S I N D H U N A T A
TIGA tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai telah memberikan tingkat kepuasan yang lumayan tinggi bagi masyarakat. Namun, sukses itu ternyata tidak serentak menghilangkan kegelisahan masyarakat. Tentu kegelisahan itu tidak disebabkan pertama-tama karena pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi justru karena peluang-peluang demokrasi yang disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab oleh sementara kalangan.
Itulah latar belakang bagi Bentara Budaya Yogyakarta dalam menjalankan program seni dan budayanya selama September-Oktober 2017, menyongsong tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Programnya adalah pameran foto bertema Di mana Garuda dan pameran lukisan serta pentas kesenian berjudul Hilangnya Semar. Garuda, simbol kekayaan identitas bangsa, akhir-akhir ini seakan menghilang. Dalam pameran Di mana Garuda, para wartawan foto yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia menampilkan karya yang menggambarkan bagaimana Garuda masih bisa ditemukan walau dalam ketersembunyiannya yang dalam.
Hilangnya Semar memperlihatkan keprihatinan serupa. Khusus di Jawa, Semar adalah simbol kebudayaan, identitas, dan pamomong, yang selalu mendampingi manusia dalam suka dukanya. Dengan Hilangnya Semar dilukiskan bagaimana dewasa ini kebudayaan, identitas, dan pamomong itu menghilang. Hilangnya Garuda dan Semar mengajak kita merenungkan kembali kegelisahan yang akhir-akhir ini terjadi. Pertama-tama, kendati banyak kemajuan, dewasa ini kita mudah merasa tidak terikat satu sama lain. Tiadanya keterikatan itu membuat hidup jadi kurang nyaman, tidak terjamin, dan kurang bahagia. Sebagian warga, lebih-lebih kelompok minoritas, malah merasa hidup dan keberadaannya kurang diterima. Seakan mereka bukanlah saudara se-Tanah Air dan sebangsa.
Sebagai tempat, Tanah Air itu ada dan menampung kita. Namun, karena di tempat itu kita tak lagi merasakan keintiman, keterikatan, kenyamanan, dan keamanan, kita seperti kehilangan Tanah Air. Tanah Air itu bagaikan ibu, tempat kita ingin selalu kembali dan rindu. Hilangnya Garuda dan Semar adalah simbolik ketika Tanah Air seperti tak lagi bisa menjadi ibu. Sekarang, kita mudah menjadi serba gelisah. Mungkin karena Semar sudah ditelan raksasa, seperti digambarkan dalam pameran seni di Bentara Budaya itu. Raksasa itu adalah globalisasi yang menelan bulat-bulat hidup kita, lebih-lebih kaum kita yang miskin dan terpinggirkan.
Bagi kaum yang terakhir ini, globalisasi bukanlah keuntungan, melainkan kerugian. Dalam keadaan belum siap, mereka sudah dipaksa masuk ke dalam globalisasi yang telah menjadi sivilisasi modern. Padahal, seperti dikatakan sosiolog Zygmunt Bauman, sivilisasi modern bukanlah jaminan manusia tak menjadi barbar, malah sivilisasi bisa juga menyebabkan kebarbaran. Hal itu terjadi karena andalan sivilisasi globalisasi adalah teknologi. Sementara, kata Bauman, dalam teknologi tersembunyi risiko “adhiaphorisasi”. Maksudnya, karena teknologi, manusia dijadikan indifferent, acuh tak acuh, tak peduli dan cuek dalam perilaku moralnya.
Teknologi membuat semuanya jadi netral. Akibatnya, keberadaan manusia pun bisa dianggap tak punya nilai istimewa. Karena itu, manusia bisa begitu saja ditiadakan. Globalisasi teknologi modern itu bisa menelan mentah-mentah Semar sebagai simbol wong cilik. Itulah kiranya barbarisasi teknologi zaman modern yang sedang melanda kita dewasa ini.
Teknologi yang netral terhadap nilai hidup manusia dengan mudah memperalat manusia untuk menjadi barbar. Tindakan barbar itu boleh kita lihat dengan paling jelas dalam kekejaman dan kebrutalan aksi-aksi terorisme. Dalam fenomena itu tampak bagaimana teknologi modern menggandeng fanatisme primitif untuk menjadi kekuatan superdestruktif terhadap kemanusiaan. Kita gelisah karena barbarisme teroris ini juga sudah mendatangi hidup kita. Dan, menyedihkan, karena lagi-lagi yang jadi alat dan diperalat adalah kaum miskin, kurang pendidikan, dan terpinggirkan oleh arus globalisasi.
Semar-semar palsu
Cuek dan tak peduli terhadap kemanusiaan akibat kemajuan teknologi itu memang telah melanda Tanah Air kita. Ibaratnya kita telah menjadi manusia batu. Hati kita membatu tak punya perasaan. Di hadapan manusia batu ini, seorang Semar, personifikasi kearifan dan kebijaksanaan, juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia memberi tahu dan menasihati, tetapi itu semua seperti angin berlalu buat manusia batu. Akhirnya Semar pun hilang, bukan karena ia memang mau menghilang, melainkan karena ia sudah tak lagi didengarkan dan dipedulikan. Kecuekan terhadap kemanusiaan itu menjadi paling terwujud dalam diri politikus kita. Mereka tak memandang rakyat dalam segala aspek manusianya yang utuh. Kemanusiaan rakyat disempitkan hanya pada emosi, naluri primordial, dan sentimen mayoritas serta agresi fanatisme keagamaan. Akal sehat, rasa kebersamaan, dan naluri toleransi dikesampingkan. Ini semua dijalankan oleh politikus semata-mata demi meraih kekuasaan, yang belum tentu membahagiakan rakyat.
Sementara rakyat sendiri memang belum terlalu matang dalam menyadari dan mengolah kemanusiaannya secara utuh. Maka, dengan mudah, mereka tersulut oleh provokasi politik yang membakar emosi, naluri primordial, supremasi mayoritas, serta agresi fanatisme keagamaannya. Kemanusiaan rakyat sungguh dimiskinkan oleh kepentingan kekuasaan para politikus. Dan, rakyat sebagai endapan kebijaksanaan, guru hidup berketetanggaan, gotong royong dan toleransi jadi menghilang. Itulah tragika yang ingin digambarkan dengan hilangnya Garuda dan Semar.
Politikus-politikus mengerjakan semuanya itu demi dan atas dasar kebebasan, yang diberikan oleh demokrasi. Namun, mereka menyalahpahami kebebasan. Kebebasan digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai penyangga demokrasi. Demi alasan kebebasan, rakyat terus diprovokasi untuk menggunakan kebebasannya, dengan melebih-lebihkan bahwa rakyat berhak atas semuanya. Wacana kebebasan dipersempit menjadi “mana hakku” dan “bagaimana aku memperoleh hakku”.
Itulah yang oleh filsuf Axel Honneth disebut sebagai “patologi kebebasan”. Kebebasan demikian adalah patologis karena berakibat menyempitkan manusia hanya sebagai “orang yang berhak” dan melupakannya sebagai “manusia yang berkewajiban”. Memang apabila manusia hanya disempitkan pada haknya, ia akan menjadi patologis buat lingkungannya, tak peduli terhadap kesosialan, keterikatan, dan kewargaannya. Situasi ini menjadi makin patologis jika wacana kebebasan dibumbui dengan bahasa sentimen primordial yang bernada mengecualikan: “mana hakku sebagai pribumi” dan “bagaimana aku harus meraih hakku sebagai pribumi”.
Politikus penyalah guna kebebasan itu kini berkeliaran dalam jagat demokrasi kita. Mereka menarik karena pandai membungkus dirinya dengan pencitraan yang mudah diterima rakyat. Mereka memikat karena pandai menggunakan bahasa yang akrab dengan rakyat. Mereka itulah “semar-semar palsu” yang digambarkan oleh pameran seni Hilangnya Semar. Semar memang figur rakyat. Karena itu, dengan menjadi seperti Semar, mereka juga mudah diterima rakyat.
Semar-semar palsu itu pandai berkata bijak dan damai. Namun, kebijakan dan kedamaian itu hanyalah bungkus untuk menyembunyikan tindakannya yang suka menyulut pertentangan dan permusuhan. Mereka arif berkhotbah tentang kesederhanaan, tetapi dalam tindakannya mereka penumpuk harta dan koruptor. Mereka itulah “Semar Mroyek”, Semar yang bergelimangan uang karena proyek-proyeknya. Semar itu sesungguhnya dewa rupawan bernama Ismaya. Ketika iamroyek, Ismaya pun meninggalkan dirinya. Semar hanya menjadi badan wadak belaka. Celakanya, kewadakan ini justru diterima dengan mudah karena dewasa ini banyak warga masyarakat sudah didangkalkan, diwadakkan dalam formalisme, ritualisme, dan materialisme semata-mata.
Semar-semar palsu itu adalah politikus-politikus bunglon. Dengan mudah mereka berganti wajah. Wajah atau kepala mereka bisa berganti-ganti, tetapi badannya tetaplah Semar. Dengan berbadan Semar, mereka tetap bisa diterima orang kebanyakan. Namun, sebenarnya mereka menipu karena kepala mereka bukanlah kepala Semar. Itulah lambang pribadi yang terbelah. Badannya proletar, tetapi kepalanya borjuis. Badannya “kiri”, tetapi kepalanya “kanan”. Badannya “timur”, tetapi kepalanya “barat”. Sesekali kepalanya “partai ini”, lain kali “partai itu”. Kepala kutu loncat ini tak merasa bersalah karena mereka yakin badannya tetaplah Semar yang merakyat. Mereka lupa rakyat lama-lama akan tahu bahwa mereka bukanlah pribadi politik yang berintegritas.
Banyak Semar palsu sekarang menjadi aktor politik demokrasi kita. Mereka merasa menegakkan demokrasi, tetapi sesungguhnya mereka ancaman yang bisa meruntuhkan demokrasi. Di banyak belahan dunia, akhir-akhir ini fakta politis memperlihatkan, demokrasi sungguh terancam jika pemerintahan dan jabatan kenegaraan jatuh di tangan politikus tak berintegritas yang mroyek dan korup. Parlemen juga diperlemah apabila anggotanya terpisah dari keprihatinan dan keinginan rakyat. Seperti yang terjadi pada kita, DPR merembuk dan memutuskan sesuatu, sementara rakyat di tempatnya sendiri dan dengan caranya sendiri sudah memutuskan dan menjalankan sesuatu yang berlawanan dengan rembukan dan putusan DPR. Itu dengan mudah terbaca dalam lalu lintas media sosial yang begitu kritis dan sinis terhadap kebijakan, langkah, dan kata-kata pejabat atau anggota DPR..
Keadaan demikian adalah tanda bahaya bagi demokrasi, tepatnya demokrasi representatif yang kita miliki. Soalnya, lama-lama rakyat tak percaya lagi kepada representasi wakil-wakilnya. Mereka merasa keprihatinannya tak disalurkan dengan baik oleh wakil-wakilnya. Kalau demikian, apa gunanya representasi mereka? Pertanyaan ini adalah cikal bakal bagi munculnya gerakan populisme. Populisme itu mudah marak di negara-negara demokrasi yang kuat, apalagi di negara yang baru belajar demokrasi seperti kita. Padahal, kita tahu, populisme itu bahaya bagi demokrasi karena, bagi mereka, perantara atau representasi sudah tidak relevan lagi. Mereka cenderung memangkas perwakilan itu. Jelas, ini bisa berakibat pada anarki, apalagi jika dalam situasi demikian muncul demagog-demagog populis yang pandai membakar nyala populisme itu.
Dari hal di atas benarlah adagium yang berkata, “demokrasi bisa mengubur dirinya sendiri”. Sebab, lawan dari demokrasi tak datang dari “luar”, tetapi dari “dalam” dirinya sendiri. Dan, lawan-lawan itu adalah aktor-aktor patologis demokrasi: politikus-politikus yang tak bertanggung jawab, korup, dan tak berintegritas. Dalam hal ini perlu kita ingat sejenak ejekan J Goebbels, demagog fasistis rezim Nazi. Kata Goebbels, “Inilah lelucon demokrasi: bagi musuh bebuyutannya, demokrasi menyediakan sendiri senjata yang digunakan untuk membunuh dirinya sendiri.”
Sengkuni tobat
Menghadapi tahun politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, Presiden Jokowi kelihatannya meraba segala kegelisahan, kekhawatiran, dan bahaya di atas. Karenanya, Presiden meminta kita waspada dan tak membuat kegaduhan: “Masyarakat butuh ketenangan. Masyarakat perlu kesejukan. Masyarakat memerlukan pemimpin yang memberi semangat, syukur kalau bisa memberi inspirasi. Masyarakat perlu itu. Bukan malah membuat masyarakat khawatir” (Kompas, 20/10/17).
Sesungguhnya, seperti ditemukan para wartawan foto dan diungkapkan para seniman dalam pameran “Hilangnya Garuda dan Semar” itu, kegaduhan itu tak ada di tingkat bawah. Para wartawan menunjukkan, Garuda tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Garuda itu mewujud dalam kegembiraan anak-anak yang bermain dan optimistis akan masa depannya, dalam kegembiraan menyambut perayaan 17 Agustus, juga dalam perbuatan cinta kasih dan tolong-menolong yang amat biasa dan sederhana. Sementara beberapa seniman menggambarkan, Semar juga tidak hilang, kita bisa menemukannya asal kita mencari dia di tengah kehidupan yang sederhana. Ia tersenyum di pasar ikan, ia bekerja sebagai penyapu jalan, yang menyapu bukan dengan sapu lidi, melainkan sapu persatuan.
Rakyat biasa juga bisa mengambil hikmah justru dengan hilangnya Semar. Dalam pertunjukan wayang kulit untuk menutup pameran di Bentara Budaya, digelar lakon Ilange Semar. Diceritakan, hilangnya Semar membuat terang dan jelas mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia tak bisa mengelak untuk diterangi cahaya terang itu. Bahkan, Patih Sengkuni, tokoh culas dan provokator kerusuhan yang ulung, tak bisa tidak harus mengakui kesalahannya. Ia tak bisa lagi menutupi kejahatannya. Ia tersiksa oleh kejahatan itu. Maka, ia ingin bertobat. Alasan pertobatannya bukan lagi moral, politik atau kekuasaan, melainkan kehidupan. Ia merasa sudah tua, tak boleh lagi ia meneruskan kejahatannya. Kalau tidak, bagaimana ia mempertanggungjawabkan semua perbuatannya ketika mati nanti.
Sengkuni akhirnya bertobat. Mana ada Sengkuni bertobat? Ini sungguh melawan pakem wayang. Namun, malam itu lakon wayang Ilange Semar memang sengaja hendak dijadikan sindiran agar politikus kita juga mau bertobat, seperti Sengkuni. Memang, seluruh perbuatan politik pun tak bisa hanya dipertanggungjawabkan secara politik dan demi kekuasaan. Politik harus dipertanggungjawabkan juga terhadap kehidupan, yang mau tak mau harus berhadapan dan berakhir dengan kematian dan akhirat. Untuk itu, siapa pun perlu bertobat.
*********
*SINDHUNATA, Pemimpin Majalah Basis, Yogyakarta, Kurator Bentara Budaya
*Sumber Kompas 6 November 2017