TUHAN DALAM SAJAK CINTA
Telah beribu kali, kutarik garis nasib pada telapak tangan
sembari menyusun sajak bernama kehidupan
Sajakku kemudian beranak pinak
Di malam-malam ia terbangun tak berjaga sampai subuh
membuntuti embun, berharap melihat tangan siapa yang menyediakannya
Ketika senja sebelum lelap sambil memikirkan bulan dan mentari beralih tugas, seperti anak kecil ia merapal doa syukur sambil terus mengira-ngira, kalau kalau Engkau datang di saat-saat lelap.
Tuhan,
Masih berapa lama lagi aku terkantuk -kantuk mempelajari Engkau
dalam buku-buku sejarah, juga kitab suci, dalam dongeng dan dalam kemelut
Aku hanya ingin meminta, anak anak puisiku tumpah di pagi subuh, berhamburan bagai burung gereja
Bawalah sajak sajakku pada mata orang menangis
menadahi ribuan hujan air mata
Menyematkan harapan, walaupun kegetiran memalingkan mereka dariMu
Aku ingin Kau saja yang meredakan angin jika kepak sayapku terasa letih
Tuhan,
Kau teramat kuat
dari apapun yang sanggup ciptakan cinta
Tak jua anggur yang candu
seperti pencuri yang datang tengah malam
lalu mencabut doa dari harapan; memisahkan Engkau dari kami
Sampai segala waktu yang ada terkikis detik, di pelataran senja kupuja Engkau dalam hening
Kutangkap wajahMu dalam kertas puisi yang kuyup.
********************
SUJUD
Bapa, engkau adalah musim rindu di sepanjang waktu
Dan aku, batu yg tak semudah itu tergerus ragu.
di luar, getar-getar rinai mencatat debur pinta yg mendebarMu
Ku panjangkan kembara sujud
Hingga tiba di pelataran senja, tumbuh sebuah temu yang lebat
menghijaukan diksi-diksi
meneduhkan puisi-puisi
Pada sejengkal batang menunjuk terang
mengepul harapan, hanyut dalam lembut asap doa
pendar berkas cahaya di gelatar sepi
seperti kayu kepada api
aku memilih mencintai-Mu
***********************
ANAK-ANAK MALAM
Seperti biasa, kepenatan berbaris di pusat kota, berserakan seperti bias lampu-lampu jalan dan suara-suara malam
Kota ini adalah dua buah wajah kehidupan : kaya-miskin, seperti jalur jalan berseberangan
sedangkan kelaparan adalah pemberontakan dari pisau-pisau pembunuhan
banyak tangan tapi tak saling memberi dekap
pun kaki-kaki iman kian mendekati jalan buntu
sebab di belahan musim dan langit lain keadilan adalah hujan yang tak pernah turun di atas rumah orang-orang miskin
Di celah retakan waktu , manusia sebenarnya telah lama bermain dalam keliru,
apakah harta dapat membayar kecemasan?
Di suatu malam sebelum lelap, pelacur itu mendekap bocah-bocah lelah di payudaranya
barangkali neraka yang mereka kira, adalah surga yang menghidupi keluarganya; malaikat berpegangan di sana
Dalam hati ia bertanya : bagaimanakah anak-anak ini kelak menggambarkan dunia?
mungkinkah kebaikan diserap dari sebuah peristiwa kecil, semisal daun kering yang gugur perlahan di atas tanah basah, atau ketika tangan bijak menyapu rambutnya. Mungkin ketika besar, mereka akan percaya pada kebaikan manusia
“selain kemiskinan, milik kita hanya suara” lirihnya lalu jatuh tertidur.
*********************************************************
PERTEMUAN SIPON DAN WIJI THUKUL
Di peluk dedaunan gugur
kematian menjelma mahaguru dari segala yang hilang
Pun setunduk tanah, waktu jua memberi salam pada hidup
Hari ini tak ada aksi kamisan
tubuh tak mampu berdiri, teriakan keadilan sudah lenyap ditelan iklan televisi
perempuan itu memilih membawa kerinduan dan tanya pada kantong kantong waktu yang ia simpan
Dan, beberapa pasang mata masih terjaga dibawah payung hitam
berharap pada kepulangan yang entah
dimana makam anak lenyap dalam tragedi
Sipon berjalan pelan
menuju lorong
Pintu pintu
bisu
derit pintu itu terbuka dari dalam
dan wajah seseorang tersenyum di baliknya
seraut wajah yang ia kenali
Perempuan buruh itu
seperti tengah menatap puluhan tahun ke belakang
seseorang dari balik pintu itu berkata ” maaf, jangan marahi aku, salahi saja rindu yang merampas jatah tidurmu”
Sipon terkejut
bola matanya berhamburan gegas menuju wajah itu
menyusuri tiap lekuk inci per inci
“Engkaukah itu, puisi puisi yang hilang?”
Wajahnya masih sama, ndeso lugu dan lusuh
jejak sepatu begitu tegas membuat lebam di sekujurnya
dan, bola mata itu
Sipon teringat aksara yang mengepul di puntung sajak kekasihnya
bagak menyalak walau seribu pukul di tubuhnya
aksara dari bibir yang tak mati-mati meski dibungkam peluru penguasa
bibir yang dapat ia sentuh sekarang
Aku pernah terjebak dalam sunyi tanpa sepatah bunyi
namun tak hilang walau sepercik nyali ku, kekasih
“ia tak mati-mati meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah dan ditusuk-tusuk sepi”
dan cintamu, tak lain adalah berpuluhpuluh kata
mengirim tahun-tahun penuh tunggu
masuklah, sebagai satu-satunya yang aku rindukan dalam sajak-sajak yang terkubur,
mereka bahkan tak mampu menemukanku padamu
aku benih yang ditanam
terus hidup dan berlipat ganda
Januari 2023
( Mengenang Ibu Dyah Sujirah atau Sipon istri Penyair, aktivis Wiji Tukul. Sipon meninggal pada Kamis 5 Januari 2023)
________________________________________________________________
Tentang Penulis
Helena Lose Beraf lahir di Lewoleba-Lembata, 26 Juli 1994. Berprofesi sebagai Bidan. Menyukai dunia Literasi dan Jurnalistik. Hobi membaca karya-karya sastra mematangkannya menulis opini-opini cerdas dan enak dibaca. Tuhan dalam Sajak Cinta adalah buku puisi perdananya.