Oleh Yohanes Suryo Bagus Tri Hatmojo
“Pendidikan menumbuhkan semangat nasionalisme dan patriotisme guna memperjuangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan-kepentingan politik yang kerdil dan sempit yang kemudian hanya mengorbankan kepentingan bangsanya. Pendidikan itu berupaya sekuat tenaga menanamkan rasa persaudaraan, persamaan, kesetiakawanan, dan kebersamaan hidup senasib seperjuangan, membela bangsa dalam segala bentuk penindasan, baik secara fisik maupun psikis, tidak peduli apakah penindasan tersebut berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri. Pendidikan pun bermuara guna melahirkan rasa mencintai segala aset bangsa agar dijaga dengan segala cara, agar dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran dan kebesaran bangsa.”
-Ki Hadjar Dewantara-
Pengantar
Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan memiliki tiga makna. Pertama, pendidikan adalah sarana untuk menumbuhkan semangat nasionalisme atau kebangsaan. Kedua, pendidikan adalah sarana untuk menumbuhkan semangat persaudaraan sebagai warga negara. Ketiga, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan bangsa. Tiga makna pendidikan ini sungguh mulia dan indah apabila benar-benar direalisasikan. Akan tetapi, miris rasanya kita menyaksikan kenyataan di dunia pendidikan kita saat ini.
Pendidikan saat ini hanya sekadar formalitas untuk tujuan mendapatkan gelar. Dengan suatu gelar seseorang bisa mendapatkan posisi yang layak dalam dunia kerja. Gelar juga digunakan untuk meraih status sosial tertentu. Seorang yang bergelar dipandang lebih berbobot dibandingkan yang tidak.
Kurikulum kita sampai saat ini cenderung masih mendukung cara pikir pendidikan seperti itu. Proses pendidikan berubah dari proses pencerdasan menjadi proses penggelaran. Ini bukan proses untuk memerdekakan, tapi malah membelenggu. Sistem pendidikan yang kurang mencerdaskan dan memerdekakan ini sudah melenakan guru maupun murid.
Proses pendidikan sama dengan proses pentransferan ilmu secara bertahap untuk emansipasi dan memajukan peserta didik. Akan tetapi, alih-alih menjadi maju dan merdeka, siswa malah kehilangan sifat kritis dan kreatif. Pendidikan kita malah pembunuhan karakter berpikir dan memecahkan masalah. Masalah besar pendidikan kita adalah bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak mendukung tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu memerdekakan manusia.
Tulisan saya ini hendak mengulas pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Saya memfokuskan diri pada model pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk Indonesia. Untuk mengantar ke dalam konsep pendidikannya, saya akan mulai dengan menampilkan Ki Hadjar Dewantara dan sejarah pergerakannya. Di bagian akhir, saya berusaha untuk mengkaji relevansi pemikirannya.
Mengenal Ki Hadjar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia berasal dari keluarga keraton Yogyakarta. Ia adalah cucu Adipati Paku Alam III (1827-1864 ). Masa kanak-kanak dan remajanya dipengaruhi oleh sastra Jawa, agama Islam, dan ajaran Hindu purba. Kelak ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Bambang S. Dewantara menuturkan, “Sejak kecil wataknya independen, nonkonformis, dan merakyat. Beliau senang bermain dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama mereka di serambi mesjid. Beliau pun tidak menyenangi adat dodok sembah.”[1] Sikap independen ini melandasi R.M. Soewardi untuk mengganti namanya.[2]
Perjalanan hidup R.M. Soewardi benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Setelah tamat dari Sekolah Dasar di ELS (Europeesche Lagere School), ia melanjutkan ke sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tetapi tidak selesai.
Soewardi muda kemudian menjadi penulis dan wartawan di berbagai surat kabar seperti Sediotomo, Midden Java, de Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia dikenal peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama tentang kolonialisme Belanda di tanah air.[4] Soewardi muda melawan penjajahan dengan senjata pena. Sebagai seorang wartawan muda, selain ulet, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia terlibat aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu.[5]
Bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partijpada tanggal 25 Desember 1912. Inilah partai politik yang pertama kali dikenal orang di Hindia. Douwes Dekker menjadi ketua, dr. Tjipto sebagai wakil ketua, dan Soewardi Soerjaningrat sebagai sekretaris. Indische Partij bertujuan mempersatukan bangsa-bangsa di Hindia Belanda yang mengakui Hindia Belanda sebagai tanah airnya ke dalam satu kesatuan kebangsaan Hindia dan memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda.[6]
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini (Indische Partij) agar memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda, melalui Gubenur Jendral Idenburg, menggagalkan kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran yang mereka ajukan .[7]
Setelah penolakan itu, pada November 1913 Soewardi ikut membentuk Komite Bumipoetra. Komite ini dimaksudkan untuk menandingi Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra ini mengkritik pemerintah Belanda yang akan merayakan kemerdekaannya dari Prancis di negeri jajahannya.[8]
Soewardi menulis kritik dengan judul Als ik eens Nederlander was atau “Andai saya orang Belanda.” Berikut ini adalah tulisan Soewardi tersebut:
“…alangkah senangnya hati, seandainya saya untuk sesaat saja sekarang ini dapat menjadi seorang Belanda. Bukan seorang warga negara semata-semata, namun benar-benar seorang putra sejati dari Kerajaan Besar Belanda dan berdarah murni pula. Saya akan bersorak-sorai bila kelak dalam bulan November hari yang dinanti-nanti itu tiba, pesta Kemerdekaan itu. Saya akan berseru-seru dengan hati gembira, memandang dengan bebas kepada bendera Belanda dengan pitanya yang berwarna oranye itu… Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita—dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda—mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorai dalam perayaan hari kemerdekaan kita ini. Kita pasti menyinggung perasaan halus dan kehormatan mereka oleh karena kita di sini di tanah tumpah darah mereka yang justru kita jajah, kita memperingati kemerdekaan kita sendiri… Apakah tidak terbayang dalam pikiran kita, bahwa budak-budak itu juga mendambakan saat-saat seperti yang kita alami ini? Seandainya saya seorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan mengajukan protes terhadap gagasan untuk mengadakan peringatan ini. Saya akan menulis dalam surat-surat kabar bahwa perbuatan ini salah… Tetapi saya bukanlah orang Belanda, saya hanya seorang anak negeri tropis ini, berkulit warna coklat, seorang pribumi di tanah jajahan Belanda, dan oleh karena itu saya pun tidak akan memprotes. Sebab jika saya mengajukan protes, saya akan disalahkan. Saya akan dianggap menghina bangsa Belanda yang memerintah negeri saya ini….”
Pada 20 Juli 1913, lima hari setelah karangan itu terbit, pemerintah Belanda melarang artikel yang dinilai menghasut pembaca untuk melawan Belanda. Polisi menyita terbitan itu dari berbagai toko buku dan kantor-kantor surat kabar. Mereka juga mengobrak-abrik percetakan de Erste Bandoengsche yang mencetak tulisan ini.[9] Karena karangan itu, Soewardi dibuang (internering) oleh Gubernur Jendral Idenburg ke Bangka.
Setelah Soewardi dan Tjipto dibuang, Douwes Dekker menerbitkan tulisan dengan judul “Pahlawan-pahlawan Kita Tjipto Mangunkusumo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat”. Dalam tulisan itu ia membela dua sahabatnya yang sedang berada di pembuangan. Pada akhirnya, tulisan ini membawa Douwes Dekker menyusul dua sahabatnya ke tanah pembuangan. “Pada 13 September 1913, Tiga Serangkai menjejakkan kaki mereka meninggalkan tanah air. Dengan kapal Bullow milik maskapai pelayaran Jerman, mereka bertolak ke Eropa untuk melanjutkan perjuangan.”[10]
Setelah kembali dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, Soewardi mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik. Tujuannya agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang memperoleh kemerdekaan. Meski membina Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara tidak meninggalkan kebiasaan menulisnya. Hanya saja tema tulisannya kini beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan.[11]
Pada 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada. Dua tahun kemudian pada tanggal 28 April 1959 ia wafat di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Melalui tulisan-tulisan dan kerja kerasnya, ia berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Dari Politik ke Pendidikan
Perhatian Ki Hadjar Dewantara bergeser dari politik ke pendidikan setelah kembali dari pengasingan. Perubahan ini tidak mengubah cita-citanya untuk memerdekakan Indonesia. Moh. Yamin mengatakan sebagai berikut,
“Dalam pandangan Ki Hadjar, politik tidak mampu mengubah keadaan bangsa Indonesia. Politik justru semakin melahirkan kekisruhan yang semakin besar bagi dinamika kehidupan bangsa sebelum ada penguatan pendidikan dalam tubuh bangsa ini…”[12].
Ki Hadjar Dewantara berharap dapat mewujudkan kemerdekaan berpikir peserta didik melalui pendidikan. Pada saatnya, pendidikan akan membawa peserta didik pada kemerdekaan yang lebih utuh. Maka, pendidikan adalah bagian integral dari proses memerdekakan Indonesia.
Dalam pembukaan Perguruan Taman Siswa yang pertama, dengan tegas Ki Hadjar Dewantara mengajak masyarakat untuk membangun kebudayaan dan pandangan hidup sendiri dengan menyemaikan benih-benih kemerdekaan di hati rakyat melalui pendidikan yang bersifat nasional dalam segala aspek.[13] Cita-cita pendidikannya adalah untuk kemerdekaan manusia. Kemerdekaan berarti setiap individu bebas untuk menggunakan pikirannya dan bebas dari paksaan pihak lain.
Ki Hadjar Dewantara menilai konsep pendidikan Barat terlalu menekankan akal semata sementara, aspek kepekaan sosial terhadap sesama kurang diperhatikan. Sistem dikte yang dipakai oleh pemerintah kolonial membuat siswa kurang kreatif, bahkan cenderung takut untuk bertanya. Pendidikan kolonial menjadikan bangsa Indonesia bergantung pada bangsa lain.
Kritik itu disusul dengan konsep Ki Hadjar Dewantara sendiri. Ia membangun sistem among yang memuat dua prinsip dasar. Prinsip pertama adalah kemerdekaan yang merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka dan tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun. Kemerdekaan ini diinternalisasi sedemikian rupa dalam kehidupan praksis peserta didik sehingga mereka merasa berada dalam kehidupannya, bukan kehidupan lain yang diupayakan masuk dalam kehidupannya.
Prinsip kedua adalah kodrat alam. Prinsip ini adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kehidupan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Kodrat alam tersebut berarti alam yang ada ini harus dijaga dan dilestarikan dengan sebaik-baiknya. Alam tidak boleh dirusak karena ia merupakan modal bagi pendidikan anak didik agar bertanggung jawab melestarikan dan memajukannya.
Selain sistem among, Taman Siswa juga dikembangkan di atas panca darma (lima asas) yang disusun pada tahun 1947 dan dikenal sebagai “Asas-asas 1922.” Lima asas itu adalah sebagai berikut:
- Asas Kemerdekaan
Asas ini menekankan kemerdekaan untuk mengatur diri sendiri. Artinya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, masing-masing berdisiplin terhadap diri sendiri dengan mendasarkan hidup pada nilai-nilai luhur. Oleh sebab itu, kemerdekaan berarti bagaimana suatu bangsa atau masyarakat memiliki disiplin yang kuat terhadap bangsa sendiri, tidak pertama-tama memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
- Asas Kodrat Alam
Asas ini memaknai manusia sebagai mahluk ciptaan memiliki kesatuan hakikat dengan alam. Pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari kehendak pribadinya, tetapi manusia akan bahagia ketika mampu menyatukan diri dengan kodrat alam. Melalui azas ini, Ki Hadjar Dewantara mengajak agar manusia bijaksana dalam memanfaatkan hasil alam. Lebih-lebih ia meminta untuk tidak menjadikan alam sebagai budak yang bisa dikeruk habis-habisan. Manusia harus mampu menjaga dan merawatnya.
- Asas Kebudayaan
Sebagai bangsa yang beradab dan berdaulat, bangsa Indonesia harus hadir dengan budayanya. Segala hal yang akan dikerjakan demi kemajuan bangsa ke depan harus berakar dari nilai-nilai budaya sendiri. Melestarikan budaya harus dilakukan demi kemajuan bangsa.
- Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan mendorong masyarakat agar memperjuangkan kesatuan bangsa tanpa membedakan budaya, ras, dan agama yang ada. Seluruh elemen bangsa harus mempunyai rasa kesatuan dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh masyarakat.
- Asas Kemanusiaan
Asas ini memiliki makna bahwa mewujudkan kemanusiaan merupakan darma bagi setiap manusia. Tujuannya adalah membangun sebuah bangunan bangsa yang berpilarkan nilai-nilai damai, kedamaian, dan perdamaian hidup di tengah perbedaan yang ada.[14]
Asas-asas di atas memperlihatkan cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Hendaknya pendidikan mengakar pada perjalanan sejarah bangsa. Sebab, pendidikan memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak negeri. Pendidikan menjadi penguat awal dan dasar bagi perjalanan hidup anak-anak negeri demi membangun bangsanya. Secara tegas, pendidikan harus sebangun dengan nilai-nilai kultural bangsa ini.
Taman Siswa berusaha untuk mewujudkan cita-cita ini. Selain menggunakan nilai-nilai bangsa sebagai landasan dalam belajar-mengajar, pendidikan juga harus kritis terhadap tradisi dan kesepakatan-kesepakatan yang menghambat perkembangan pribadi dan bangsa. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan merupakan tuntunan hidup peserta didik. Maksudnya, pendidikan diharapkan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.[15]
Guru juga memiliki peran penting. Bagi Ki Hadjar Dewantaraya, para pendidik memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap kehidupan bangsa dan memperjuangkan kemerdekaan. Secara khusus ia memberikan tiga kunci dasar untuk menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani.[16]
Karakter seorang peserta didik dipengaruhi oleh bagaimana seorang pendidik yang adalah sekaligus pemimpin, memberikan pelajaran dan pengajaran. Mereka juga dipengaruhi oleh bagaimana para pendidik berinteraksi sosial baik dalam kelas, keluarga, maupun masyarakat.[17] Oleh sebab itu, mempraktikkan ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani menjadi tuntutan saat ini.
Pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam hal pendidikan belum kadaluwarsa dan masih dapat digunakan untuk merefleksikan dunia pendidikan kita saat ini.
Pendidikan yang Mencerdaskan: Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara mengatakan,
“Setelah Indonesia berdiri sebagai negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat dari statusnya yang hampir selama tiga setengah abad hidup terpecah-pecah di bawah penguasa bangsa asing, sekarang Indonesia melakukan kekuasaan politiknya berdasarkan pada kepentingan-kepentingan ekonomi, sosial, dan kultur bangsanya sendiri. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika rakyat Indonesia memperbaharui secara terpadu seluruh sistem pendidikan dan pengajarannya…”[18]
Kata-katanya benar. Sekarang, masalahnya adalah ”bagaimana bentuk pendidikan yang mampu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat”.
Pada 15 Juli 2013 lalu, Kurikulum 2013, yang disusun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama 500 pakar dan ahli di bidangnya, disahkan oleh DPR. Ini merupakan terobosan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ketika KTSP belum mengakar pada dunia pendidikan Indonesia, pemerintah sudah membuat kurikulum baru.
Dalam portal www.antaranews.com 22 Oktober 2013, Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, memaparkan bahwa kurikulum ini bertujuan untuk menumbuhkan “sikap, keterampilan, dan pengetahuan” peserta didik. Oleh sebab itu, “proses” menjadi lebih penting daripada “hasil.” Ia menandaskan bahwa hal ini penting demi tercetaknya generasi yang berkualitas dan mampu berdaya saing sesuai tuntutan dunia tahun 2021 kelak. Apakah kurikulum ini mampu mewujudkan pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat? Kita belum tahu.
Belum genap satu tahun dijalankan, kurikulum ini sudah banyak dikritik. Dalam portal http://edukasi.kompas.com 19 Desember 2012, Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta menilai bahwa draft Kurikulum 2013 memiliki banyak kelemahan. Wuryadi, Ketua Dewan Pendidikan DIY, mengatakan bahwa penetapan kurikulum ini terlalu mengandaikan bahwa kapasitas semua guru adalah sama. Guru dituntut mampu mengajak siswa lebih mementingkan proses daripada hasil. Caranya, antara lain porsi siswa berbicara dan studi kasus diperbanyak. Akan tetapi, penekanan pada proses ini menjadi sia-sia apabila Ujian Nasional tetap dipertahankan. Mau tidak mau anak didik mengejar hasil demi lulus UN bagaimana pun caranya. Bahkan, tidak jarang mereka membeli kunci jawaban.[19]
Tampaknya sejauh ini pemerintah hanya pusing dengan “bungkus” atau kulit muka pendidikan namun tidak sungguh-sungguh menyentuh inti masalah pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara menandaskan sebagai berikut:
“Segala pembaharuan tersebut ada yang perlu dan mungkin dilaksanakan, baik dengan segera ataupun dalam jangka panjang, yakni dengan melakukan persiapan-persiapan yang perlu sehingga pembaharuan dapat dilakukan dengan lancar. Sebaliknya, janganlah memperbaharui apa yang tidak perlu diperbaharui atau tidak mungkin diperbaharui.”[20]
Menurut saya, jika tujuan pendidikan adalah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun masyarakat, pembaharuan kurikulum tidaklah mendesak. Malah, pembaruan kurikulum itu menimbulkan kecurigaan bahwa ini akal-akalan pemerintah untuk memiliki proyek sehingga lapangan korupsi terbuka lebar.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan dipengaruhi tiga pemikir yang ia pelajari sebelumnya secara khusus dari Dr. Maria Montessori. Menurut Montessori, kanak-kanak itu jangan dibelajari, namun harus dituntun.[21] Artinya, mereka diasuh dan jangan sampai kehilangan kodratnya sebagai kanak-kanak. Pendidikan saat ini kadang malah menghilangkan daya kreatif dan kritis anak-anak. Semakin lama bersekolah, anak-anak justru menjadi pribadi yang tidak kreatif dan cenderung tidak kritis. Ketika pendidikan disederhanakan menjadi proses anak dibelajari dan didikte, efek negatif itulah yang akan terjadi.
Pendidikan seharusnya menjadi wadah bagi peserta didik untuk mengasah daya kreatif dan kritis mereka. Ketika keduanya tidak berkembang, maka sekolah hanya berperan sebagai ‘pabrik’ yang menghasilkan manusia-manusia pekerja.
Penutup
Melalui pergeseran fokus dari politik ke pendidikan, Ki Hadjar menggarap bidang yang tidak digarap oleh pejuang lain saat itu. Sementara yang lain memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda, Ki Hadjar memperjuangkan kemerdekaan lebih dalam ranah internal, kemerdekaan dalam berfikir dan kemerdekaan dalam mengaktualisasikan diri. Pendidikan sebagai proses kebangsaan yang diusung oleh Ki Hadjar tidak hanya memperjuangkan kemerdekaan yang melulu individualistis, melainkan kemerdekaan sebagai orang Indonesia yang berjiwa nasionalis atau semangat kebangsaan, yang menghayati persaudaraan sebagai warga negara dan yang berjuang demi perkembangan bangsa.
Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan di Indonesia sebagai proses integral dari cita-cita kebangsaan kita. Ia berjuang untuk menegakkan bangsa yang merdeka, yang berdaulat, yang mengatur hitam dan putihnya sejarah tanah airnya. Sebelum republik berdiri, ia sudah berpikir jauh ke depan tentang orang-orang yang kelak mengurus negara itu. Sudah juga ia bayangkan karakter bangsanya.
Maka, jika boleh berandai-andai, saya duga andai masih hidup saat ini, Ki Hadjar Dewantara lebih memilih tetap untuk menjadi guru daripada menjadi anggota DPR demi memperbaiki kondisi bangsa Indonesia saat ini. Ia memilih berdiri di depan kelas atau duduk di antara murid-muridnya untuk menuntun mereka menjadi manusia merdeka dan untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Idealnya, perayaan Hari Pendidikan Nasional, setiap tanggal 2 Mei, mestinya menjadi saat kita untuk memperingati sekaligus memberi perhatian lebih terhadap pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Kemudian, kita bisa mengaktualisasikan tujuan pendidikan yang ia imajinasikan: memerdekakan manusia.
Sebaliknya, kita merasa miris, sementara merayakan kelahiran tokoh pendidikan Indonesia, kita tidak mengacuhkan lagi perjuangannya. Seakan-akan Ki Hadjar Dewantara tercerabut dan tidak lagi memberi makna pada sejarah pendidikan Indonesia masa kini. Bukan tidak mungkin, jika pendidikan di negeri ini tidak lagi kita pikirkan dengan serius, sekolah-sekolah hanya akan melahirkan manusia-manusia kerdil yang terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan sektarian dan bahkan anti-kemanusiaan.
****************************************
*Yohanes Suryo Bagus Tri Hatmojo, Alumni STF Driyarkara. Menaruh Minat pada Filsafat, Politik dan Pendidikan
Sumber buku Memoria Indonesia Bergerak, Megawati Institute, 2014
Daftar Pustaka
Dewantara, Bambang S. 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Pustaka Kartini. 1989.
Dewantara, Ki Hadjar. Karya Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa. 1962.
Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika. 2009.
Lubis, Boerhanoeddin. “Aktualisasi Ajaran Taman Siswa Pada Era 2000.” dalam Ki Supriyoko. Budaya Indonesia Menyongsong Era 2000. Jakarta: Yayasan Ki Hadjar Dewantara. 1996.
Pranata SSP. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka.1959.
Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2009.
—————————————————–
Catatan Kaki
[1] Adat dodok sembah adalah berjalan dalam posisi jongkok sambil menyembah jika hendak menghadap raja di istana atau di tempat lain. Bambang S. Dewantara, 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989). hlm. 16
[2] Ibid. hlm. 17. Suatu hari Soewardi remaja dan saudara-saudaranya mengajak anak-anak kampung Jagalan menghambur dan bermain di sebuah taman rekreasi milik Benteng Vredensburg. Padahal di taman yang baru dibangun ketika itu dipancangkan papan-papan peringatan yang berbunyi: Niet Toegankelijk Voor Honden En Inlanders yang artinya adalah “Dilarang masuk bagi anjing dan orang-orang pribumi.”
[3] R.M. Soewardi yang menjujung asas kemerdekaan nampak terlihat ketika ia menentang keputusan pihak STOVIA perihal larangan merayakan hari raya idul Fitri. Bersama kawan-kawannya saat malam sebelum Hari Raya Idul Fitri, Soewardi meletuskan petasan di berbagai kamar dan sudut asrama pelajar STOVIA. Akibat tindakannya ini, ia bersama teman-temanya dimasukkan ke dalam kamar yang tertutup selama beberapa lama. Pranata SSP, Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1959). hlm. 38
[4] Disadur dari biografi-ki-Hadjar-dewantara.html pada tanggal 21 Oktober 2013, pukul 15.00 WIB
[5] Disadur dari http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-ki-Hadjar-dewantara.html pada tanggal 21 Oktober 2013, pukul 15.15 WIB
[6] Bambang S. Dewantara. op.cit. hlm. 58
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm. 67
[10] Ibid.hlm.80
[11] Selama hidupnya Ki Hadjar Dewantara dua kali mengganti namanya. Ia mengganti Raden Mas Soewardi menjadi Soewardi Soerjaningrat (tanpa Raden Mas). Kemudian nama terakhir itu ia ubah menjadi Ki Hadjar Dewantara. Penggantian nama ini memiliki landasan yang mendalam. Penanggalan gelar Raden Mas merupakan simbol penting Ki Hadjar Dewantara meninggalkan keningratannya dan memilih untuk menjadi orang biasa yang dekat dengan rakyat. Penggantian nama menjadi Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa juga merupakan simbol penting. HadjarNama ini merupakan nama seorang guru besar yang berhasil menyatukan aliran-aliran agama dan kepercayaan di seluruh Jawa Dwipa di zaman Karuhun. Pergantian menjadi Ki Hadjar Dewantara mengandung sebuah harapan agar dengan berdirinya Taman Siswa, ia bersama rekan-rekan seperjuangannya mampu menyatukan bangsa tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada.
[12] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Hlm. 168
[13] Boerhanoeddin Lubis, “Aktualisasi Ajaran Taman Siswa pada Era 2000,” dalam Budaya Indonesia Menyongsong Era 2000, (Jakarta: Yayasan Ki Hadjar Dewantara, 1996). hlm. 61
[14] Moh. Yamin, op.cit., hlm. 176-177
[15] Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009). hlm. 3
[16] Artinya, di depan memberi teladan, di tengah membangun kehendak, di belakang memberi semangat.
[17] iIbid. hlm. 196
[18] Hadjar).Ibid. hlm. 21
[19] Ujian Nasional tahun 2013 dinilai gagal. Selain keterlambatan soal di beberapa daerah yang menimbulkan berbagai dampak negatif, UN 2013 juga masih bergulat dengan masalah klasik yaitu bocornya kunci jawaban. Majalah Tempo edisi 29 April-5 Mei 2013 menandaskan bahwa di beberapa daerah terjadi kebocoran kunci jawaban, setidaknya di Kediri, Bandung dan Cirebon. Siswa rela mengeluarkan uang Rp 30 juta demi mendapatkan kunci jawaban dari enam mata pelajaran yang diujikan.
[20] Ki Hadjar Dewantara (a).op.cit. hlm. 21
[21] Ki Hadjar Dewantara (b). Karya Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962). hlm. 271