Sumbangsih Goenawan Mohamad maupun polemik yang melibatkannya pada dunia pemikiran, seni, jurnalistik, dan dinamika demokrasi di Indonesia telah panjang, tapi kajian lintas disiplin dan pembacaan kritis atas isi pemikirannya belum serius dilakukan. Dalam rangka mengisi kekurangan kajian sejarah intelektual Indonesia, Komunitas Utan Kayu meluncurkan buku Membaca Goenawan Mohamad pada Kamis, 29 Desember 2022, bertempat di Komunitas Utan Kayu, Jln. Utan Kayu 68H, Jakarta Timur.
Ayu Utami (sebagai Editor buku) memberikan pengantar singkat tentang siapakah Goenawan Mohanad? Apakah ia menandai berakhirnya sebuah zaman? Zaman ketika sastra, jurnalisme, idealisme, dan perjuangan kebebasan berkelindan. Masa ketika sastrawan, wartawam, dan aktivis seringkali adalah sosok yang sama – sebagaimana GM, begitu ia biasa dipanggil. Jauh sebelumnya kita mengenal nama-nama, antara lain Tirto Adi Suryo di awal 1900-an atau Mochtar Lubis di tahun 1950-an hingga 1970-an. Tradisi tritunggal wartawan-sastrawan-pejuang itu dilanjutkan Goenawan Mohamad, penyair sekaligus pemimpin Tempo, majalah berita yang didirikannya tahun 1971. Bayangkan, selama seratus tahun lebih di sepanjang abad ke-20, kita sebenarnya terbiasa bersatunya kerja wartawan, sastrawan dan perjuangan kebebasan. Di Indonesia, itu adalah masa ketika kita belum memiliki demokrasi yang stabil.
Kini, abad ke-21 tengah berjalan, dengan galau dan kilaunya sendiri. Sudah dua dekade Indonesia menikmati demokrasi, dan generasi ini mulai tak punya ingatan tentang abad ke-20, tentang Perang Dunia, Perang Dingin dan jejak peperangan itu pada rezim militer di Indonesia, penderitaan serta semangatnya. Setelah runtuhnya komunisme di tahun 1990-an, kapitalisme bagai punya penantang kuat. Pers dan “industri kreatif” pun semakin dikuasai logika kapitalistis. Surat kabar, bahkan televisi, tak lagi punya wibawa intelektual sebesar dulu. Setiap orang bisa menjadi “citizen journalist”. Pada saat yang sama, kita pun tidak melihat pemimpin media besar yang juga seorang penyair. Atau, setidaknya pemimpin bisnis pers yang juga pencinta seni yang memberi ruang dan dukungan sangat serius bagi perkembangan seni-seperti pemred dua media terpandang Tempo dan Kompas ketika itu: Goenawan Mohamad dan Jakob Oetama. Apakah Goenawan Mohamad akan menandai berakhirnya sebuah zaman?
Buku ini adalah catatan yang barangkali mengantisipasi itu. Tulisan-tulisan dalam buku ini berasal dari ‘Seminar Membaca Goenawan Mohamad’ yang diadakan untuk memperingati ulang tahun Goenawan Mohamad yang ke-80. Pada usianya yang lanjut, ia tak lagi menjadi pemimpin redaksi Tempo, tapi dengan energinya yang tetap melimpah ia masih terus menulis “Catatan Pinggir”, kolom renungan intelektual yang sangat khas seorang Goenawan Mohamad. “Catatan Pinggir” amat mempengaruhi generasi penulis di era militer Soeharto. Di periode itu, banyak sekali orang yang mengaku membaca esai ini lebih dulu sebelum membaca berita atau artikel lain di majalah Tempo. “Catatan Pinggir” adalah bacaan wajib intelektual Indonesia era 1980-am hingga dekade pertama 2000-an.
Satu catatan penting, melalui “Catatan Pinggir”, Goenawan Mohamad juga memperkenalkan filsafat kontemporer. Tradisi intelektual membaca filsafat sebenarnya telah dimulai oleh para pendiri bangsa, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Soedjatmoko. Juga para sastrawan yang tidak secara langsung terlibat dengan politik negara. Seperti Sutan Takdir dan Chairil Anwar. Goenawan Mohamad juga berada dalam tradisi intelektual ini. Ia menggunakan kolom mingguannya untuk merenung, dan dengan demikian memperkenalkan pemikiran para filsuf yang ia renungkan itu pada para pembaca.
‘Seminar Membaca Goenawan’, ingin merawat suatu tradisi intelektual Indonesia modern, yang telah dimulai sejak abad ke-20, dan dilanjutkan Goenawan Mohamad dengan antusias. Hampir semua panelis adalah mereka yang tumbuh dengan membaca tulisan-tulisan Goenawan Mohamad dan terinspirasi dari tulisan-tulisan itu. Terutama mereka yang lahir di tahun 1960-an atau awal 1970-an atau yang menghidupi dunia kesusasteraan dan kewartawanan. Juga para sarjana filsafat generasi lebih kini yang diminta untuk mengkaji bagaimana Goenawan Mohamad menafsir pemikiran para filsuf kontemporer kontinental.
Ignas Kleden dalam kata pengantarnya untuk buku Catatan Pinggir 2 ( Pustaka Utama Grafiti, 1989) dengan tepat membedakan posisi seorang wartawan dan penyair. “Penyair, seperti juga seorang wartawan, adalah orang-orang yang bekerja dengan aksara, dengan tulisan. Dan kita tahu masih ada sejumlah profesi lain yang memakai sarana tersebut: novelis, penulis skenario, mahasiswa, ilmuwan sosial, perencana ekonomi, birokrat atau seorang sekretaris penerbitan. Namun demikian jelas juga bahwa aksara di sana menjadi sarana untuk tujuan yang berbeda-beda, seperti juga perbedaan antara aksara seorang penyair dan aksara seorang wartawan. Dirumuskan secara sederhana: penyair berurusan dengan dunia dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia luar. Yang pertama menggarap makna, sedangkan yang kedua memperjuangkam fakta. Begitulah, kalau wartawan bekerja dengan pemberitaan, maka penyair berkiprah dengan permenungan. Prestasi seorang wartawan diukur berdasarkan banyaknya informasi yang dikumpulkannya, sedangkan prestasi seorang penyair diukur berdasarkan mendalamnya makna yang sanggup diserap dan diendapkannya. Kiat wartawan dipertaruhkan dalam sifat eksklusif informasi yang disiarkannya, sementara kiat penyair dipertaruhkan dalam otensitas pengalaman yang dicerna dalam jiwa. Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens. Untuk mengutip penulis “Catatan Pinggir”, kemampuan penyair, atau lebih tepat kemampuan puisi bukanlah “membuat kita lebih pintar atau lebih hebat, tetapi…..mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup”. (“Catatan Pinggir”, 16 November 1965).” Apakah Goenawan Mohamad mampu mengkombinasikan dalam dirinya seorang wartawan dan penyair sekaligus? Mari membaca buku Membaca Goenawan Mohamad untuk menemukan jawabannya.