
Ferdinandus Butarbutar, Dosen Etika di UPH Karawaci
Selasa 8 Agustus 2023, publik kembali terperenyak atas putusan hukum MA yang menganulasi vonis PN Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi. Amar putusan kasasi yang disampaikan Sobandi selaku Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, pasca sidang tertutup MA dari pukul 13.00 – 17.00 WIB. Akhirnya, MA menolak permohonan Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa dengan gagasan utama putusan adalah perbaikan kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan menjadi: Melakukan pembunuhan berencana bersama-sama dan secara tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya secara bersama-sama, menjadi hukuman penjara seumur hidup. Putusan hukum Ferdy Sambo tersebut tertuang dalam putusan MK No. 20 tahun 2023.
Adapun skema perubahan putusan hukum MA bervariasi. Ferdy Sambo yang semula divonis hukuman mati menjadi pidana “Seumur Hidup“. Putri Chandrawati di PN dan PT di vonis 20 tahun penjara menjadi 10 tahun; Ricky Rizal Wibowo dari vonis 13 tahun menjadi 8 tahun penjara; dan Kuat Ma’ruf dari vonis 15 tahun menjadi 10 tahun.
Pertanyaan kritis yang kemudian muncul adalah, apakah putusan hukum MA ini sudah memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban yakni Alm. Brig. Yoshua Nofriansyah? Atau apakah anulasi putusan MA ini cerminan dari putusan hukum yang sewenang-wenang, dan kontraproduktif dengan narasi fakta persidangan selama ini? Apakah fenomena yang terungkap ini adalah cerminan dari gagalnya reformasi hukum, termasuk akan berpotensi memperlambat reformasi di institusi Polri? Apalagi jika kita mengingat bahwa Ferdy Sambo Cs, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana yang melanggar pasal 340 KUHP Jo 55:1 obstruction of justice (perintangan penyidikan). Ditambah hasil banding di PT dan kasasi di MA yang tidak mengubah apapun terkait fakta persidangan dan tidak adanya novum baru, itu sebabnya redaksi putusan hanya berupa perbaikan kualifikasi tindakan pidana dan pidana.
Lebih jauh kita menguji anulasi putusan hukum MA tersebut, dengan beberapa argumentasi:
Gagalnya MA Mengobjektivikasi Putusan
Eksistensi institusi pengadilan, apalagi merujuk MA yang memiliki posisi hirarkis tinggi dari keseluruhan jenjang lembaga-lembaga pengadilan dibawah payung kewenangan Yudikatif. Sebagai lembaga hukum normatif, MA secara substansial melekat dengan hukum sebagai keadilan dan kebenaran, yang ditegaskan dalam prinsip-prinsip yang valid, berkarakter moral (nurani) termasuk objektif dan bukan terjebak ke dalam subjektivisme putusan dan konklusinya.
MA haruslah dilihat sebagai korpus institusional lembaga pengadilan, yang menjadi pijakan fondasional. Maka ia harus ajeg dan solid, dalam pendirian-pendiriannya pada hukum, kebenaran dan keadilan. Sebagai korpus objektif, maka ia juga harus merajut putusan-putusan hukum secara berjenjang dengan upaya yang objektif, logis, korespondesial dan konsisten sehingga dapat mereafirmasi putusan yang deklaratif pada basis-basis hukum, kebenaran dan keadilan.
Itu sebabnya jika ada kesan keadilan hukum ditekuk, yang dapat diidentifikasi dengan skema/matriks putusan hukum yang kontras dengan apa yang dihasilkan di jenjang PN dan PT, maka wajar jika ada tafsir masyarakat terutama keluarga korban, bahwa konklusi putusan hukum MA ini terkesan subjektif. Apalagi diwarnai proses dissenting opinion dari dua hakim anggota yakni Supriyadi dan Desnayeti. Mekanisme ini bercorak utilitarianisme, yang justru gagal mengakomodasi jumlah suara mayoritas masyarakat Indonesia, karena dicekik oleh kewenangan Ketua Majelis dan dua anggota majelis lainnya. Inilah subjektivisme anulasi kesewenangan petinggi hukum, yang menutup lensa tafsir hukumnya atas narasi dan konstruksi fakta dan putusan-putusan persidangan di belakangnya.
Narasi lain yang perlu telisik adalah, Hakim Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso, pada 13 Februari 2023, menghadiahi vonis mati terhadap Ferdy Sambo yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 340 subsider 338, juncto pasal 55 ayat 1 ke -1 KUHP. Ditambah lagi dakwaan pasal 49 juncto pasal 33 UU nomor 19/2016 tentang UU ITE.
Institusi MA tidak boleh abai dengan memakai kaca mata kuda dalam menafsir dan memberikan putusan hukum. Kasus ini secara fenomenologi mengungkap selubung kebobrokan institusi POLRI. Terbukti ada 35 anggota polri terseret dan sepakat bersekongkol untuk mengaburkan dan memanipulasi kasus tragis ini. Konferensi pers divisi humas polri, juga ikut mengemas packaging pemberitaan. Tetapi oleh karena keberanian keluarga dan tim kuasa hukum korban, juga media-media berita, termasuk publik, maka bau busuk ini terungkap.
Sekali lagi objektivitas putusan MA lemah, karena basis-basis normatif hukum pidana diabaikan atas nama rekualifikasi, basis narasi dan konteks yang tidak dijahit secara ketat dan korespondesial, bahkan intensi awal para perwira tinggi dan anggota-anggota polri, yang sengaja memberikan pemberitaan bahkan memroduksi reka ulang secara imajinatif. Kesemuanya dikangkangi begitu saja.
Anulasi sebagai Potret Kesenjangan Putusan yang Amat Kontras dan Mengandung Fallacy
Sebenarnya jika memotret deskripsi konferensi pers MA, maka kita melihat bahwa MA mengafirmasi atau mengakui kebenaran dan keadilan pada putusan PN Jakarta Selatan dan PT. Itu sebabnya, yang muncul adalah istilah “perbaikan kualifikasi tindak pidana dan pidananya.” Artinya, concern MA pada skema dan matriks pidana putusannya, tentu ini sesuai dengan kewenangannya secara legal aspek.
Problemnya disini adalah gap kesenjangan amat lebar. Pada sosok Ferdy Sambo, atas basis HAM tentu publik bisa menerima, dari vonis mati ke vonis seumur hidup tanpa numerik, dan tanpa pemotongan remisi ini dan itu. Uji kualifikasi masih ketemu dan bisa diakomodasi oleh penalaran moral. Masih ada rasionalitas hukum disana.
Tetapi berbeda pada Putri Chandrawati, yang di vonis PN dan PT selama 20 tahun, lalu di kualifikasi secara baru oleh MA menjadi 10 tahun penjara. Disini problemnya adalah konversi kualifikasi yang justru menurun drastis sebanyak 50%. Bagaimana keadilan diakomodasi dalam putusan MA ini. Inilah barangkali kelemahan mekanisme anulasi putusan pidana di institusi MA. Mereka melakukan lompatan-lompatan dari premis 1 (PN) ke premis 2 yakni banding (PT), lalu konklusi putusan minus 50%. Ada apa dengan MA?
Mari kita intip gap kesenjangan pada Ricky Rizal Wibowo. PN memonis 13 tahun, PT juga memberikan vonis serupa, lalu MA mengualifikasinya secara baru yang disebut anulasi menjadi 8 tahun. Premis 1 (PN) ditambah Premis 2 (PT), Konklusinya 8 tahun penjara. Ada pengurangan kualifikasi sebesar 38,46 %. Terakhir pada Kuat Ma’ruf, yang divonis PN Jakarta Selatan, denngan pidana 15 tahun penjara. MA menganulasi demikian, yakni premis 1 (PN) ditambah premis 2 (PT), konklusi putusan MA menjadi 10 tahun, yakni berkurang 33,33%. Itulah deskripsi angka-angka rill yang dengan mekanisme anulasi dilakonkan oleh MA. Hasil konversi kualifikasi tindakan pidana dan pidana ini, sulit diterima penalaran moral sebagai basis pijak dan nyawa penegakan hukum yang berkeadilan.
| Terdakwa | Vonis PN | Vonis PT | Vonis MA | Rekualifikasi dalam Persen |
| Ferdy Sambo | Mati | Mati | Seumur Hidup | — |
| Putri Chandrawati | 20 tahun | 20 tahun | 10 tahun | 50% |
| Ricky Rizal Wibowo | 13 tahun | 13 tahun | 8 tahun | 38,46% |
| Kuat Ma’ruf | 15 tahun | 15 tahun | 10 tahun | 33,33% |
Lebih jauh memotret perbedaan vonis atas tindak pidana pembunuhan berencana, yang dilakukan bersama-sama termasuk dalam upaya bersama-sama yang membuat sistem elektronik tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya. Artinya perbedaan vonis yang cukup jomblang atas, perencenaan dan tindakan bersama-sama, justru mengafirmasi kesesatan berpikir (fallacy).
Rekualifikasi Vonis MA Terkesan Berpihak Kepada Aktor Kejahatan
Penegakan hukum sesungguhnya terlahir dari pondasi kebenaran, keadilan, moral, kewajiban dan demi kebaikan bersama (bonnum commune). Olehnya sebagai pondasi dan pilar bagi keadilan dan kebenaran maka ia haruslah solid, konstan, melampaui ruang dan waktu demi sebagai orientasi dan pegangan bersama yang tegar/kokoh pada dirinya. Perubahan lokus pengadilan, tidaklah mengubah temuan dari materi dan fakta persidangan, dengan kesimpulan putusan yang kontradiktif atau ditekuk.
Jika membaca ulang resume konferensi pers MA pada 8 Agustus 2023, kita dapat memastikan bahwa penerimaan dan pengakuan akan tindak pidana Ferdy Sambo Cs, masih dalam status yang sama (idem secara pidana dan numerik/data), yakni terbukti sacara sah dan meyakinkan, pada pelanggaran pasal 340 KUHP Jo 55:1 yang juga melakukan tindakan obstruction of justice.
Hal itu berarti, bagi MA secara epistemologi hukum, terang-benderang mengetahui siapa aktor kejahatan tersebut, yang diredaksikan MA dalam kalimat, “Melakukan pembunuhan berencana bersama-sama dan secara tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya secara bersama-sama...” Hal ini berarti adanya reafirmasi sebagai upaya dan persekongkolan bersama. Kebersamaan yang saling ko-eksistensial demi kemungkinan-kemungkinan maksimal tercapainya pembunuhan atas Alm. Brig. Yoshua Nofriansyah Hutabarat. Kemenjadian efisien dan efektif dari peristiwa tragis di rumah dinas Sang Kadiv Propam tersebut, adalah proyek kerjasama bersama, yang saling mutualisme, yang tervalidasi dari fakta dan janji-janji yang mengikutinya.
Miris dan ironis jika MA menjadi ugal-ugalan dalam menerapkan hak anulasinya! Penegak hukum dan pemilik kewenangan penegakan, yang justru telah kehilangan legitimasi moral, sebagai mata air yang memroduksi putusan-putusan hukum yang adil, yang amat dirindu publik terutama para korban. Ada apa dengan reformasi hukum, dan bagaimana pula kita ke depan dapat merengkuh asa, dalam merajut reformasi di institusi Polri? Jangan-jangan kita menjadi tercekik dalam bisu, sembari meminjam kisah miris dari tragedi Yunani, lebih baik memberikan korban, daripada menendang ke galah rangsang!



