam daulat tuanku (princely sovereignty), penduduk adalah taklukan (subjects). Sedangkan dalam daulat rakyat (popular sovereignty), penduduk adalah rakyat (people). Hak dari para taklukan kepada tuannya diubah menjadi hak rakyat terhadap pemerintahnya. Di sini teori tentang hak rakyat bersimpang jalan. Paham libertarian mengatakan hak rakyat tercakup semuanya dalam hak politik dan hak sipil, sedangkan paham sosial demokrasi menganggap bahwa hak sipil dan hak politik harus dilengkapi oleh hak sosial ekonomi dan hak budaya. Akan tetapi, dalam perkembangan lebih lanjut, rakyat diangkat ke tingkat yang lebih tinggi menjadi manusia (human beings), sehingga apa yang semula dianggap hak rakyat dalam politik yang demokratis diperlakukan sebagai HAM (human rights) karena yang memikul hak tersebut bukanlah rakyat sebuah negara, melainkan manusia dengan martabatnya yang khas. Semua hak-hak demokratis tersebut dilindungi oleh hukum dan undang-undang sehingga sebuah negara modern selalu berbentuk democratic-constitutional state.
Yang menjadi persoalan demokrasi adalah kenyataan bahwa kesamaan tiap orang yang dijamin oleh hukum akan selalu berhadapan dengan ketidaksamaan budaya dan ketidaksetaraan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Paham libertarian menganggap bahwa kesenjangan ini akan dibereskan oleh mekanisme demokrasi sendiri, karena kesenjangan yang diakibatkan oleh kebebasan pasar akan selalu bisa dikontrol oleh kebebasan politik para warganya. Sebaliknya, paham sosial-demokrat berpendapat bahwa dalam kesenjangan itu negara harus melakukan beberapa intervensi sehingga ketidaksetaraan itu (inequality) tidak sampai membawa orang kepada ketidakadilan (injustice). Negara menjadi socialwelfare-state.
Uraian tentang negara ini, yang buat sebagian besarnya mengikuti gagasan Jurgen Habermas (dalam bukunya Die Postnationale Konstellation: Politische Essays, 1998), mungkin dapat memberi terang dan prespektif untuk memahami sedikit perkembangan demokrasi dan NKRI selama 60 tahun perkembangannya.
Dilihat secara kasar, proyek Bung Karno adalah penciptaan sebuah nation-state melalui apa yang dinamakannya nation and character building. Apa yang dianggap sebagai tugasnya adalah mengubah kekerabatan tradisional dalam kelompok-kelompok etnik dan suku menjadi kekerabatan baru dalam “bangsa Indonesia” yang diperkenalkannya sebagai suatu imaji dan ikon baru untuk menggalang solidaritas sipil dari berbagai kelompok di tanah air. Pemisahan negara dan masyarakat belum mencolok dalam masa pemerintahnnya, karena gagasan negara itu kalah pamor dari gagasannya tentang bangsa, sementara konsep negara selalu diasosiasikan dengan colonial state.
Pemerintahan Soeharto semakin mempertegas sosok negara, sementara konsep negara-bangsa yang demikan kuat pada masa Soekarno terdesak oleh penerapan negara sebagai administrative state. Pemisahan masyarakat dan negara menjadi jelas, tetapi negara menjadi sangat dominan sehingga menguasai hampir segala sektor kehidupan masyarakat. Agama diurus oleh negara, jumlah anak ditetapkan oleh negara, sepak bola disupervisi oleh negara, hingga ke jenis dan warna baju dipilih oleh negara dengan memperkenalkan berbagai jenis seragam. Monopoli negara dalam penggunaan kekerasan diterapkan secara luas, tetapi wewenang negara untuk menarik pajak tidak mendapat perhatian cukup.
Setelah Soeharto turun dan Habibie mengambil alih kepemimpinan nasional, mulai muncul soal tentang territorial state, yang dimulai dengan lepasnya Timor-Timur sebagai salah satu provinsi negara Indonesia menjadi negara sendiri. Masalah ini terus berlanjut dalam masa pemerintahan Gus Dur yang harus menghadapi masalah Papua, dan mendapat perhatian khusus dalam pemerintahan Megawati yang berkali-kai menekankan pentingnya integrasi NKRI, khususnya dalam menghadapi Aceh. Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, masalah teritorialitas muncul kembali dalam kasus Ambalat.
Rupa-rupanya, aspek negara Indonesia yang belum mendapat perhatian cukup sampai sekarang adalah negara sebagai constitutional democratic state. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah sekarang hendak mengatasi kesenjangan atas kesamaan di depan hukum dengan ketidaksetaraan sosial ekonomi dan ketidaksamaan budaya melalui jalan libertarian, dengan hanya memperhatikan hak-hak sipil dan politis, atau melalui jalan sosial-demokrat dengan turut menambahkan kepada hak-hak sipil dan politis juga hak rakyat dalam bidang sosial ekonomi dan kebudayaan. Soekarno sudah membereskan integrasi nasional. Soeharto membereskan integrasi teritorial. Yang diperlukan sekarang adalah terwujudnya integrasi sosial, yang mungkin jauh lebih penting setelah globalisasi membuat batas-batas teritorial dapat ditembus setiap saat, dan ketika nasionalisme harus berhadapan dengan kosmopolitianisme yang semakin memikat dan tak terbendung.
Sumber Tulisan Majakah Tempo, Edisi khusus Merawat Indonesia, Agustus 2005