Oleh Odemus Bei Witono, Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara
Hu Jintao (selanjutnya disebut Hu) adalah pemimpin Tiongkok, baik sebagai Presiden (2003-2013), maupun Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok/PKT (2002-2012) dan Pimpinan Komisi Militer Pusat PKT (2004-2013). Hu dalam kisah hidupnya, telah lama menekankan keterlibatan Partai di tingkat desa untuk memperkuat otoritas politik, membangun hubungan lokal antara masyarakat dan Partai, dan memberikan informasi yang akurat kepada para pemimpin. Stabilitas negara bagi Hu memegang peranan kunci dalam memajukan Tiongkok.
Oleh karenanya, selama berkuasa, Hu selain menggunakan paham sosialisme juga memberikan tempat bagi berkembangnya konfusianisme dalam praktik hidup bermasyarakat, dan bernegara. Konfusianisme diyakini oleh PKT dapat mengisi gap Marxisme-Leninisme dengan menggunakan identitas ke-Tionghoa-an. PKT tidak ingin gap spiritual Marxisme-Leninisme di tubuh PKT diisi oleh agama dan Falun Gong.
PKT memandang adanya peningkatan minat intelektual kader terhadap Konfusianisme. Dalam analisis Makeham (dalam Ai, 2009: 692) peningkatan terjadi sejak tahun 1990-an dan dikenal sebagai “demam Konfusianisme”. Meskipun tampak aneh karena Konfusianisme sebelumnya dianggap sebagai musuh oleh kepemimpinan Mao, kebangkitan Konfusianisme di Tiongkok telah mendapat perhatian.
Hal itu terjadi karena didorong/dipicu oleh pihak berwenang untuk memanfaatkan Konfusianisme sebagai sumber budaya penting dalam membangun identitas nasional yang baru. Sejalan dengan itu, arah kebijakan Hu tentang Masyarakat Harmonis (和谐社会) dianggap memberi restu resmi bagi kebangkitan Konfusianisme.
Pada tahun 2004, dalam sidang Politbiro, Hu (dalam Ai 2009:691) menekankan pentingnya mencapai keseimbangan antara “sticking to the socialist road with Chinese characteristics” dan “thought liberation and keen innovation.” Dalam keseimbangan, PKT berupaya menggabungkan elemen-elemen tradisional sosialis dengan gagasan-gagasan baru guna menghadapi perubahan dalam masyarakat dan ekonomi.
PKT juga menggunakan Konfusianisme untuk meningkatkan kestabilan sosial. Kestabilan dapat diupayakan karena di dalam konfusianisme diajarkan Ren (仁) yang mengandung sifat mulia pribadi seseorang terhadap moralitas, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tahu-diri, halus budi pekerti, tanggang rasa, dan perikemanusiaan. Hal-hal baik yang demikian bertentangan dengan konflik, kekacauan, dan ketidakteraturan.
Dalam konfusianisme juga diajarkan moralitas, khususnya yang terkait kebenaran, keadilan, kewajiban, kesusilaan, dan kepantasan. Legitimasi PKT yang memperhatikan nilai-nilai konfusian tentu saja menjadi semakin kuat di mata para kader, dan masyarakat umum di Tiongkok. Atas dasar nilai moralitas tersebut, pejabat yang korup dapat diberantas, atau dipidanakan oleh PKT.
Konfusianisme dipandang oleh PKT lebih sesuai dengan kebutuhan akan stabilitas/persatuan nasional, seperti elemen karakter kelas (阶级, jieji) diganti dengan strata (阶层, jieceng). Jieceng berasal dari Konfusianisme tradisional dan menunjukkan adanya berbagai status dalam masyarakat hierarki. Dengan demikian dalam konsep hierarkis masih dimungkinkan adanya perjuangan kelas seperti yang terjadi pada paham sosialisme.
Dalam analisis Zlotea (2016:267) penekanan pada etika individu, seperti yang dipegang oleh Konfusianisme, sejalan dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh Partai, termasuk kesetiaan, rasa hormat, cinta, dan kebenaran. Dalam laporannya kepada kongres Partai ke-17 dan ke-18, Hu menekankan bahwa tugas utama Partai adalah melayani rakyat dengan sepenuh hati, membangun partai yang melayani kepentingan rakyat, dan memerintah untuk rakyat.
Hu sadar bahwa memenangkan hati rakyat adalah kunci untuk mempertahankan kekuasaan. Dia juga mengakui bahwa keberhasilan ekonomi saja tidak cukup untuk menjaga stabilitas sosial. Hu mendorong kader untuk bekerja tekun, jujur, dan adil, meningkatkan kualitas kemanusiaan, dan mengingatkan tentang bahaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Konfusianisme yang mengatakan bahwa kemakmuran suatu negara tidak hanya berasal dari keuntungan, tetapi juga dari kebenaran.
Kendati semakin populer, Konfusianisme tidaklah diterapkan begitu saja oleh pimpinan, maupun kader PKT. Perlu saringan, atau filter dalam menggunakan Konfusianisme. Sarjana seperti Fang Keli & Li Jinquan (dalam Ai, 2009:699) memiliki pandangan kuat bahwa Konfusianisme, yang dianggap sebagai ideologi yang “tidak mencerahkan dan feodal” perlu dipelajari dan dimodifikasi sesuai dengan konsep sosialisme, dan di bawah pengaruh “prinsip-prinsip Marxisme, Leninisme, dan Pemikiran Mao Zedong.” Bagi mereka, Konfusianisme harus berada dalam batasan-batasan tertentu untuk memenuhi kerangka ideologi negara komunis Tiongkok.
Pimpinan PKT menekankan bahwa meskipun budaya tradisional Tiongkok, termasuk Konfusianisme dapat menjadi referensi, ideologi resmi tetap harus berbasis pada Marxisme. Li Tieying (dalam Ai, 2009:700) menggarisbawahi pentingnya mewarisi budaya tradisional Tiongkok secara kritis, yaitu dengan cara memilih esensi dan membuang yang tidak sesuai, agar Konfusianisme dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan sosialisme yang bercirikan Tiongkok.
Catatan akhir
Konfusianisme oleh PKT digunakan untuk mengisi gap Marxisme-Leninisme dengan menggunakan identitas ke-Tionghoa-an. Elemen-elemen Konfusianisme berupa hierarkis, kestabilan sosial, dan gagasan mengenai moralitas dapat digunakan oleh PKT untuk memajukan negara, agar ketimpangan sosial tidak terjadi, masyarakat dapat terkendali, dan kejahatan moral dapat diberantas. Elemen-elemen Konfusianisme oleh PKT digunakan untuk memperkuat legitimasi mereka dalam memimpin negara.
Etika individu juga bersifat Konfusianisme dan begitu pula nilai-nilai yang coba ditanamkan oleh PKT, yaitu kesetiaan (zhong), rasa hormat (xiao), cinta (ai) dan kebenaran (yi). Hu berulang kali dalam banyak kesempatan menggarisbawahi bahwa tugas utama PKT adalah melayani rakyat dengan sepenuh hati – wei renmin fuwu, fuwu qunzhong (Melayani rakyat, melayani massa), membangun partai yang melayani kepentingan rakyat; dan memerintah untuk rakyat.
Keberhasilan ekonomi tidak selalu menjamin stabilitas sosial, desakan agar kader bekerja dengan tekun, jujur dan adil, penuh vitalitas dan terus meningkatkan kualitas kemanusiaan (suzhi), serta peringatan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat memicu kematian atau kegagalan suatu bangsa.
———————————————————————————————————-