Oleh Odemus Bei Witono , Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
DALAM dunia pendidikan kasus-kasus indisipliner kerapkali terjadi di kalangan pelajar mulai dari terlambat datang ke sekolah, mencontek, merokok, berkata kotor, dan melakukan tindakan lain yang tidak terpuji, bahkan mengarah pada tindakan kriminal. Dalam beberapa bulan terakhir, di berbagai tempat terjadi kasus yang justru dilakukan oleh oknum remaja, misalnya perkelahian atau tawuran di Tamansari (kompas.com 21/03/2022), dan kejahatan jalanan di Yogyakarta (kompas.com 19/4/2022). Perilaku indisipliner berupa kenakalan remaja di kalangan pelajar tentu sangat memprihatinkan. Orangtua murid bersama sekolah, dan masyarakat luas perlu berkolaborasi mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh remaja seusia sekolah, supaya mereka tidak terjebak dalam pergaulan bebas yang menjurus pada aneka tindakan yang tidak mulia.
Menurut seorang pendidik, Lidia (dalam jurnalasia.com, 2016) mendidik murid nakal pada zaman ini tidaklah mudah. Dalam praksis, banyak guru masa kini merasa galau dan bingung dalam bersikap, apakah para murid yang melakukan tindakan indisipliner perlu ditegur, dimarahi, diberi sanksi, atau tidak. Mereka khawatir karena jika salah melangkah dapat terkena pelanggaran Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, akibatnya pendidik yang bersangkutan, kemungkinan dapat ditegur balik oleh orangtua murid, dan bahkan sampai digugat ke pengadilan. Padahal dalam UU No. 14 tahun 2005, guru sebagai pendidik mempunyai tugas yang mulia, yaitu mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, dan menilai peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.
Dalam tugas yang mulia, profesi guru sangat rentan dipersalahkan, terutama jika pendekatan mereka terhadap pendampingan murid dianggap keliru, dan tidak dimengerti oleh para pemangku kepentingan. Para pendidik dalam mendampingi para murid perlu dilindungi oleh pemerintah dan hukum yang berlaku, supaya mereka dapat mendidik anak-anak bangsa secara berkualitas dengan lebih tenang. Perlindungan profesi guru sejak tahun 2008, sudah diakui melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP tersebut, pada pasal 39, para guru dapat memberikan saksi terhadap para murid yang melakukan tindakan indisipliner secara tepat, dan pasal 40, 41 mereka pun mendapat perlindungan hukum terhadap apa yang menjadi tanggung jawab mereka sebagai pendidik.
Dalam mendisiplinkan prilaku yang kurang baik, para guru perlu memperhatikan rambu-rambu pembinaan berjenjang. Misalnya pemahaman guru mengenai kata disiplin haruslah jelas dan tidak ambigu. Dalam merriam-webster.com, secara etimologis kata disiplin berasal dari kata Latin discipulus, yang artinya murid, yang kemudian di abad ke-13 mengalami perubahan makna. Kata disiplin pada waktu itu terkait dengan hukuman religius, seperti mencambuk diri sebagai bentuk penitensi dan penaklukan diri. Setelah masa itu, kata disiplin dalam merriam-webster.com dipahami sebagai kata kerja untuk melatih atau mengembangkan seseorang melalui instruksi dan latihan pengendalian diri. Kata disiplin kemudian dihubungkan atau dikaitkan dengan aktivitas studi, pengaturan perilaku seseorang, dan aneka instruksi dalam pembelajaran.
Dalam proses mendisiplinkan, para pendidik sejak awal pelajaran perlu menyampaikan dan menjelaskan apa yang diharapkan oleh pihak sekolah terhadap murid mereka. Para murid — melalui komitmen bersama — dilatih berdisiplin untuk bertanggung jawab. Jika ada murid yang disiplin perlu diapresiasi, sedangkan jika ada peserta didik melanggar akan mendapatkan konsekuensi secara konsisten dan adil. Prinsip yang dipegang dalam mendisiplinkan diri, yaitu memperlakukan para murid dengan hormat, tidak perlu marah-marah tetapi menegor murid yang indisipliner dengan pilihan kata yang tepat dan profesional.
Pakar pendidikan, Harry Wong (2009), mengatakan, “The number one problem in the classroom is not discipline; it is the lack of procedures and routines. In an effective classroom students should not only know what they are doing, they should also know why and how.” Harry Wong, mengaitkan hakikat kata disiplin dengan pengaturan perilaku, sedangkan prosedur dan rutin secara esensial terkait dengan mengapa dan bagaimana orang melakukan sesuatu. Dalam pembelajaran yang efektif, para murid seharusnya tidak hanya mengetahui apa yang mereka lakukan (taat asas / disiplin), tetapi juga memahami mengapa dan bagaimana (prosedur) dilakukan.
Harry Wong menambahkan, sebagian besar masalah perilaku di kelas disebabkan oleh kegagalan guru dalam menginformasikan cara mengikuti prosedur. Dalam prosedur menurut Harry Wong, tidak ada penalti, maupun apresiasi seperti dalam disiplin. Akan tetapi prosedur membantu guru menjadi pendidik efektif, dan murid pun dapat bertumbuh menjadi lebih baik, tanpa tekanan yang berarti. Maria Montessori (dalam montessori150.org., 2022) berpendapat bahwa ukuran keberhasilan penggunaan prosedur dalam dunia pendidikan adalah kebahagiaan anak. Jika prosedur dapat dioptimalkan dalam penerapan maka kebahagiaan peserta didik pun dapat dicapai secara baik.
Prosedur dalam dictionary.cambridge.org (2022) diartikan sebagai serangkaian tindakan, baik menggunakan cara biasa maupun resmi untuk melakukan sesuatu, misalnya jika murid terlambat tiga kali dalam seminggu, maka prosedur yang dirujuk/disepakati dilakukan pendampingan secara bijak terhadap peserta didik. Setelah murid didampingi ternyata masih terlambat, maka prosedur selanjutnya dapat memanggil orangtua murid untuk dilakukan dialog guna menemukan cara terbaik agar peserta didik tidak lagi terlambat. Pendampingan dilakukan secara prosedural dengan memperhatikan kaidah-kaidah bimbingan yang benar.
Menurut Peters (dalam Manjula, 2014) pendidikan dilakukan melalui prosedur yang menjunjung tinggi martabat dan otonomi personal dan mengamankan serta memanfaatkan kemauan, tujuan dan kemampuan. Prosedur yang dibuat atas pertimbangan matang jika sudah menjadi aktivitas rutin membentuk tradisi sekolah unggul dalam pelayanan. Disiplin bukan berada di luar diri untuk menekan para murid tetapi, seharusnya melalui proses internalisasi sudah berada dalam jatidiri mereka guna melakukan aktivitas sekolah sesuai prosedur yang berlaku.
Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan disiplin dalam pembentukan karakter tetap dibutuhkan guna memperbaiki prilaku yang menyimpang di kalangan pelajar. Disiplin hanya bisa dilakukan dengan pola cara yang bijaksana dan terukur supaya tidak menimbulkan tekanan psikis yang dapat membahayakan perkembangan peserta didik. Disiplin sebagai proses internalisasi pembentukan mental unggul pada diri murid, baik adanya. Akan tetapi disiplin diri saja tidak cukup, dibutuhkan prosedur dan rutin. Prosedur dan rutin merupakan aktivitas yang signifikan untuk diwujudkan dalam aktivitas komunitas pendidikan.
Prosedur dan rutin yang terpola jika sudah biasa dilakukan membentuk habitus atau kebiasaan baru yang baik dan kondusif bagi perkembangan peserta didik. Mereka yang memahami prosedur mengetahui mengapa dan bagaimana secara prosedural melakukan kegiatan di lingkungan sekolah secara lebih bebas, tanpa merasa tertekan. Para murid yang memahami prosedur dan rutin dapat mengikuti aktivitas persekolahan secara berkualitas sesuai visi dan misi lembaga di tempat mereka bersekolah. Semoga sekarang dan di masa mendatang banyak sekolah mempunyai kemampuan untuk menerapkan pola pendidikan berkualitas yang memperhatikan sisi disiplin, dan prosedur secara baik guna memajukan perkembangan karakter para murid.
***************************
Di lembaga pendidikan, mendisiplinkan perlu pemahaman dari yang mendisiplinkan terhadap sasaran yang didisiplinkan. Perlu komunikasi yang membangun terjadinya interaksi positif yang saling mendukung untuk menjadikan almamaternya kebanggaan. Artikel ini sangat bagus dan menggugah. Memperlakukan para murid dengan hormat, tidak perlu marah-marah tetapi menegor murid yang indisipliner dengan pilihan kata yang tepat dan profesional, kalimat ini menjadi catatan penting. Sebagai insan pendidik kemampuan mewujudkan disiplin sesuai indikator yang ditetapkan bagi para siswa, dan dipahami oleh orangtua/wali mereka sangat perlu dihidupi.
Bagus romo
Semangat
Sangat setuju romo karena perlu membangun komunikasi yang positif kepada seluruh lapisan baik pendidik, tenga kependidikan maupun anak didik guna tercapainya pendidikan yang mencerdaskan anak bangsa.